"Lo nginep aja di sini. Tidur bareng gue aja, Cha. Dari pada maksain tetep ngekos dengan suasana gak tentu begini. Lama-lama tabungan lo bakal bobol juga."
Echa menghela nafas. Ia juga bingung. Dari pada bunuh diri di kosan karena terus menyendiri dan hanya memikirkan kekalutannya, ia akhirnya beranjak dan berjalan menuju apartemen Nabila. Itu sebetulnya lebih menghabiskan ongkos. Meski tidak seberapa. Tapi kan masih bisa Echa gunakan untuk makan.
"Kan gak mungkin selamanya gue kayak gitu, Bil. Nyusahin orang bukan gue banget."
"Emangnya gue orang lain? Gue heran deh. Lo selalu sungkan ini-itu. Padahal gue sahabat lo sendiri."
Echa menghela nafas. Ia bukannya sungkan. Tapi sudah terbiasa hidup sendirian. Meskipun ada orangtua, toh ia mengusahakan hidupnya sendirian kan? Dari kecil, yang memberinya makan ya Tantenya. Yang membelikan ini-itu juga Tantenya. Ibunya? Hanya mengurus anak tiri dan suaminya. Mana perduli sama Echa. Padahal Echa sudah bertanya berkali-kali. Ia anak kandung kan? Bukan anak buangan? Dan memang benar anak kandung. Semua orang bilang begitu. Di kampungnya juga begitu. Jadi ia percaya. Meski wajahnya memang tak tampak mirip dengan ibunya. Katanya wajahnya mirip ayahnya. Aaah ia bahkan tak pernah tahu bagaimana wajah ayah kandungnya. Katanya sudah meninggal, ada juga yang mengatakan hilang, dan entah lah. Echa juga tak tahu harus berbuat apa selain menerima kenyataan itu sendiri.
"Chaaaaa! Lo denger gak siih?"
"Iyaaaaa!"
Nabila menggelengkan kepala. Lalu ia melirik Echa. Kalau harus membawa nama Ferril ke dalam percakapan ini mungkin agak tidak etis dan material sekali. Tapi sesungguhnya, ia menyentil ini bukan untuk menjadikan Ferril sebagai pelarian. Tapi menurutnya, Ferril itu benar-benar tulus pada Echa. Nabila percaya dengan segala gosip yang ada pada Ferril. Tapi playboy juga bisa kena batunya kan? Maksudnya, akan ada saatnya ia mengakhiri pengelanaannya dalam asmara dan memutuskan untuk berlabuh hanya pada satu perempuan kan? Jadi menurut Nabila, barangkali memang Echa adalah perempuan yang akhirnya berhasil membuat Ferril berlabuh dan tak bisa mencari yang lain lagi.
"Lo beberapa bulan lalu pernah diajak Ferril ke rumahnya kan?"
Echa tak menyahut. Nabila tahu kalau itu adalah kata lain dari ia malas mengiyakannya secara gamblang. Karena kata-katanya memang benar.
"Itu tandanya dia udah serius kan, Cha?"
"Dia cuma ngajak bukber doang sama keluarga besarnya."
Echa tak mau membesar-besarkan masalah itu. Baginya urusan itu sangat sepele dan tidak memberikan makna apapun.
"Yaaaa mungkin bagi lo emang cuma sekedar bukber. Tapi kebayang gak sih, ada cowok yang bawa lo ke acara keluarga besarnya dan itu pertandanya apa?"
Echa bungkam. Ia sangat paham. Hanya berlagak bodoh saja. Itu bukan usaha untuk tak jatuh ke pelukan Ferril. Tapi justru semakin Ferril gencar mengejarnya, itu hanya ingin membuatnya semakin berlari jauh.
"Dia seserius itu. Lo bayangin, seorang Ferril Alhanan Adhiyaksa yang tengil, slengekan, playboy berat, modusan, cuma serius sama elo dari sekian banyak mantan dan cewek-cewek yang mungkin pernah dia dekatin itu."
Echa menghela nafas. Ia masih menelungkupkan badan. "Dari sekian banyak kata yang lo gunakan untuk menggambarkan Ferril, semua pilihan kata itu gak ada yang bagus, Bil."
Nabila melongo sebentar. Lalu mengulang kata-katanya tadi di dalam hati dan terbahak. Benar juga. Yaa maksudnya dibalik semua ketengilan Ferril memang ada baiknya bukan? Echa juga tak menampik.
"Gue juga bukan orang yang pemilih. Tapi lo tahu gak sih rasanya, gak minat sama siapapun? Bukan trauma aah tapi entah lah."
Akhirnya kata-kata itu keluar juga. Seperti dugaan Nabila dan teman-teman yang lain. Mereka juga menyangka kalau Echa sepertinya merasakan itu. Bukan salah arah juga. Hanya mungkin sedang tak menemukan semangat hidup. Aah entah lah itu apapun namanya. Bagi Nabila sama saja. Intinya Echa sedang kosong tapi bukan berarti tak menyukai Ferril kan? Hatinya menghampa bukan berarti tak ada niatan untuk hidup bersama lelaki bukan?
"Tapi tertarik sama Ferril?"
"Kembarannya iya."
Nabila terbahak. "Kalo Ferril denger ini, dia bakalan sedih banget tauk, Cha."
Echa hanya mengerucutkan bibir. Saat mengatakan itu pun ia tak serius kok. Gadis itu beranjak duduk dan memeluk bantal sofa Nabila. Sedari tadi ia memang hanya tidur-tiduran di atas sofanya. Ia menarik nafas dalam. Sejujurnya memang tak ada satu pun lelaki yang ada di kepalanya. Ia bukan tak tertarik. Kalau dibilang belum saatnya untuk diperhatikan rasanya lambat juga. Usianya sudah 28 tahun sekarang. Sebagai seorang perempuan, ia pasti punya rasa khawatir dan keinginan untuk menikah. Namun semua pikiran itu tertutupi oleh rasa kalut memikirkan masa hidupnya saat ini. Ia bahkan tak bisa berpikir yang lain. Urusan hidup yang paling genting itu ya kebutuhan untuk makan dan minum. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir hal yang lain kalau kebutuhan utamanya saja sedang ia cari. Sedang mencari cara untuk memperpanjang hal itu sebetulnya.
"Gue gak ada niat bahkan mikirin hal semacam itu untuk saat ini, Bil."
Nabila mengangguk-angguk. Ia paham perasaannya. Setidaknya, nasib Ferril tidak buruk-buruk amat. Hahaha. Meski Echa memang menolaknya secara gamblang selama ini. Sekalipun saat ia masih bekerja. Karena yaaaa sebetulnya Echa itu memang tak paham juga dengan apa yang ia rasakan. Mungkin rasa tertarik sekedar mengagumi akan muncul. Namun lebih dari itu? Entah lah. Hatinya telah membeku.
"Gue udah pusing dengan hidup gue sendiri. Masa gue mau nyusahin hidup gue lagi dengan ngurusin hidup orang? Ada banyak hal juga yang bikin gue sama Ferril itu gak mungkin. Sangat-sangat gak mungkin."
"Jangan ngomong gitu eh. Kan belum tentu juga. Kita gak pernah tahu ke depannya, Cha. Kalo misalnya nih, lo sama Ferril, setidaknya beban hidup lo yang sekarang akan aman."
"Gue gak suka numpang atau manfaatin orang hanya karena gue susah, Bil."
"Gak gituuuu jugaaaaa konteksnya, Echaaaaaa!"
Ia gemas sendiri. Echa tak hanya menghela nafas. Ia terbiasa mandiri. Jadi ketika harus menggantungkan hidup kepada orang lain akan terasa aneh. Dan lagi, ada hal yang paling ia takutkan jika ia sampai menggantungkan hidupnya pada orang lain. Tahu apa?
Kehilangan. Ia takut ditinggal. Apakah ini bisa dikategorikan sebagai fobia alih-alih trauma? Karena jujur saja, saat kecil dulu, ibunya sering sengaja meninggalkannya di jalan. Dan itu terjadi berkali-kali. Echa masih sangat ingat kejadian saat ia berusia tujuh tahun. Ia menangis saat perempuan itu menyuruhnya tetap duduk di bawah jembatan. Berteriak agar ia tak menyusulnya. Namun pada akhirnya, ia tetap mengejar. Dan itu menbuat ibunya marah besar. Pada kejadian lain, ia mengikuti ibunya yang mengira kalau sudah benar-benar meninggalkannya. Ia berjalan tanpa suara namun menahan tangis. Sesekali sembunyi kalau ibunya melihat ke belakang hanya sekedar untuk memastikan kalau ia tak mengikutinya. Meski pada akhirnya, perempuan itu akan kaget dikala meliahtnya berada di rumah sambil bersembunyi di dalam kamar. Ketakutan akan dimarahi. Kejadian lain yang lebih menyeramkan adalah saat ia ditaruh di tempat akhir pembuangan sampah dalam keadaan tidur. Usianya masih lebih kecil lagi saat itu. Sekitar lima tahun. Tahu apa yang terjadi padanya?
Ia nyaris dijual. Ya perdagangan anak yang lumrah terjadi di mana pun. Beruntungnya sindikat perdagangan anak itu memang sudah lama diintai polisi. Jadi begitu mereka tertangkap, Echa termasuk anak yang selamat dan akhirnya dipulangkan ke rumah. Ibunya pandai berakting kala itu. Menangis kencang saat melapor kehilangannya. Tapi begitu Echa pulang, ia dipukul habis-habisan.
Echa tak paham kenapa ada seorang ibu yang tega melakukan hal itu pada anaknya. Bukan kah Echa anaknya? Namun hal itu memang sudah tak terjadi dikala menikahi ayah tirinya. Lelaki itu memang baik, ikut mendidik Echa. Setidaknya, Echa memiliki perlindungan disaat ada lelaki itu di rumah. Tapi jangan harap akan bisa tenang kalah ia berada di rumah hanya dengan ibunya. Herannya lagi, perlakuan ibunya terlampau baik dengan adik-adik tirinya. Sementara perlakuan pada anak kandung sendiri sangat parah dan tidak manusiawi. Meski setidaknya, Echa masih bisa bersyukur karena ia tidak dibuang lagi. Perempuan itu masih mau menampungnya meski terkadang kalau makanan sangat sedikit, ia yang dikorbankan. Urusan sekolah juga begitu. Echa hampir dikorbankan. Tapi dengan segala daya dan usaha, Echa berusaha keras untuk terus bisa bersekolah. Meminta tolong Tantenya sampai bersujud. Perempuan itu sebenarnya memang mau menolong tapi malas bertengkar dengan ibu Echa. Kalau ketahuan membantu Echa, ia yang dimarahi. Namun karena ini urusannya adalah keponakan sendiri, ia turun tangan meski diam-diam.
"Cowok emang tugasnya nafkahin. Bukan berarti dia nafkahin kita, jadi kita menggantungkan hidupnya sama dia. Gak gitu. Tapi memang itu kewajiban mereka sebagai lelaki, Echa. Kita kan perempuan. Masa gak paham sih?"
Echa paham. Sangat-sangat paham. Tapi ketakutannya juga cukup beralasan. Dan lagi, ia tak yakin dengan menikah atau berhubungan dengan Ferril akan bisa membawanya ke titik di mana ia bisa merasakan bahagia. Karena ia merasa kalau ia tak pernah menemukan kebahagiaan itu sendiri. Ia sudah pernah melukai lelaki karena kegamangannya. Mantan pacarnya dulu. Ya mantan satu-satunya. Ia sangat senang saat tahu lelaki itu sudah menikah. Karena berarti, lelaki itu sudah menemukan perempuan yang benar-benar mencintainya dan mau berkorban untuknya. Sedangkan Echa?
@@@
"Ada dia di apartemen gue. Kenapa?"
Ferril menghela nafas lega saat mendengarnya. Jelas benar-benar lega.
"Gue udah panik. Ibu kosnya bilang, dia gak balik-balik sampe jam segini. Dia udah makan? Keadaannya gimana?"
Nabila tersenyum kecil. Ia tahu kalau Ferril khawatir. Yaaa ini adalah hal-hal yang tak pernah diketahui Echa dari seorang Ferril. Ferril itu sangat perhatian. Rasanya setidak derik kepergian Echa pun ia tahu.
"Udaaah. Aman kok sama gue."
Ferril justru mengucapkan terima kasih. Nabila terkekeh kecil.
"Gue kayak lagi ngurusin orang pacaran berantem ya?" tuturnya.
Ferril terkekeh. Ia selalu menyusahkan Nabila jika urusannya dengan Echa. Yaa itu karena yang Ferril kenal hanya Nabila dan satu teman kos Echa yang lain. Namun teman kos Echa itu sudah pindah kantor sejak dua bulan lalu. Sehingga tempat tinggalnya juga pindah. Ia jadi tak bisa bertanya lagi. Yang tersisa hanya Nabila.
"Gue cuma mau mastiin sih. Khawatir aja. Dia kan sendirian di sini. Keluarga jauh. Temennya juga sedikit. Lo doang yang paling deket. Gak ada lagi yang lain."
Nabila terkekeh. Ia sedang mengintip ke arah kamar untuk melihat Echa. Gadis itu sudah pulas. Sepertinya pulas tidur. Ya kan beberapa malam ini, Echa tak bisa tidur karena terus menangis. Tinggal sendirian di kos dengan kondisi hidup seperti ini hanya membuat frustasi. Nabila justru takut Echa berbuat yang aneh-aneh. Meski ia tahu kalau Echa tak mungkin berbuat semacam itu. Tapi siapa yang tahu kondisi hati dan jiwa seseorang? Kalau tidak dicegah justru akan parah.
"Makanya lamar si Echa biar dia gak sendirian lagi."
Ferril tertawa. Ia hanya melirik ke arah dashbor. Jujur saja, ia sudah membeli cincin sejak lebaran lalu. Tapi belum berani mengatakannya pada Echa. Tahu kan kalau gadis itu selalu menolak. Ia belum siap untuk benar-benar kecewa. Selama ini, Ferril menahan pilu juga tiap ditolak Echa secara gamblang itu. Namun Ferril punya keyakinan kalau itu tak benar-benar menolaknya. Buktinya? Ya gadis itu masih membiarkannya untuk hidup di sekitarnya. Iya kan?
Ya kalau dibilang, Ferril memiliki rencana untuk menikah, tentu saja sudah ada. Sebagai seorang lelaki, ia bagai sudah memiliki segalanya. Harta ada dan posisi yang mantap di perusahaan. Perempuan yang akan hidup dengannya tak perlu khawatir dengan masa depan. Ya sekalipun mati mendadak, hidupnya tetap bisa makmur karena Ferril mewariskan banyak harta. Kecuali kalau bangkrut mendadak. Mengkhianati? Ferril tidak berniat melakukan itu. Meski ia dikenal playboy, sekalinya berpacaran dengan satu cewek yaaa memang hanya satu cewek meski flirting-nya ke mana-mana. Hahaha!
"Dia sampai kapan di apartemen lo?"
"Belum tahu sih. Tapi biasanya dua atau tiga hari gitu Echa pulang." Nabila berdeham. "Sejujurnya gue khawatir sih, Ril. Dia benar-benar gak baik-baik aja sampai saat ini. Lo gak bisa bantu apa gitu?"
"Lo tahu, gue terbuka. Gue kasih semua bantuan tapi dia mau gak menerimanya?"
Nabila menepuk jidatnya. Benar juga. Yang menjadi masalah justru hal itu. Haaaah. Susah-susah kalau begini.
"Lo ada rencana gitu?"
"Rencana gimana maksudnya?"
Nabila menggigit bibir. "Echa tuh sebenarnya cuma kepengen soal perusahaan itu selesai. Kami gak dipecat dengan tidak hormat. Gak apa-apa gak kerja di sana tapi tidak dengan titel itu dan bisa dapat hak kami gitu, Ril."
"Gue bukan pemerintah, Bil."
Nabila tertawa. Ya iya sih. Memangnya Ferril siapa sampai bisa melakukan hal semacam itu? Ada-ada saja.
"Eh iya. Udah lama banget gue pengen nanyain ini. Tapi selalu lupa."
"Nanya apaan?"
"Lo tahu orangtuanya Echa tinggal di mana?"
"Lo beneran mau nikahin, Ril?"
Ferril tertawa. "Nanya dulu. Ya kan kalo gak bisa dapetin lewat jalur anaknya. Siapa tahu lewat jalur orangtuanya bisa berhasil."
Nabila mengangguk-angguk. "Tapi gue juga gak tahu sih, Ril. Tahunya dia kalo pulang kampung itu ke rumah Tantenya. Gitu sih bilangnya."
Nabila juga tak yakin dengan jawabannya sendiri. Ferril tampak berpikir. Ia memang susah mencari data Echa. Dari sekian banyak perempuan, gadis itu menang terlalu misterius. Bukan hanya karena reaksinya yang misterius juga caranya menolak Ferril namun juga latar belakang kehidupannya Echa. Ia bahkan tak pernah bisa menemukan dari mana sebetulnya Echa berasal.
"Bahkan sama lo, dia tertutup ya?"
Nabila terkekeh. "Gue sih mikirnya, dia mungkin ingin membatasi. Ada hal-hal yang ingin ia bagi. Ada yang enggak. Bagi gue itu adalah hak setiap orang, Ril."
Ferril mengangguk-angguk. Ia juga tahu.
"Gue titip Echa ya, Bil. Kabarin kalo dia punya nait mau kabur dari apartemen lo."
Nabila terbahak mendengarnya.
@@@
Pletaaak!
Ferril meringis. Tadinya mau berteriak tapi tak jadi karena di kantin kantor sedang sangat ramai. Sementara orang yang menggetok kepalanya baru saja merenggangkan jari. Ardan tertawa melihat kejadian itu. Rain juga. Biasanya Rain yang suka usil begitu. Lah ini?
"Tangan gue gatel lihat kepala lo," tutur Dina. Bumil yang satu itu ikut-ikutan mampir ke kantornya. Adit hanya terkekeh. Dina sudah mengatakan kalau ia ingin melakukan itu saat melihat Ferril. Ini semacam ngidam yang aneh.
"Kalo bukan karena perut lo, udah gue bales," dongkolnya. Para sepupunya masih terkekeh. Dina justru terbahak. Persetan dengan kata-katanya Ferril. Dia juga sering kok bertengkar dengan Ferril. Bukan hanya Rain. Bedanya, intensitasnya tak sesering Rain.
"Kemarin abis nyembunyiin kolor gue. Hari ini, lo getok kepalanya si Ferril. Besok mau ngapain lagi lo?" tukas Ardan. Dina hanya nyengir. Ia juga tak tahu kenapa ingin usil. Bawaan perutnya begini. Ketika ia tanya hal semacam ini ada Mamanya pagi tadi....
"Enggak lah. Mama dulu gak pernah ngidam begitu."
"Mana ada! Oma ini saksi matanya, Dina!"
Ucapannya langsung terbantahkan oleh kata-kata Oma. Hahahaha. Dina mengelus perutnya. Emangnya mengidam aneh, hasilnya yaa sepertinya dan saudara kembarnya. Bagaimana yang ini? Hanya doa yang bisa mengubah takdir.
"Lagian dikasih makan apa sih, Bang, bininya? Ngidam malah begini."
Lama-lama Rain ikut mendumel. Hahaha. Ia jadi was-was. Takut menjadi korban juga. Karena Dina kan tak terduga. Meski sejauh ini korbannya baru Ardan dan Ferril. Bukan Ando, Farrel, Agha yang notabene-nya lebih kalem begitu. Rain kan jadi kepikiran. Jangan-jangan itu bayi di dalam perut kakak sepupunya memang hanya mengerjai orang-orang yang tengil? Iya gak sih? Memangnya ada teori begitu? Anggap aja begitu deh.
Adit hanya bisa terkekeh kecil. Banyak kejadian tak masuk akal sejak mereka hidup bersama. Adit juga tak paham di mana ketak salahnya. Menurutnya, hidupnya justru semakin berwarna. Tapi bagi yang lain, hidup mereka itu agak-agak rada-rada alias gila. Jauh dari kata normal. Tidak seperti pasangan suami-istri normal lainnya.
"Rame bangeet," tutur Fasha yang baru keluar dari lift. Yaaa kalau Ferril sih memang tidak mengherankan. Ardan juga sering datang. Rain? Adiknya juga kalau bertugas kan. Kalau Dina dan Adit? Ini pasutri datang dalam rangka apa? Ia terheran-heran. "Pada ngapain?"
"Duduk lah duluuu," tutur Dina. Adit terkekeh. Ia sedang memerhatikan tingkah istrinya. Kalau Fasha juga menjadi korban, berarti tingkat kejahilan bayi mereka parah banget. Dari sekian banyak sepupu-sepupunya, memang hanya Fasha yang paling segan untuk disentuh. Ardan saja tak berani mengerjainya. Hahaha. Takut disilatin! Silat beneran! Fasha kan jago.
"Bini lo kenapa, Dit?"
Ia sudah curiga duluan. Adit terbahak. Ia tak bisa menahan tawanya karena mendengar Fasha berkata seperti itu. Juga tak bisa menahan tawanya karena melihat tingkah istrinya yang malah menatap Fasha tanpa kedip.
"Cewek apa cowok sih, Bang? Udah kelihatan belum? Giliran ngelihat Kak Asha jadi genit begitu."
Ferril protes. Kenapa gilirannya malah dijitak? Hahahaha.
Dina terkikik-kikik. Dan itu membuat Rain bergidik. Memangnya kalau hamil bisa membuat orang jadi tidak normal begitu? Hahaha.
"Ini tuh biar anak gue cantik tauuuk!" tukasnya. Ia tak mau diganggu saat sedang menatap Fasha. Fasha geleng-geleng kepala.
"Sejak kapan ngeliatin orang bisa jadi cakep begitu anaknya?"
Rain nyinyir dan nyinyirannya didengar Dina. Alhasil, rambut gadis itu dijambak habis-habisan. Adit bukannya melerai malah ikut tertawa bersama yang lain. Usai makan siang yang kacau dan rusuh itu, Ferril kembali ke ruangannya. Ia menyelesaikan meeting dan juga beberapa pekerjaan. Kemudian segera berjalan menuju parkiran sembari menelepon Nabila. Ia tahu kalau akan percuma jika menelepon Echa. Tak akan diangkat. Tapi setidaknya ia ingin memastikan kalau Echa masih di sana. Pagi tadi, ia sempat mampir ke apartemen Nabila hanya untuk memberikan makanan untuk kedua gadis itu. Hal yang tentu saja disambut Nabila dengan sumringah.
"Masih di apartemen lo?"
"Masih, Ril. Kenapa? Mau ngasih makanan lagi?"
Ferril tertawa. "Dia mau apaan?"
"Dia gak pernah cerewet kan, Ril. Kecuali kalo lo nanya gue."
Ferril terbahak. Obrolan dengan Nabila masih berlanjut setidaknya sampai seperempat perjalanan Ferril menuju apartemennya. Lelaki itu memang mmpir lagi untuk membeli makanan kesukaannya. Ya Echa tahu sih tapi pasti tidak akan ingat juga. Hanya sekedar ingatan yang lewat saja. Kemudian ia kembali menyetir mobilnya sampai tiba di gedung apartemen Nabila.
"Gue bisa mampir gak, Bil? Mau ngelihat keadaan dia gitu."
Nabila terkekeh. Ferril sudah berjalan memasuki lobi.
"Bentar ya, gue tanyain dulu."
Ferril mengiyakan. Cowok itu menunggu di lobi.
"Chaaaaa!"
Nabila berteriak usai mematikan telepon dari Ferril. Echa berdeham. Ia masih belum pilih sepenuhnya dari tidur siang yang panjang.
"Bisa ambilin makanan di bawah gaaak? Tadi gue udah pesen. Udah dibayar kook! Tinggal diambil aja! Gue sakit perut nih!"
Ia berbohong. Hahaha. Kalau jujur, Echa mana mau. Jadi ia harus cerdik juga. Dan jangan tanya persoalan semacam ini pada Nabila kalau tak bisa melakukannya. Hahaha. Ini terlalu mudah baginya.
"Ya udaah."
Echa pasrah. Ia benar-benar tak curiga. Ia segera mengusap wajah seadanya. Kemudian mengambil kerudung dan segera keluar. Begitu keluar dari lift, ia justru terkaget dengan kehadiran Ferril. Sebaliknya, Ferril malah tampak sumringah.
"Buat kamu, Beyb," ia langsung menyodorkan makanannya. Mau tak mau Echa menerimanya. Ferril tersenyum tipis. Rasanya ini pertama kalinya ia melihat wajah Echa yang benar-benar bersih tanpa polesan apapun. Hahaha.
"Lain kali jangan mau kalau disuruh-suruh sama Nabil."
"Gak disuruh, Beyb. Aku yang mau. Cuma mau mastiin kamu baik-baik aja. Kangen, Beyb," ucapnya tulus.
Echa menghela nafas. Kalau sudah begini, ia yang kalah.
@@@