Bunga

2999 Kata
"Ke mana lagi, Deeeeek?" Bundanya berteriak dari lantai atas. Baru juga pulang sudah keluar lagi. Anak lelaki! Ia geleng-geleng kepala. Ya kalau anak lelaki memang lebih susah dilarang dibandingkan dengan anak perempuan. "Bentaaaaaar, Bundaaaaaa!" Berhubung ia punya waktu meski hanya sebentar. Ia pergi dengan mobilnya, mencari penjual bunga. Maunya membeli yang mahal tapi Echa tak pernah menilai sebuah pemberian dari harganya. Gadis itu cenderung akan mengembalikan sesuatu yang mahal. Kalau yang murah? Entah lah. Meski kata Nabila, kebanyakan dibuang. Hahaha. Pahit? Ya begini lah nasib cintanya. Anggap saja, ia memang harus berjuang keras untuk mendapatkan sebuah berlian terbaik yang pernah ada dimuka bumi ini. Saking langkanya. Ia membeli beberapa bunga di pinggir jalan kemudian ia atur sendiri posisinya hingga cantik sedemikian rupa. Kemudian menambahkan parfum perempuan pada bunga itu. Parfum yang sengaja ia titipkan pada Farras. Tadinya mau ia berikan pada Echa. Tapi.... "Apaan ngasih-ngasih parfum? Emangnya gue bau?!" Malah tersinggung. Ferril ingin tertawa sendiri kalau ingat itu. Maksud hati kan sama sekali tak berpikir ke arah sana. Hahaha. Kok bisa tersinggung begitu ya? Tapi baginya, Echa tak bau kok. Hihihi. Tapi reaksi gadis itu lucu ya? Karena selalu tak terduga bagi Ferril. Sesuatu hal yang benar-benar bahkan tak terpikir olehnya. Begitu lah sisi ajaib Echa yang tak pernah ia temukan pada perempuan lain. Hanya gadis itu satu-satunya. Ini pujian kan ya? Ia kembali masuk ke dalam mobil kemudian mengemudikannya memasuki jalanan kampus. Ia mau mampir sebentar ke masjid untuk solat Ashar berjamaah. Berhubung dekat jadi sekalian saja. Ia memarkirkan mobilnya kemudian mengambil wudhu. Usai solat, ia berzikir lama di masjid kampus itu. Biasanya ia kerap solat di sini sembari menunggu jam pulang Echa. Yaa gadis itu tak bekerja di kampus. Tapi jarak dari masjid ini ke kosannya tak begitu jauh. Ia sudah memperhitungkan menit-menit kedatangan Echa di kos. Mungkin itu yang membuat Echa terheran-heran kenapa Ferril selalu tepat dikala menghampirinya yang baru turun dari angkutan umum ketika pulang bekerja. Lelaki itu seolah menguntitnya. Padahal tidak. Usai berzikir, ia kembali keluar. Duduk sebentar menikmati angin yang sejuk karena lokasi masjid berada tepat di dekat danau kampus. Setelah itu, ia menyetir mobilnya dan terkekeh sendiri saat melintasi halte Stasiun UI. Yeah, di dekat halte itu ada kenangan kecil beberapa bulan lalu. "Kamu dulu tiap ke kampus juga nunggu di sini?" Gadis yang sudah duduk di sebelahnya ini mengangguk. Keduanya duduk di halte stasiun UI, menunggu bis kuning yang lewat. Ferril rela menemaninya. "Kalau yang ini lolos, bakalan langsung berangkat?" "Mudah-mudahan." Ferril mengangguk-angguk. Perempuan ini sepertinya pendiam tapi kalau sudah berbicara, omongannya lebih panjang dari kereta api. Ia pernah menyimaknya mengobrol tentang beasiswa dengan sahabatnya yang menjadi mentor gadis ini. Ia tampak asyik sekali membahas semua impiannya. Tapi kalau berbicara hal-hal lain, ia tak banyak bicara. Mungkin memang tipikalnya seperti ini. "Gak ada pikiran untuk menikah?" Perempuan itu agak tersentak. Usianya sudah 27 tahun. Perempuan mana yang tak berpikir untuk menikah diusia seperti itu? Hanya saja, ia belum menemukan sesosok lelaki yang benar-benar ia inginkan. Sesosok Ferril? Lelaki ini jauh sekali dari tipe lelaki yang ia sukai. Meski ia akui, Ferril ganteng sekali. Tapi baginya, tampang tidak penting. Yang penting kan agama dan ia sedang memasang hal itu menjadi pertimbangan utama. Meski.... entah kapan ia akan melaju ke sana. "Kenapa diam?" "Apa yang sedang kamu selidiki?" Ferril menghela nafas. "Mencari tahu tipe lelaki yang kamu sukai." "Untuk apa?" Ferril terkekeh. "Hanya penasaran karena kamu gak pernah terlihat tertarik padaku." Perempuan itu berdeham. Namun ia tetap heran pada Ferril. Kenapa? Lelaki ini sudah tahu kalau ia tak menyukainya tapi kenapa tetap bertahan? Itu tak membuatnya ingin tahu juga. "Ada yang kamu suka?" Perempuan itu menggeleng. Hatinya hampa. Sudah lama ia tidak jatuh cinta. Terakhir? Waktu SMA kah? Ia juga lupa. Atau waktu kuliah? Ah entah lah, ia juga tak yakin. "Kalau begitu, kenapa gak belajar menyukaiku?" Perempuan itu kaget. Namun ia mengabaikan pertanyaan itu dan memilih masuk ke dalam bis kuning. Ferril mengikuti langkahnya. Ia berdiri di depan gadis yang kini duduk di depannya di dalam bis kuning. "Pertanyaanku belum dijawab," lanjut Ferril. Tapi perempuan itu memilih memalingkan wajah. Ia enggan menjawabnya. Baginya, sangat sulit belajar mencintai. Dari pengalamannya jatuh cinta, ia hanya bisa jatuh cinta pada lelaki pada pandangan pertama bukan cinta karena terbiasa. "Cha," tegur Ferril saat mereka sudah turun dari bis kuning. Ia menjajari langkah perempuan yang berbeda setahun dengannya itu. Hanya setahun lebih tua. Biasanya, Ferril menyukai wanita tiga sampai lima tahun lebih tua darinya. "Aku udah pernah mencoba tapi gak ada yang berhasil." Ferril tersenyum kecil. "Mungkin belum keras mencoba." Perempuan menggeleng. Ia sudah mencoba selama dua tahun tapi hasilnya tetap nihil. Cinta tidak semudah itu baginya. "Kamu hanya membuang waktumu." Ferril terkekeh. "Mungkin," tuturnya lantas menatap lurus ke depan. "Kalau ada lelaki lain yang kamu sukai, aku akan mundur. Tapi kamu bilang tidak." "Ya." "Jadi, itu kesempatan untukku." Perempuan itu tersenyum sinis. "Tapi pada akhirnya kamu akan pergi juga. Sama seperti lelaki lain." "Kita belum lihat bagaimana hasilnya kan?" Perempuan itu menatapnya heran. "Kenapa sudah menyimpulkan padahal belum tentu terjadi?" Bagi Ferril, apapun bisa terjadi jika Allah menghendaki. Sebegitu percaya dirinya kah? Anggap saja iya. Ferril sudah sangat sering berada di suatu kondisi di mana seperti tak ada harapan hidup dan seakan benar-benar mati. Tapi ternyata? Ia masih bertahan sampai sekarang. Masih sehat. Masih hidup. Masih bisa bernafas. Itu bukan karena keajaiban. Tapi kepercayaannya pada Allah. Jika memang belum, kenapa harus berpikir untuk pasrah dan menyesali apa yang telah terjadi? Lebih baik mencoba terus untuk melanjutkan hidup meski persentase keberhasilannya mungkin kecil. Tapi tak ada yang tak mungkin jika menyangkut Allah kan? Ia tiba di dekat gang kosan gadis itu. Kemudian membawa keluar bunganya. Ia berjalan masuk ke gang yang sebetulnya agak sempit untuk sebuah mobil. Tapi masih ada mobil yang bisa masuk bahkan terparkir rapi di dalam rumahnya yang berpagar. Ferril malas kalau harus membawa mobilnya masuk karena di depan rumah kosan Echa sama sekali tak ada lahan parkir. Jalannya juga lebih sempit dibandingkan dengan di jalan ia masuk ini. Ia berbelok ke kiri dan sudah menjumapi rumah kosan Echa. Jaraknya tak begitu jauh dari jalan raya tadi. Mungkin hanya berjalan kaki satu sampai dua menit. Ia mengetuk pintu. Sang ibu kos seolah sudah hapal dengan muka cowok ganteng yang sering menempeli Echa dan Echa selalu bilang.... "Itu sepupu saya, Bu. Anaknya emang tengil. Maafin ya, Bu." Hahaha. Gadis itu tak mau mengaku kalau didekati lelaki semacam Ferril. Mungkin karena tak masuk ke dalam kriterianya? Ah entah lah. "Nyari Echa ya, Mas?" "Iya, Bu. Ada?" Ia sudah mencoba menghubungi Echa sejak siang. Tapi gadis itu sama sekali tak mengangkat teleponnya atau membalas pesannya. Sebetulnya, biasanya juga seperti itu. Apa yang ia harapkan sebetulnya? Hahaha. Ini memang seperti tak ada bedanya. "Dari pagi sih belum keluar," tutur si Ibu. "Tunggu bentar ya, Mas." Ferril mengangguk-angguk dengan sopan. Ia masih berdiri di depan pagar rumah. Pagar itu langsung menyambung teras rumah ibunya. Bisa saja duduk di bangku yang ada di teras itu tapi Ferril juga sungkan. Makanya ia hanya berdiri di sana. Si ibu kos menggetuk-getuk pintu kamar Echa. Tapi tak ada jawaban. Ia kembali mengetuk. Berharap ada sahutan. Makin lama makin khawatir juga dengan anak kosan nya yang satu ini. Akhir-akhir ini memang kerap menyendiri. Ia tahu kalau Echa sudah keluar dari pekerjaannya. Gadis itu hanya mengatakan kalau bosan jadi ingin istirahat dulu. Namun kesan yang ditangkap dari kelesuan Echa justru berbanding terbalik. Gadis itu tampak muram. Tidak bersemangat sama sekali. Terlebih saat masih gagal setelah mencoba mendatangi Kementerian Tenaga Kerja yang memilih untuk lepas tangan akan masalahnya. Padahal sebagai seorang pekerja, ia punya hak dan itu menjadi kewajiban kementerian untuk ikut memberantas masalahnya. Tapi katanya...... "Kalo cuma satu-dua orang mana bisa, Mbak." Begitu alasannya. Padahal Echa juga sebetulnya sudah tahu kalau pihak kementerian tak mungkin berpihak kepadanya. Dari sekian banyak tenaga kerja yang mungkin memiliki masalah sepertinya juga berakhir dengan pasrah dan mengikhlaskan apa yang terjadi. Namun bukannya Echa ingin kembali ke kantor itu. Tidak sama sekali. Ia sudah bulat dengan keputusannya. Ia tetap ingin keluar. Yang ingin ia perjuangkan hanya hak untuk mendapatkan upah yang tertahan di sana. Bayangkan. Gaji dua bulan tak dibayar. Pesangon juga. Alasan mereka dipecat secara tidak hormat jadi tak berhak mendapatkan apapun. Tapi itu sungguh tak adil. Di bagian mana yang dikatakan tidak hormat? Jika yang Echa perjuangkan adalah nuraninya? Ia hanya ingin bekerja dengan jujur, apakah salah? Sudah sangat lama ia sangat ingin melapor kejadian ini. Bayangkan sudah tujuh tahun ia bekerja dan ia baru menyuarakan hal ini. Butuh keberanian yang cukup lama bukan? Meski kini ia malah down sendiri. Terpukul dengan apa yang menimpanya. Atasannya justru tak ambil pusing. Karena ia masih punya pekerja lain yang tertahan di sana dengan alasan ekonomi. Echa pernah mendesak yang lain juga tapi alasan mereka.... "Susah, Cha. Kita masih butuh duit. Anak gue mau dikasih makan apa?" Yaaa alasan-alasan semacam itu yang tak bisa membuat Echa berkomentar apapun. Hanya bisa pasrah dan patuh pada atasan yang berbuat semena-mena pada bawahan demi uang. Echa hanya ingin menangis kalau ingat itu. Ia hanya sedih karena ketidakjujuran itu membawa petaka bagi lingkungan hidup. Dampaknya mungkin belum dirasakan dalam waktu dekat. Namun dalam jangka panjang akan Mukai terasa. Bayangkan, air yang kotor dan mengandung bahan-bahan yang berbahaya masuk begitu saja ke dalam sungai. Kemudian mencemari sungai. Mau sepanjang apapun sungainya, lama-lama pasti akan ikut kotor juga. Akhirnya airnya tak bisa lagi digunakan untuk sumber air minum dan air bersih warga yang tinggal di sekitar sungai. Mereka adalah korban pertama dari sungai-sungai yang tercemar. Korban-korban tidak langsungnya? Yaaa ketika air sungai itu dimanfaatkan oleh perusahaan air minum daerah atau PDAM, lalu didistribusikan airnya ke seluruh kota atau kabupaten yang sakit perut dan mungkin terkena penyakit lainnya bukan kah akan lebih besar korbannya? Minum sekali-dua kali mungkin tak begitu terasa kalau bahan yang terkandung di dalamnya sangat rendah. Tapi kalau berkali-kali hingga di sepanjang hidup bagaimana? Mau jadi apa generasi selanjutnya? Itu yang Echa pikirkan. Tapi apa yang ia lakukan? Ia ingin menangis sendiri kalau ingat hal itu. "Echa-nya ada. Tapi kayaknya tidur, Mas," tutur si ibu. Ferril mengangguk-angguk. "Kalau begitu, titip ini aja, Bu," ujarnya. Ia menitipkan bunga untuk Echa. Surat cintanya tidak ditulis tangan tapi diketik melalui pesan. Semoga Echa tidak muntah membacanya. Hahaha. Ferril pamit pulang. Ia menghela nafas panjang sembari berjalan menuju jalanan raya. Menuju mobilnya yang terparkir di pinggirnya. Jujur saja, asmara nya kali ini emang tidak mudah. Apalagi sampai begitu konsisten hanya mengejar satu perempuan. Awalnya mungkin hanya penasaran dengan Echa yang tampak berbeda dengan perempuan lain. Tapi sepertinya bukan karena itu juga. Ia menyukai Echa dengan perlahan. Meski didominasi rasa tertarik pada awalnya. Toh kisah awal-awal pertemuannya dengan Echa memang dipenuhi banyak warna yang indah dan berbagai kejadian tak terduga. Romantis? Tidak juga. Karena Echa selalu menghancurkan hal itu. Hahaha. Dan itu lah yang membuat Ferril awalnya merasa tertantang dengan beragam cara Echa menolak pesonanya. Sama sekali tak jatuh cinta padanya hingga sekarang. Mau tertawa tapi ini seperti meledek diri sendiri. Meski kenyataannya memang berbicara demikian. Selain persoalan reaksi Echa yang terus menolaknya, tentu saja ada hal lainnya yang membaut Ferril menyukai gadis ini. Yang paling memesona tentu saja kecantikannya. Perempuan ini berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah ada dihidup Ferril. Perempuan ini bahkan tak perlu memoles bedak sedikit pun untuk tampil cantik walau wajahnya terlihat jutek. Tapi sebenarnya ia adalah perempuan yang cukup ramah, persis Bundanya. Hal lain yang membuat Ferril makin terpesona tentu saja kepribadiannya yang mirip dengan bunda. Semakin Ferril mengenalnya, ia semakin menemukan sosok bunda di dalamnya. Ya, mungkin karena Ferril terlalu menyayangi bundanya. Jadi ia menginginkan perempuan yang kalau bisa mirip dengan bundanya. Bukan fisiknya tapi kepribadiannya. Hingga mungkin ini lah yang membuat Ferril berhenti mencari perempuan lain untuk menjadi pendamping hidupnya. Ketika akhirnya ia dipertemukan dengan perempuan ini. @@@ Bunga itu akhirnya sampai juga ke tangan Echa. "Itu beneran sepupu atau pacar, Cha?" Echa tak menjawab. Ia pamit ke kamar mandi. Katanya mau mandi. Yeah, memang mau mandi. Ia sedang malas membahas soal Ferril. Ia tak berminat dengan lelaki manapun atau untuk sekedar menjalin hubungan dengan siapapun. Jangan tanya mengapa. Ia juga tak tahu. Ia hanya sibuk memikirkan hidupnya sendiri yang menurutnya sekarang sudah sangat berantakan. Menikah? Itu hanya akan menambah masalah saja baginya. Sementara itu, Ferril baru saja tiba di rumah. Tapi jemarinya sudah sibuk mencari nomor Nabila. "Lo ada ketemu Echa gak?" "Beberapa hari kemarin ada. Kita ke Kemenaker. Ngeusahain itu. Ya lo pasti udah tahu lah hasilnya akan kayak gimana." Ferril menghela nafas. "Lo gak bisa bujuk dia untuk nerima tawaran dari gue? Atau jangan bilang kalo kerjaan itu dadi gue gitu. Dia nolak mulu. Padahal gue ikhlas mau bantuin." "Lo tahu sendiri Echa kayak gimana, Ril." Nabila juga tak tahu cara untuk membujuk Echa. Ferril menghela nafas lantas segera keluar dari mobilnya. Adel sudah berteriak memanggilnya. Gadis kecil itu pasti menginap lagi di rumah ini. Setidaknya memang dapat mengusir kesepian Bunda. Berhubung cucu belum lahir kan. "Iih Abaaaang! Keluar muluuuu!" Ia mulai mengomel. Pasti mendengar dari Bundanya jadi bicara begitu. Ferril mengacak rambutnya lantas berjalan menuju kamar. Ia perlu mandi. Kemudian segera bersiap untuk solat Magrib. Seperti biasa, usai solat Magrib, nongkrong sebentar di teras masjid. Sempat membahas beberapa hal tentang permasalahan di komplek ini. Kemudian kembali ke rumah sendirian. Agak aneh memang baginya. Karena biasanya kembali ke rumah bersama abangnya setiap pulang dari masjid. Lah sekarang? Abangnya berbelok ke arah lain. Menuju rumahnya sendiri. Ferril menghela nafas. Memang ada yang hilang semenjak lelaki itu menikah. Ia jadi teringat hal-hal apa saja yang mereka obrolkan kala itu. Terasa berat untuk diingat tapi ingin tertawa sekarang. Tidak ada yang lucu tapi hanya terkesan dengan dirinya sendiri. "Udah makan, Bang?" Farrel mendongak. Tahu-tahu pintu ruangannya sudah terbuka. Kepala Ferril menyembul dibalik pintu itu. Ia langsung masuk saja tanpa perlu menunggu Farrel mengiyakan. Ia membawa beberapa bungkus makanan yang ternyata isinya adalah makanan kesukaan Farrel. Hahaha. Tumbenan, pikir Farrel. "Terakhir nih. Ntar kalau lu nikah, gue gak bisa lagi grebek elu di sini, Bang," tuturnya yang membuat Farrel seketika paham. Sepertinya ada yang mulai merasa kehilangan karena ia akan menikah. Hahaha. Dulu saat Farras akan menikah pun, Ferril begitu. Ia tak henti mengikuti Farras ke mana pun. Bahkan sering mengantarnya ke kampus. Setelah diomeli Farras yang sebal karena terus mengikutinya, baru lah ia jujur kalau ia mulai merasakan kehilangan. Hal yang membuat Farras menangis karena terharu. Biar pun sableng, Ferril memang mempunyai sisi manis yang juga romantis meski pada saudara sekalipun. Pada Bunda saja, ia sering bermanis juga bermanja ria. Jadi pada saudaranya juga sama. Tapi pada Farrel, ia jarang menunjukannya. Mungkin karena ada rasa hormatnya pada Farrel sebagai kakak tertua meski mereka lahir dihari yang sama. "Fara itu cewek baik-baik, Bang. Nanti kalau udah jadi istri, dijagain bener-bener tuh. Soalnya, yang ngantri kan banyak. Sayang aja kalau cewek sekualitas itu dilepas," tuturnya yang berlagak menasehati. Padahal ia sedang menghindari tatapan Farrel yang menahan tawa. "Lo masih ngejar cewek yang kemarin?" "Siapa?" "Yang diajak bukber?" "Echa?" Farrel berdeham. Ia tak ingat namanya. "Masih lah, Bang. Namanya juga cinta. Sampai ujung dunia pun gue kejar." Farrel tersenyum kecil mendengarnya. Ia mengangguk-angguk. "Syukur deh," gumamnya yang membuat Ferril mendongak. Sedari tadi cowok itu sok sibuk membuka makanan yang ia bawa. "Tumbenan lu nanya-nanya," tuturnya. Farrel terkekeh mendengarnya. Ia memang enggan bertanya hal-hal semacam itu pada Ferril. Mungkin terasa aneh...? Hahaha! "Gue bersyukur aja, akhirnya lo menemukan seseorang yang bener-bener pengen lo kejar," tutur Farrel lantas beranjak dari kursinya. Ia hendak bergabung dengan Ferril yang duduk di sofa dan menaruh makanan di atas meja di dekat sofa itu. "Gak ngejar semua cewek lagi," lanjutnya yang membuat Ferril terbahak seketika. Tahu aja Abangnya ini. Meski jomblo lama, ia memang rada-rada sih. Semua cewek dikejar. Alibinya? Biar ponselnya gak kesepian. Biar ada yang perhatian. Ckckck! Emang dasar buaya darat eh biawak apa ya? Cendol playboy? Ah terserah lah. Sangat sulit menggambarkan sosok Ferril jika urusannya sama cewek. Ia tersenyum kecil mengingatnya. Kalau sampai Farrel merasa bersyukur tentang ia akhirnya menemukan pemilik hati barangkali ini memang jawabannya. Sebetulnya, Ferril memang memiliki keinginan untuk menikah. Tapi untuk urusan calonnya apakah Echa atau perempuan lain, ia tak ada masalah sebetulnya. Jadi maksudnya bagaimana? Apa Ferril tak benar-benar serius mengejar Echa? Bukan begitu juga. Seperti ia yang sangat percaya diri ketika menghadapi sesuatu maka seperti itu juga besarnya keyakinannya pada takdir Allah untuknya yang menurutnya selalu terbaik. Apapun yang terjadi di dalam hidupnya, ia tak pernah mau tak mensyukurinya. Segalanya harus disyukuri. Apapun bentuknya. Karena Ferril yakin, akan ada bahagia di dalamnya meski penampilannya tampak terbungkus luka. Aku kirim bunga buat kamu. Mungkin memang gak bisa bikin kamu seneng dengan hadiah itu. Tapi bukan itu intinya, Beyb. Aku cuma mengingatkan kalau masih ada orang yang perduli sama kamu. Dan orangnya itu adalah aku. Yeah sesimpel itu pesan yang dikirim Ferril pada Echa. Tidak sealay biasanya. Hahahaha. Yang membuatnya menjadi alay biasanya karena ulah Ardan. Cowok itu seringkali mengerjainya diam-diam. Maka jangan heran kalau Ferril juga mem-bully-nya. Tapi Ferril yang biasanya memulai lebih dulu sih. Hihihi. Echa termenung membacanya. Ingin tertawa. Gadis itu memang merasa tertekan sejak beberapa bulan ini. Tidur pun tak tenang seakan terjadi sesuatu yang buruk esok hari. Padahal belum tentu bukan? Ia melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan kembali menekuk kedua kakinya. Memeluknya dengan erat sembari menyembunyikan wajah di antara kedua kakinya. Alu menangis dalam diam. Ia mana percaya kata-kata Ferril? Meski mungkin kalau melihat dari sudut pandang lain memang ada benarnya apa yang Ferril katakan. Tapi bagi Echa? Ibunya saja tak perduli dengannya. Alih-alih mengurusnya dulu, perempuan itu lebih memilih mengurus adik-adik tirinya. Tapi begitu Echa sudah bekerja, ia disindir-sindir untuk membantu keluarga. Sudah membantu tapi masih saja menyinyir. Kadang juga marah kalau uangnya kurang. Tak perduli bagaimana kehidupan Echa. Sekarang Echa juga masih mengirim yang ke rumah. Meski sudah hampir tiga bulan tak ada pemasukan. Echa juga tak tahu harus berbuat apalagi. Ia sudah berusaha mencari pekerjaan. Tapi belum ada panggilan sama sekali. Echa tahu kalau mencari pekerjaan itu sangat susah. Ia hanya bisa menahan diri untuk menyesali apa yang sudah ia perjuangkan untuk nurani. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN