Selingkuh Tidak Resmi

2999 Kata
Rasanya sudah lama sekali mereka tak berkumpul. Meski tak sepenuhnya bisa ikut. Masing-masing dari mereka tidak hanya disibukkan dengan pekerjaan tapi juga pernikahan. Rasanya wajar juga kalau ada kalanya mereka rindu meski rumah berdekatan. Tapi momennya jelas berbeda. Dan seperti biasa, tim ngaret akan selalu lama munculnya. Ferril masih santai. Ia menunggui Ardan. Katanya mau berangkat bersama naik motor. Mereka tidak berjalan-jalan dengan satu mobil lagi. Karena masing-masing orang berangkat dari tempat di mana kesibukannya berjalan. Ferril sih santai di rumah. Begitu pula dengan Ardan. Farrel baru tiba di rumahnya sendiri dan segera bersiap-siap untuk berangkat bersama istrinya. Farras dan Ando juga begitu. Adapun sepupu-sepupu Ferril yang lain, misalnya, Rain. Gadis itu berangkat dari studio fotonya bersama Aidan. Berhubung Aidan sudah beranjak remaja, ia akan ikut nimbrung. Berbeda dengan adik-adiknya yang lain. Lalu Agha? Cowok itu masih di dalam perjalanan. Ia berangkat dari kampus. Sibuk dengan urusan BEM seperti biasa. Dina, Adit, Fasha, Pandu, Tiara, Izzan, Anne, Hamas tentu saja berangkat dengan pasangan masing-masing. Jomblo yang tersisa kan memang hanya Ferril, Rain, dan Ardan. Jangan tanya kapan menikah. Apalagi bertanya pada Ardan! "Gue kira, kita udah paling lama," tutur Ardan. Ia dan Ferril tiba di sebuah restoran di mana mereka janji untuk berkumpul dan meja yang dipesan itu masih kosong. Ferril terkekeh. Ya maklum lah, pikirnya. Urusan rumah tangga jelas berbeda dengan urusan para jomblo seperti mereka. Keduanya duduk santai. Masing-masing sibuk dengan ponsel. Ferril juga berusaha menghubungi Echa. Nabila bilang kalau Echa sudah pulang ke kosan dan Ferril belum datang menjenguknya sama sekali. Mungkin setelah ini, ia akan sempatkan waktu. Toh setidaknya ia tenang dengan kata-kata Nabila yang mengatakan kalau Echa baik-baik saja. Beyb? Udah makan? Tentu saja tak dibalas. Meski Echa membacanya. Gadis itu sedang menenangkan diri. Ia sedang merenung di sudut kamarnya. Berupaya untuk berpikir lebih jernih. Apa yang bisa ia lakukan selain bekerja di kantor? Memasak? Ia sadar betul kalau tangan ini tak berbakat. Karena semenjak kuliah, ia tak pernah menyentuh dapur lagi. Pulang kemarin saat ke rumah Tantenya, ia juga tak diizinkan ikut memasak. Katanya kasihan Echa karena pasti lelah bekerja di Jakarta sana. Perhatian sekali bukan? Kalau pada ibunya, jangan sekali menawar. Bertanya kabar apakah ia akan pulang atau tidak pun tidak pernah. Yang penting ada uang masuk ke rekeningnya. Menanyakan apakah anaknya sehat atau tidak pun....rasanya tak sekalipun. Sungguh menyedihkan hidupnya. Tapi mau bagaimana lagi? Ia berselancar mencari yang lain. Menjahit? Ia mengeluh dalam hati. Karya seninya adalah yang terburuk. Rasa-rasanya ia tak punya sesuatu yang bisa ia jadikan hobi sejak dulu. Kecuali satu hal, yaitu belajar. Omong-omong tentang belajar, ia tiba-tiba teringat salah satu platform online. Kemudian mencoba mendaftarkan diri. Ya ia tak tahu apakah akan bisa menjadi guru les dengan dasar keilmuan yang ia punya. Ia kembali membongkar map-map berharganya yang ada di dalam lemari. Ia gunakan keseluruhan sertifikatnya yang entah akan berguna atau tidak, terserah lah. Ia akan mencobanya. Ia mendaftarkan diri selama hampir dua jam hingga akhirnya pendaftarannya selesai. Mungkin masih harus menunggu interview dulu kah? Ia mengecek lagi. Dan ternyata tak perlu interview. Ia hanya perlu menunggu murid yang datang. Ya karena satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah belajar jadi ia gunakan keahlian itu untuk mengajari orang lain. Ia menulis matematika dan bahasa Inggris. Karena itu lah yang ia kira masih menguasai. Setelah itu, ia bergerak ke kamar mandi. Kemudian kembali masuk ke dalam kamar. Ada pesan lain. Bukan dari Ferril tapi dari.... Assalamualaikum, Kak. Gak ikutan kita kumpul-kumpul nih? Itu pesan dari saudara kembarnya Ferril. Ya, Farras. Ia membuka pesan dari Ferril. Cowok itu mengirimkan foto kebersamaannya dengan pada sepupu-sepupu. Echa tersenyum kecil. Jujur saja, ia iri dengan Ferril. Lelaki itu seperti memiliki kehidupan yang amat sempurna. Ia memiliki banyak saudara dan mereka begitu kompak. Sementara ia terlantar sendirian di sini. Tak ada yang menolongnya. Saat memerhatikan foto itu, ia mengerjabkan matanya. Seperti mengenali seseorang di antara kebanyakan para sepupu Ferril. Yaa...perempuan yang duduk di samping Farrel. Ia tahu kalau lelaki itu sudah menikah. Ferril sempat mengirim undangan kepadanya. Namun ia terlalu malu untuk datang sekalipun Ferril menawarkan tiket pesawat gratis kalau ia mau datang. Ia merasa bukan siapa-siapa bagi Ferril. Jadi untuk apa datang? Ia perhatikan sekali lagi namun tak satupun nama yang muncul di kepalanya. Wajahnya memang tampak tak asing dan kalau dilihat dari penampilannya ia langsung mengerti perempuan seperti apa yang diinginkan sosok Farrel. Ya-ya, pikirnya. Memang jauh dengan dirinya. Memang tak cocok. Ia terkekeh sendiri lantas menarik nafas dalam. Jujur saja, kalau berbicara lelaki, ia memang lebih suka yang seperti Farrel. Yang tampak dewasa dan berwibawa dibandingkan Ferril yang petakilan. Tapi ya sudah lah. Echa juga hanya sekedar kagum. Bukan yang jatuh cinta. "Dibales, Ras?" Ia sampai meminta Farras untuk berpura-pura mengirim pesan ke Echa sekedar memastikan apakah pesannya dibalas atau tidak. Farras kembali mengecek ponselnya. "Belom." Ferril menghela nafas. Padahal sudah dibaca namun pesannya tak dibalas juga. Ardan geleng-geleng kepala. "Kenapa gak nyari yang lain aja?" "Lo kenapa gak nyari yang lain, Bang?" Ia malah memutar balik omongan itu. Ardan hanya bisa tertawa. Menertawai dirinya sendiri. Salah memang, pikirnya. Padahal ia hanya mencoba mencari solusi untuk Ferril tapi solusi untuk dirinya sendiri saja belum ia dapatkan. Boro-boro memberitahu orang lain. Iya kan? Udah. Makasih ya. Ferril langsung mengerjab-erjabkan matanya membaca balasan dari Echa. Benar Echa kan? Ia sampai mengecek namanya. Hahaha. Dan Echa mendengus begitu melihat nama Ferril muncul di layar ponselnya. Ini orang emang tak bisa diberi hati sedikit, pikirnya. Hahaha. Baru dibalas begitu saja, ia sudah menelepon. Echa menghela nafas. Kemudian sengaja mengabaikan. Jujur saja, ia sedang tak mood meladeni siapapun. Hanya sekedar ingin mengucapkan terima kasih atas perhatian Ferril kepadanya. Karena kata-kata Nabila memang benar kalau.... "Cha, mungkin kalo gue gak akan inget lo setiap hari. Tapi kalau Ferril sudah pasti. Dia satu-satunya orang yang sangat perduli sama elo saat ini. Gue tahu kalo lo juga gak minta dia untuk perhatian kayak gini. Itu hak Ferril juga kalo mau bersikap kayak gitu. Tapi seenggaknya, hargai aja apa yang dia lakuin ke elo. Gue yakin, dia gak akan serakah sampe minta lo buat menetap kalo emang lo masih gak mau sama dia. Tapi ketika lo merasa untuk benar-benar ingin jaga jarak sama dia, ya bilang. Bener-bener bilang dengan serius. Gak dalam gaya lo menghadapi dia selama ini. Karena dia mungkin gak pernah anggap penolakan lo itu dengan serius." Namun jujur saja, Echa juga sulit kalau harus benar-benar mengatakan itu dengan serius. Seperti yang sudah sering terjadi, ia selalu lemah ketika berhadapan dengan Ferril. Meski terkadang galak. "Gak diangkat?" ledek Rain lantas terbahak bersama Ardan. Dua orang sialan ini memang paling tidak rela jika asmara Ferril berjalan dengan lancar. Hahaha. Agha yang menyimak hanya geleng-geleng kepala. Sudah tak perlu membahas kelakuan ketiga orang ini. Agha juga jomblo sebetulnya. Aidan juga kan. Tapi karena masih terhitung sebagai seorang pelajar, mereka tak dihitung. Berbeda dengan ketiga orang jomblo ini. "Heran gue," keluhnya. Rain masih terkikik-kikik. Baru kali ini, Ferril dibuat pusing menghadapi seorang perempuan. "Gue pikir mungkin hatinya udah terbuka sama gue ternyata kagak." Rain makin terpingkal. Jujur saja, ia bahagia. HAHAHA! Ardan juga. Bagaimana pun ia tak rela dilangkahi cowok sableng yang satu ini. Mereka kan sepaket. Kalau satu jomblo maka yang lain juga harus jomblo. Hahaha. "Lagian lo nyarinya yang model Kak Echa. Dari tampangnya aja gue udah yakin kalo dia kagak percaya sama lo." Ia ingin menoyor Rain tapi Rain menghindar. Pasangan lain tidak terlalu mengurusi obrolan mereka karena asyik dengan obrolan masing-masing. Apalagi para bumil yang berkumpul. Ada Tiara, Farras, dan Dina. Fasha hanya mendengar saja. Ia belum memiliki tanda-tanda hamil meski Ayahnya sudah sangat berharap untuk segera menimang cucu. Apalagi ibunya. Ia juga tak mau mengecewakan mereka. Anne sibuk mendengar obrolan suaminya dengan para sepupu laki-laki, yaitu Izzan dan Farrel. Ada istrinya Farrel juga yang turut menyimak. Ia dan Hamas kan baru tiba di Depok usai pulang dari tempat koas. Masih lelah namun memaksakan diri untuk ikut ke sini dan berkumpul. Berhubung memang sudah lama tak berkumpul secara penuh seperti ini. Karena masing-masing dari mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Ferril menghela nafas. Ya namanya juga ada hati. Hatinya tak bisa memilih. Kalau sudah suka ya akan suka. "Tapi gue kira lo akan nyerah, Ril." "Lo menduga gitu?" Rain mengangguk. "Gimana ya? Selama ini kan lo selalu dapetin apa yang lo mau." "Terus?" "Ya buat apa nyari yang gak mau kalo yang ngantriin elo banyak. Termasuk siapa tuh yang artis cewek, suka main film dan nyanyi juga?" Ardan langsung tertawa. "Nesia?" Rain mengangguk. "Anaknya juga cantik. Cowok-cowok di luar sana rebutan ngejar dia dan dia malah nunjukin ketertarikan sama elo, Ril. Dia juga pinter. Lulusan Oxford sama Stanford. Bunda gak akan nolak, Ril." Ferril terkekeh. "Lulusan Oxford sama Stanford kalo kaya juga banyak, Rain. Yang cantik juga banyak. Lebih dari dia bahkan." "Terus?" "Ya gak tertarik aja." "Tumben." Ferril tertawa. "Yang ini bikin lu tobat berarti?" "Mungkin." Rain mengangguk-angguk. Awalnya masih belum percaya tapi sepertinya menang harus percaya. Karena perempuan seperti itu saja ditolak sama Ferril. Meski... Aku lihat kamu lagi kumpul sama sepupu-sepupu kamu, Ril? Orang yang dibicarakan sudah muncul di daftar pesan yang belum dibuka. Ferril tersenyum kecil. Jangan salah kan keramahannya banyak membuat cewek baperan. Yeah, kesalahan Ferril sebagai cowok adalah suka memberikan harapan dan meladeni semua perempuan padahal ia sendiri tak tertarik untuk mengejarnya. Iya. Tahu dari mana? Dan obrolan itu menjadi panjang. @@@ "Titipin gitu doang?" Ardan memastikan sekali lagi. Ferril hanya mengangguk-angguk. Ia mengucapkan terima kasih pada sang ibu kos lalu berpamitan dengan Ardan. Ferril tak tahu kalau aksinya dilihat Echa dari jendela. Ia menarik nafas dalam. Apakah harus jujur saja? Ia juga lelah kalau Ferril terus mengejarnya seperti ini. Maksudnya, kesannya seperti memanfaatkan lelaki ini. Padahal ia bahkan gak berpikir ke arah sana. Sebuah ketegasan memang diperlukan. Pengakhiran memang harus digalakkan meski mungkin akan ada rasa tidak nyaman. Ia juga tak mau terus merugikan Ferril hanya karena masalah ini. Masalah yang tampak sepele namun berbuntut panjang. Ia tak mungkin kan terus diikuti Ferril sampai bertahun-tahun? Ferril tiba di rumah dan langsung terlelap. Ia lumayan lelah. Apalagi beberapa hari ini kesibukan di kantor meningkat. Ia juga sibuk dengan intelnya. Ada banyak kasus yang harus terus dipantau dan diselesaikan. Esok paginya, ia kembali sibuk di kantor. Tak sempat mengantar makanan pada Echa karena terjebak macet di jalan. Kemudian makan siang seperti biasa. Namun hanya dengan Fasha karena yang lain juga sibuk di kantor masing-masing. Usai makan siang, ia bergerak menuju rumah sakit Papanya untuk rapat bersama komisaris. Abangnya juga datang. Ia di sana sampai Ashar. Setelah itu pulang duluan sementara Abangnya menunggu Papanya. Mereka akan pulang bersama. Sementara ia bergerak menuju rumah, mengganti baju dengan cepat kemudian pergi ke mall. Namun sebelumnya, ia mampir dulu ke sebuah restoran Padang dan memesan beberapa makanan untuk Echa. Ia tahu kalau kartu kreditnya tak sama sekali digunakan oleh Echa. Karena tak ada tagihan yang masuk. Usai mendapatkan pesanannya, ia segera beranjak menuju kos Echa. "Mbak Echa-nya baru aja keluar Mas." "Keluar ke mana, Bu?" Si ibu mengendikan bahu. Ia juga tak tahu. "Kalo rapi begitu biasanya agak jauh." Ferril mengangguk-angguk. "Titip ini aja, Bu." "Kalau Mbak Echanya gak pulang gimana?" "Kasih ke yang lain juga boleh," tuturnya. Ia ikhlaskan. Si ibu mengangguk-angguk dan ia kembali pamit sembari berusaha menghubungi Nabila. Siapa tahu gadis itu mencari Nabila. "Kenapa, Ril?" "Echa mau ke tempat lo?" "Ooh. Enggak sih. Emangnya kenapa?" "Ibu kosnya bilang kalo dia keluar." Ooh. Nabila mengangguk-angguk. "Ya udah nanti gue tanyain dia ke mana." "Thanks, Bil." Nabila mengiyakan dan ia menutup teleponnya. Sementara ia bergerak menuju mall. Ia tampak santai hari ini. Rencananya memang ingin bertemu seseorang. Mendadak pula gara-gara pesan yang begitu panjang. Ia sudah mengenal cewek itu sejak lama. Karena artis juga dan lagi, mereka sama-sama kuliah di Inggris dulu meski berbeda kampus. Tapi karena berbeda kesibukan, mereka justru tak pernah bertemu di Inggris. Makan pernah bertemu beberapa kali di Indonesia saat gadis itu masih punya pacar. Semenjak kuliah di Stanford, yang Ferril tahu kalau gadis ini tak berpacaran lagi. Sudah putus dengan pacarnya. Pernah juga beberapa kali mengajak Ferril untuk jalan-jalan bersama tapi rasa-rasanya baru kali ini yang terealisasi. Sementara itu.... "Darius!" "Darius gak mau!" Echa agak memundurkan langkahnya. Ia baru saja tiba di rumah murid pertamanya tapi disambut dengan lemparan buku. Sepertinya ibunya terlalu memaksakan anaknya untuk belajar. Anak lelaki yang berusia sebelas tahun itu tampak memberontak. Bahkan salah satu lemparan bukunya terkena kening Echa. Ibunya meminta maaf berulang kali. Echa tersenyum tipis. Ia sudah semangat sekali karena akhirnya datang murid pertama. Namun ternyata? Miris. "Gak apa-apa, Bu. Kalo anaknya gak mau, gak apa-apaa." Ia berusaha mengerti. Ia juga paling tak suka dipaksa. Akan percuma. Untuk aoa terlalu ambisius menginginkan anak untuk melakukan ini dan itu? Setiap anak itu memiliki bakat dan minatnya masing-masing. Tak bisa dipaksakan untuk seperti orang lain. Karena masing-masing dari mereka sangat istimewa. Ia akhirnya pulang dengan tangan kosong. Ia sudah susah payah berdandan rapi karena takut dinilai rendah oleh ibunya. Ia memikirkan kalau orang yang tinggal di apartemen elit ini pastinya bukan lah orang yang sembarangan dan itu memang benar. Namun ternyata memang belum rezekinya. "Buang-buang ongkos gue," pikirnya. Padahal tadinya ia sudah senang dengan uang yang bisa ia dapatkan. Mungkin memang tak seberapa. Hanya sekitar 1,5 juta per bulan. Namun kan ia masih bisa mencari murid lain untuk tambahan. Setidaknya kalau sudah punya satu, ia agak lega. Meskipun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan setidaknya uang tabungannya tak terpakai banyak dibulan depan. Namun ternyata masih salah dan kosong juga. Nasib. Namanya juga belum rezeki. Mau bagaimana lagi? Echa menghela nafas. Ia termenung di sepanjang naik kereta. Kereta sudah mulai padat karena sudah banyak karyawan yang pulang. Mencari pekerjaan memang tidak mudah. Sekalipun ditengah besarnya ibukota dan kota-kota di sekitarnya. Tak ada jaminan. Karena tak semua lowongan dilakukan secara terbuka. Terkadang butuh jaringan karena beberapa orang mungkin hanya menyebarkan lowongan di antara teman-teman sejawatnya atau bahkan hanya keluarga. Ada memang yang direkrut besar-besaran namun prosesnya tak semuanya transparan. Jujur saja, Echa sudah beberapa kali pernah mengikuti perekrutan perusahaan besar terutama milik negara. Namun tak satu pun lolos. Dari setiap saingan yang ia temui, salah satu di antaranya ada yang sudah berafiliasi dengan orang dalam. Sekalipun keahlian dan kelimuannya mungkin di bawah Echa serta pengalamannya, tak ada jaminan kalau Echa yang akan diterima. Karena Echa menyaksikan semua seleksi kotor yang mereka lakukan hanya lah formalitas semata. Nyatanya orang-orang tertentu memang sudah ditandai untuk lulus. Bayangkan saja, waktu itu Echa kalah dengan saingannya yang tidak jelas lulusan kampusnya, tak tampak serius saat wawancara bersama dan tidak punya pengalaman serta sertifikat apa-apa. Tahu-tahu ia yang lolos dan bekerja di sana. Desas-desus masih terdengar karena Echa berhubungan dengan teman-teman lain di hari seleksi itu. Mereka bahkan membuat grup khusus tanpa orang yang satu itu yang berawal dari kecurigaan. Awlanya memang hanya kecurigaan tapi ternyata memang menjadi kenyataan. Jadi dia itu punya Om. Om-nya kerja di situ. Tapi udah mutasi ke Riau. Cuma kan koneksinya gak mati. Gak heran kalo bisa diterima. Echa menarik nafas dalam. Ia seharusnya sudah tak heran dengan ketidakadilan semacam ini. Mau marah tapi rasanya terlalu dangkal. Biarkan saja. Kalau ada orang masuk dengan cara seperti itu, percaya lah hidupnya mungkin tak akan pernah berkah. Echa menarik nafas dalam. Ia sedang memompa diri untuk tetap semangat menjalani hidupnya dan tak boleh menyerah. Bukan kah sejak dulu, ia sangat percaya kalau akan selalu ada jalan bagi yang mau berusaha? @@@ "Ferril!" Senyumnya tampak sumringah. Sudah sangat lama ia ingin berjalan dengan lelaki anyar satu ini. Sosoknya yang katanya playboy dan tengil justru membuatnya tertarik. Berbeda dengan mantannya yang tampak serius. Ferril melambaikan tangan. Gadis itu segera duduk di depannya. "Sorry, nunggu lama banget gak? Tadi macet banget." "Gak kok, santai aja." Ia tersenyum. Ferril menyimpan ponselnya. Ia sejujurnya masih berusaha menghubungi Echa. Ia juga menanti kabar dari Nabila. Namun masih belum ada hasilnya. "Mau pesan apa?" Gadis itu tampak berpikir. Ferril beralih memanggil pelayan. Lalu memberinya daftar menu. "Gue smoothie aja." Ferril mengangguk. Cowok itu juga memesan minuman yang sama dengannya. Hal yang membuat gadis itu sumringah. Ya begini lah pekerjaan Ferril dibalik ke-playboy-annya. Ia memang tercatat tak pernah selingkuh secara resmi. Namun dengan cara seperti ini. Herannya, para perempuan masih berekspektasi tinggi akan bisa mengubahnya untuk menjadi lelaki yang setia. Hihihi. Akan percuma. Namun hatinya Ferril memang setia. Kelakuannya yang tidak. "Sekarang kesibukan lo apaan? Selain yaa main film sama nyanyi." Ia tersenyum. Gigi kelincinya terlihat. Gadis ini cantik dan juga manis. Namun Ferril tak tertarik. Mungkin lelaki di luar sana akan sangat suka dengan jenis gadis seperti ini. Meski ia memang sepertinya gadis baik-baik. Setidaknya itu yang bisa Ferril pastikan dari sisi pergaulannya. Tidak terlalu liar. Kalau hanya sekedar minum atau nongkrong mungkin pernah dilakukan menilik gaya pergaulannya yaa seperti kebarat-baratan. "Gue lagi kepengen memperdalam bisnis gue sih. Lo tahu kan kemarin gue kuliah ngambil MBA. Gue pikir, gue harus fokusin ke sana." Ferril mengangguk-angguk. "Terus apa rencana lo buat bisnis itu?" "Kira-kira akan bagus gak sih kalo gue buka brand Indonesia gitu? Maksudnya, baju-bajunya gue desain estetik ala anak muda yang didominasi dengan batik. Biar ada kesan dalam Indonesia-nya." Ferril mengangguk-angguk. "Itu ide yang bagus." Lalu gadis itu bercerita banyak tentang rencananya. Ferril hanya tersenyum kecil. Begini lah kalau menghadapi orang cerdas dan sangat serius memikirkan masa depannya. Usai minum dan obrolan yang cukup panjang, mereka akhirnya pindah ke dua lantai di atasnya. Menuju bioskop. Seperti janji Ferril yang mengiyakan ajakannya untuk menonton bersama. "Kenapa sih kita tuh dulu susah banget ketemunya pas di Inggris?" Ferril terkekeh. Ia juga tak tahu. Rasa-rasanya dulu ia juga tak terlalu sibuk. Masih sering kumpul bersama anak-anak Indonesia yang sama-sama berasal dari Jakarta. Ferril kan punya banyak teman dari Jakarta. Ia jadi lebih sering berkumpul dengan mereka. Tapi hampir tak pernah bertemu Nesia. "Mungkin karena lo sering pulang ke Indo. Lo kan sibuk syuting juga." Aaah. "Iya ya?" Ia baru menyadari hal itu. "Dan lagi, lo juga masih punya pacar waktu itu kan?" Nesia tertawa mendengarnya. Ia juga baru menyadari hal itu. Tapi.... "Lo bukannya iya juga ya?" Ferril terbahak. Ia tak bisa menyangkal hal itu sama sekali. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN