Gedung Bersejarah

2998 Kata
Gagal itu menambah beban hidupnya. Sejak awal mencoba beasiswa, ia sesungguhnya memang tak yakin. Meski terkadang merasa percaya diri. Namun akhirnya, firasatnya masih lah benar. Ia tak lolos. Ya pengumumannya bahkan baru keluar dan ia sudah tersingkir sejak tahap pertama. Padahal ia sudah susah payah mengusahakannya. Namun ternyata tetap lah gagal. Dan ini hanya semakin membuat hidupnya terasa buram. Terasa tak ada harapan. Hidupnya benar-benar terhantam ke titik yang paling bawah yang pernah ia rasakan selama ini. Yaa memang hidupnya bisa dibilang selalu terbawah. Ia terlahir di dalam keluarga yang bisa dibilang sangat kurang beruntung. Namun minimnya ekonomi ternyata tak menyurutkannya untuk tetap mengejar mimpi kan? Meski terseok-seok untuk meraihnya. Kadang ia juga begitu iri melihat kehidupan anak-anak lain yang terlihat begitu mudah. Yang apa-apa tak perlu berusaha keras. Cukup katakan pada orangtua maka urusan akan selesai. Maksudnya, ketika meminta sesuatu pada mereka setidaknya orangtua mereka masih mau mewujudkannya. Dibandingkan dengan nasibnya yang jangan ditanya. Ia harus disuruh mengalah. Merasa didiskriminasi, ia jadi malas pulang. Sejak kuliah coba tanya, adakah sekali ia pulang kampung? Pulang ke kampung ibunya maksudnya. Tentu tidak. Ia pulang ke rumah Tantenya? Itu benar. Ia tak pernah betah kalau harus pulang ke rumah. Kenyamanan yang tak pernah ia dapatkan. Apa itu rumah? Apa itu keluarga? Bagi Echa, itu tak punya arti sama sekali. Jatuh cinta? Tentu saja pernah. Pernah meski hanya sekali. Itu pun sudah lama sekali. Setelah itu, ia tak pernah lagi terlihat serius dengan lelaki. Yang suka ada. Bahkan pernah bertahan disampingnya selama dua tahun. Tapi pergi karena lelah digantung Echa tanpa harapan. Echa jahat? Ia hanya kehilangan rasa pada lelaki. Bukan berarti ia malah tertarik pada perempuan loh ya. Tidak begitu. Ia hanya merasa hampa. Hidupnya saja rumit. Ia tak mau menambah beban dan masalah. Sementara itu, Ferril baru saja bertoss ria. Tadi niatnya mau makan siang bersama Ardan, dan beberapa teman sesama anak pejabat. Tapi malah tak sengaja bertemu teman kampusnya saat di Inggris dulu. Anak beasiswa yang pernah membawa Ferril ikut dalam kepanitiaan beasiswa yang digagasnya untuk membantu anak-anak Indonesia mengetahui lebih banyak tentang kampus-kampus yang ingin mereka tuju. Waktu itu, Ferril juga diajak untuk menjadi salah satu mentornya. Ia ikut waktu itu dan itu lah yang membawanya bertemu dengan Echa. Manis? Bisa dibilang begitu. Dan melihat lelaki ini tentu saja membuat Ferril kembali bernostalgia masa itu. Masa-masa pertama kali menghadapi perempuan sejutek Echa. Yang dari radius sekian kilometer pun bisa langsung membuang muka begitu melihat wajahnya muncul. Jangan kan tersenyum, ditatap Echa adalah keajaiban terbesar yang pernah ada di bumi. "Lama gak ketemu. Sibuk ngapain lo?" Sahabatnya itu tertawa. "Biasa lah, Ril. Bangun sekolah di desa-desa. Jarang di Jakarta lagi." Ferril mengangguk-angguk. "Mau ada acara lagi atau gimana?" Ia bertanya begitu karena lelaki ini tampak berkumpul dengan beberapa teman sampai memborong lima meja panjang sekaligus. "Biasa lah. Rapat beasiswa. Banyak yang lolos administrasi kan. Pada mau konsul persiapan tahap kedua." Ferril mengangguk-angguk. Sama sekali tak berpikir kalau Echa juga ada hubungannya dengan ini. Sayangnya, gadis itu tak lolos. Kecewa? Sudah pasti. Tapi mau bagaimana lagi? "Gue balik ya? Kapan-kapan kita ngobrol lagi. Bangga gue punya temen CEO." Ferril tertawa. Ia justru tak merasa bangga dengan titel itu. Hahaha. Tahu kenapa? Kadang dianggap remeh orang lain hanya karena ia turunan keluarga jadi sudah pasti menjabat posisi itu. Namun sesungguhnya posisi itu sangat berat. Karena menyangkut banyak keluarga yang menggantungkan hidup mereka pada perusahaannya. Beban berat itu lah yang sebetulnya menyiksa. Tidak segala sesuatu bisa indah. Tapi harus mengambil hikmah juga dibaliknya. Karena mungkin begitu cara Allah membuatnya berada di jalur kebaikan untuk menolong orang lain. @@@ Ferril tiba di depan sebuah gedung yang pernah menjadi tempat acara dan menjadi saksi pertemuan bersejarahnya pertama kali dengan Echa. Bukan bermaksud bernostalgia. Ia hanya teringat saja dan malah sengaja mampir di depan gedung itu. Ia berdiri dari dekat kap mobilnya lantas tersenyum sendiri. Asal tahu saja, baru kali ini Ferril terdeteksi agak gila ketika mendekati perempuan. Mana pernah ia sampai seperti ini sebelumnya. Hebat kan seorang Echa? Padahal gadis itu tak melakukan apapun. Tapi Ferril dibuat sampai seperti ini. Apakah ini sesuatu yang bagus? Mungkin. Ferril jadi ingat hari itu. Awalnya ia melihat Echa muncul dari pintu masuk dan langsung bertanya kepada salah satu panitia tentang penyelenggaraan acara. Mungkin gadis itu mengira kalau ia sudah tertinggal padahal acara pertama memang baru saja dimulai sehingga ia masih diizinkan masuk. Saat itu, Ferril hanya sekedar melihat. Hanya terpintas satu kata, yaitu cantik. Hanya sekedar kekaguman biasa pada perempuan. Yaa yang namanya lelaki kalau melihat yang cantik juga akan begitu kan? Iya kan? Ferril juga sama. Saat itu memang belum ada rasa apapun. Setelah itu, ia kembali melihat Echa. Gadis itu bertanya pada temannya Ferril yang tadi. Yeaah, selain ke Swiss, Echa juga punya niatan untuk melanjutkan kuliah ke Inggris. Itu pilihan kedua. Ia tahu Inggris itu peminat mahasiswanya ada banyak sekali. Rata-rata mahasiswa Indonesia pasti memilih Amerika, Inggris, Jepang atau Korea Selatan. Mungkin karena mereka melihat reputasi kampusnya, jurusannya, mata kuliahnya, kepopuleran negaranya, dan sebagainya. Yaa tergantung alasan masing-masing. Kalau Echa? Ya sama. Ia mencari yang terbaik. Jadi ia mendatangi temannya Ferril untuk bertanya perihal kampus yang dituju. Kebetulan sekali kan temannya Ferril itu alumni kampus yang ingin ia tuju. Ferril masih hanya sebatas melihat. Karena ia meladeni beberapa perempuan yang sengaja datang untuk bertanya sekaligus modus padanya. Namun Ferril tak tertarik. Saat temannya memanggil, Ferril pamit pada perempuan-perempuan itu kemudian menghampiri temannya. Saat ia datang itu lah, ia melihat Echa dari dekat. Wajah juteknya memang kentara. Ia yang awalnya hanya menilai porsi cantiknya mendadak memiliki pandangan lain. Apalagi ketika Echa tak terlihat tertarik sedikit pun padanya. Itu lah yang membuatnya tertarik. Bisa dibilang Ferril memang amat percaya diri tentang dirinya. Toh memang benar kalau tak ada satu pun perempuan yang ia dekati mampu menolaknya. Sementara Echa berbeda. Ia bahkan bersikap biasa saja ketika akhirnya dititahkan untuk mengobrol dengan Ferril. Ia mendengar penjelasan Ferril dengan baik dan hanya bertanya sesuai dengan kebutuhannya. Tidak ada nada manja justru cenderung serius dan tegas. Tidak ada main mata apalagi memberi kode-kode ganjen lainnya untuk menarik hati Ferril. Jauh dari itu. Itu yang membuat Ferril amat penasaran. Ini cewek benar-benar tak tertarik atau hanya jual mahal? Hahahaha. Jadi ia memutuskan untuk mendekatinya hanya dari obrolan sekian menit itu. Sableng kan Ferril? Namanya juga playboy. Beda kelas dong sama lelaki sekelas Ardan. Hahaha. Kalau Ardan, bukan ia yang memutuskan untuk mendekati cewek itu atau tidak. Tapi si ceweknya yang memutuskan apakah mau didekati atau tidak oleh Ardan. Kasihan ya? Namanya juga takdir. Bukannya tak adil. Barangkali memang begitu porsinya. Hahaha. "Echa!" Ia memanggilnya kala itu. Echa saat itu sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu abang ojek yang sudah dipesannya. Teknologi semakin canggih. Kini tanpa perlu memberitahu posisi, cukup klik titiknya sang ojek akan langsung datang. Echa tak menoleh. Baginya, tak penting mengurusi orang-orang yang tak penting. Urusan dengan Ferril kan sudah selesai tadi. Iya kan? "Jutek amat." Ia sudah mendapat komentar itu baru dihari pertama bertemu. Echa semakin tak menoleh. Gadis itu sibuk mengecek ponselnya dan mengecek keberadaan si abang ojek yang agak terjebak macetnya perjalanan sore di Jakarta. Sementara Echa akan menumpang ojek setidaknya sampai stasiun terdekat. Ya itu caranya menghemat pengeluaran kan. "Kalo ada orang manggil, harusnya noleh lah. Itu cara menghargai orang." Echa langsung tersentil mendengar kata-kata itu. "Mau ngapain manggil gue? Ada urusan?" tanyanya galak. Ferril malah menahan tawa. Terdengar dengusan dari Echa dan ia tak ambil pusing dengan itu. Belum apa-apa Echa sudah ngegas. Lucu sih. Karena marahnya malah tampak menggemaskan bagi Ferril. Hahahaha. Playboy semacam ini enaknya diapakan ya? Lalu gadis itu naik ke atas motor, mengabaikan Ferril yang masih menahan tawa melihatnya. Ferril geleng-geleng kepala melihatnya pergi begitu saja. Galak amat, pikirnya. Padahal ia cuma memanggil. Dan itu sungguh membuatnya penasaran. Jadi ia kembali ke gedung dan mencari sahabatnya. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah.... "Tolong lah, Ndro." Ia merayu Indro untuk mau berbagi biodata Echa. Pasti ada kan karena gadis itu mengikuti kegiatan ini. Iya kan? Indro menghela nafas. Awalnya memang menolak. Tapi berhubung ia sudah tahu akan diapakan data-data perempuan seperti Echa ini, ia berikan saja. Dari pada terus dikejar Ferril. Cowok yang satu ini memang sangat gigih mengejar perempuan-perempuan. Yeah, yang dimaksud memang bukan hanya Echa. Tapi ada banyak perempuan dan itu hal umum terjadi. Siapapun yang mengenal Ferril tentu tahu track record-nya terkait perempuan terlihat jelas diwajahnya. Echa bahkan bisa menilai itu. Makanya ia hanya menanyakan hal-hal terkait beasiswa dan kampus yang menurutnya penting. Begitu selesai, ia langsung pamit. Tidak seperti yang lain, yang justru mencari-cari kesempatan untuk dekat dengan Ferril. "Thanks!" Ia tampak sumringah. Indro geleng-geleng kepala. Ferril segera melacak namanya di data yang ada pada perusahaan. Yah memang conflict of interest sering menerpa Ferril. Hingga secara tidak langsung, ia memanfaatkan hal ini untuk mencari sesuatu yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Namun tak banyak yang bisa ia dapatkan dari Echa. Echa Puteri Elysia. Itu nama lengkapnya. Awalnya Ferril mengira kalau Echa itu hanya nama panggilan. Ternyata memang bagian dari namanya. Biasanya kan begitu ya? Seperti Bundanya. Nama Bundanya kan Marissa tapi dipanggil Icha alih-alih Rissa. Papanya memanggil Rissa kalau sedang marah. Ferril sudah sangat hapal akan hal itu. Hahaha. Lalu kembali pada Echa. Ia menemukan nama kedua orangtua Echa. Ibunya berprofesi sebagai pembantu. Ayahnya hanya buruh. Ia mengangguk-angguk. Echa juga lulusan Universitas Indonesia dengan jalur beasiswa. Ia tersenyum tipis. Dari cara Echa bertanya dan mengkonfirmasi kata-katanya, ia terlihat sangat cerdas. Wajar menurutnya. Lalu gadis itu anak sulung dari empat bersaudara. Aaaah. Ferril mengangguk-angguk. Hanya itu yang ia dapatkan tentang Echa. Ada juga alamat tempat tinggalnya. Begitu Ferril datang ke sana beberapa hari kemudian, alamatnya benar. Ia bahkan membeli bunga dan sengaja menitipkan pada ibu kos eeeh saat akan pamit..... "Itu nak Echa-nya, Mas!" Si ibu tampak sumringah. Echa yang muncul tepat di belakangnya tentu saja bingung dengan lelaki yang tiba-tiba datang dan memberinya bunga. Ia bahkan sudah lupa dengan cowok tengil yang menggodanya dikala itu. Awalnya Echa mengernyitkan kening ketika menatap Ferril. Karena merasa tak mengenalnya. Namun semakin lama, sepertinya ia Mukai menyadari seiring dengan matanya yang membuat besar. Hahaha. Ferril menahan tawanya. Selalu menyukai cara Echa bereaksi. Ia tampak dingin. Tampak datar. Tampak jutek. Namun anehnya ketika bereaksi, ia bisa bereaksi dengan ekspresif. "Ngapain lo di sini?" Ia jelas bingung. Kenapa Ferril bisa berada di sini. Cowok itu malah mengulum senyum dan menatap Echa secara terang-terangan. Jengah ditatap seperti itu, Echa bergidik dan memilih masuk ke dalam kosan. Kata kedua yang terlintas di kepalanya tentang Ferril selain playboy adalah m***m! Padahal Ferril tak bermaksud begitu. Ia emang begitu. Mungkin terlalu kentara kalau sedang tertarik pada perempuan dan cenderung tidak menahan diri ketika sedang menatapnya. Hingga hari kedua pun tak ada yang istimewa dari pertemuannya dengan Echa bagi Echa ya? Hahaha. Pertemuan ketiga, Ferril menunggu di depan kantornya. Itu jelas sesuatu yang gila bagi Echa. Echa benar-benar tak tahu apa-apa. Sampai satu kantor heboh dengan kehadiran cowok kece berikut mobil kerennya terparkir ganteng di depan gedung kantor mereka. Apalagi mobil Ferril kan nyentrik warnanya. Warna merah menyala. Mahal pula harganya. Jangan tanya berapa. Lalu orangnya ganteng pula kan. Percaya diri sekali duduk di atas kap mobilnya sembari menunggu Echa usai mengajak petugas kebersihan gedung itu mengobrol. Begitu Echa keluar, karyawan-karyawan lain yang menatapnya tentu saja berseru. Apalagi ketika Ferril menawarkan Echa untuk diantar pulang. Riuhan itu yang membuat heboh. Sementara Echa malah tampak kesal. Bagaimana ya? Ia merasa tak mengenal lelaki ini. Mereka bahkan bisa dibilang tak saling mengenal. "Ogah!" Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Echa. Lalu ia menarik lengan kedua temannya dan membawa mereka menyeberangi jalan. Kedua temannya tentu saja ternganga mendengar penolakan itu. Cowok ganteng begitu dan mobilnya begitu keren malah ditolak mentah-mentah. Iya kan? Para karyawan lain pun berseru semakin heboh. Ferril justru tak sakit hati sama sekali dengan penolakan itu. Malah semakin tertantang. Ia melihat Echa yang lebih memilih naik angkot dari seberang jalan ketimbang pulang dengan mobil mewah miliknya itu pertanda kalau Echa benar-benar tak tertarik. Yaa sejual mahalnya perempuan, menurut Ferril, pasti setidaknya tertarik dengan mobilnya. Namun Echa tidak. Bahkan saat Ferril dengan sengaja datang dijam makan siang kantornya lalu dengan sengaja pula membayar makanan yang ia makan, ia selalu mengganti uang itu. Echa menaruh uangnya sendiri di depan Ferril dan selalu mengatakan penolakannya dengan tegas. "Jangan ganggu-ganggu gue lagi!" Penolakan untuk ke sekian kalinya. Yeah, itu makanan Ferril semenjak mengenal Echa. Tapi Ferril tak menyerah. Ia tahu kalau Echa tak punya pacar. Tahu dari mana? Hohoho. Semua teman Echa bersekongkol dengannya. Hahaha. Mereka sangat mendukung Echa dengan Ferril dengan alasan Ferril ganteng dan tajir. Alasan yang terdengar agak matre. Tapi ada alasan yang ketiga, yaitu.... "Kayaknya baik deh, Cha. Tulus juga. Buktinya dia mau sama lo." Begitu. Tapi yang namanya Echa mana tertarik? Mana percaya juga? Dari awal mekiaht wajah tengilnya, penilaian Echa tak pernah berubah. Ya katanya memang tak boleh menilai seseorang dari wajahnya. Namun itu lah yang tergambar dengan jelas dari wajah Ferril yang tengil itu. Dan lagi, Echa memang tak tertarik dengan asmara. "Dia itu, Ril, bukannya gak suka cowok sih. Tapi gak ada pikiran lagi buat jalin hubungan atau semacamnya gitu deh." Teman-temannya juga tak paham. Echa juga bukan trauma masa lalu. Echa sudah berkali-kali mengatakan hal ini pada teman-temannya. Ia hanya sibuk mengurus hidupnya dan masa depannya sendiri. Di dalam pikiran Echa, ia harus seperti ini nanti. Ia harus memiliki ini dan itu. Bukan matre. Tapi ia hanya ingin hidup dengan layak. Mungkin setelah merasa hidupnya telah layak, baru kemudian ia memikirkan persoalan pasangan. Namun sayangnya, hingga sekarang hal itu tak kunjung didapatkan. Ferril tersenyum tipis menatap gedung itu. Ia lama sekali berdiri di sana hanya sekedar untuk mengingat kenangan manis baginya ketika pertama kali bertemu dengan Echa yang galak. Hahaha. Ia jadi kangen gadis itu. Tak tahu pula apa yang terjadi. Tapi semoga baik-baik saja. Ia mengemudikan mobilnya. Sebelum pulang ke rumah, ia mampir ke sebuah rumah makan. Echa tak suka makanan mahal. Barang-barang mahal juga tak suka. Echa menyukai segala sesuatu yang cukup. Artinya tidak berlebihan meski menurut Ferril tentu saja berbeda makna. Karena kapasitas kecukupan bagi Ferril itu berbeda dengan yang dimaksud Echa. Cukup bagi Ferril adalah memberikan segalanya. Sementara bagi Echa ya benar-benar sesuatu yang cukup. Ia mampir untuk membeli nasi padang. Kemudian mengantarkannya ke kosan Echa. "Kebetulan banget loh, Mas. Mbak Echa gak keluar-keluar kamar." Ia jadi khawatir mendengarnya. "Kalau ada apa-apa, boleh hubungi saya, Bu?" Ia menyodorkan kartu namanya. Si ibu mengangguk. Perempuan itu juga sangat khawatir sebetulnya. Ferril menghela nafas. Ia mencoba menghubungi Echa namun hasilnya masih sama seperti kemarin-kemarin. Echa tak pernah mengangkatnya kecuali jika sedang terjadi sesuatu. Entah tak sengaja terpencet karena sedang memainkan ponsel tuanya. "Echaaa! Ini ada makanan dari Masnya. Ibu gantung di gagang pintu yaaa! Dimakan loh, Cha. Gak enak udah dikasih orang. Masnya baik banget lagi," tutur si ibu. Echa masih menangis di dalam sana meski mendengarnya. Ia hanya sedang bersedih dengan akhir dari hidupnya. Jangan pernah ada yang disesali untuk sebuah kebaikan, itu yang terus batinnya ingatkan. Ia juga tak menyesali itu. Hanya merasa kesal dengan apa yang terjadi bukan berarti mengutuk sebuah takdir yang ia pilih. Karena keluar dari pekerjaan adalah pilihannya. Saat hendak pergi mencuci muka satu jam kemudian, Echa akhirnya keluar. Bungkusan makanan itu masih menempel digagang pintu. Ia sesungguhnya sangat berterima kasih pada Ferril. Karena dari sekian banyak orang, hanya lelaki itu yang selalu ada. @@@ "Bun!" Usai menyikat gigi, bukannya tidur, ia malah menghampiri Bundanya yang masih duduk di depan televisi bersama Papanya. Ia sengaja langsung berbaring di pangkuan Bundanya sementara kedua kakinya ada di atas paha Papanya yang kini mendelik ke arahnya. Hahahaa. Ferril sudah biasa melakukan itu. Dari duku juga begitu. Fadlan sudah tak heran namun tetap saja mengesalkan karena selalu mengambil jatah nya untuk berbaring di atas pangkuan istrinya. Hahaha. Ia masih lelaki pencemburu jika urusannya sama anaknya yang paling sableng satu ini. Padahal anaknya yang lain tidak begini loh. Bahkan kakak ioarnya ketika pertama kali melihat tingkahnya seperti ini terkaget-kaget. Mungkin gagap budaya. Berbeda dengan Ando, suaminya Farras, kenbarannya sendiri, sudah terbiasa dengan tingkahnya yang satu itu sejak kecil. "Emang ada Bun, cewek yang gak mau nikah?" Bunda tampak berpikir. Kalau mendengar pertanyaan Ferril sedari duli itu memang sesuatu yang sebetulnya banyak terjadi di dunia nyata. Termasuk pertanyaan seperti ini. Ada loh beberapa perempuan yang enggan menikah. "Ada deh kayaknya." "Misalnya yang kayak gimana, Bun?" "Mungkin pengen bebas. Gak mau terkekang dengan dunia pernikahan." "Adek pikir cuma cowok yang merasa kayak gitu." Bundanya terkekeh. "Itu lumrah, Dek. Apalagi yang lingkungannya memang sudah seperti itu." Ferril mengangguk-angguk. "Ada lagi, Bun?" "Mungkin bukannya gak kepikiran kali ya, tapi belum nemu yang pas aja. Makanya masih betah sendiri. Nyari pasangan kan gak mudah." "Karena karir juga ada ya, Bun?" "Ada, Dek. Banyak di Jakarta kan banyak. Di perusahaan kamu pasti banyak juga tuh. Maksudnya bukan janda tapi yang benar-benar enggan menikah." Ferril mengangguk-angguk lagi. Memang benar. Dari sekian orang pasti ada. "Trauma juga bisa dijadikan alasan. Karena gak semua orang mengalami nasib baik, Dek." Ferril menghela nafas mendengarnya. "Kalau Echa kira-kira kenapa ya, Bun?" Bunda tertawa. Baru sadar kalau arah pembicaraannya ke sana. "Mungkin belum nemu aja." "Ada Adek gini, masih mau nyari yang mana lagi?" Bunda tertawa. Narsisnya turunan orang di sebelahnya ini. Menyebalkan sih tapi cinta. Aiish! "Ya kan gak setiap cewek suka sama kamu, Dek." "Gitu ya, Bun?" Ia bertanya dengan wajah polosnya. Kalau sedang begini, Ferril itu bertingkah seperti anak kecil. Makanya kakak iparnya benar-benar syok parah ketika melihat tingkahnya yang seperti ini pada Bunda. "Atau ada hubungannya sama beban ekonomi, Bun? Maksudnya, dia kan tulang punggung keluarga juga. Jadi udah gak mikirin kebahagiaannya sendiri gitu." Bunda tersenyum kecil. "Mungkin juga. Masih belum ada kemajuan, Dek?" "Ya gitu deh, Buun." Bundanya terkekeh. "Ya gimana mau ada kemajuan, lihat aja tingkahnya kayak begini. Cewek mana yang mau?" Papanya meledek. Istrinya tertawa. Ferril membalas perkataannya. Keduanya malah adu mulut. Hal yang membuat Bunda semakin kencang tertawa. Kalau ditanya soal siapa yang lebih kekanakan maka Bunda tak bisa memilih salah satu di antara keduanya. Karena keduanya benar-benar sama. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN