4. Gara-gara Kamu

1031 Kata
Part 4 "Mbak sayang, tau gak persamaan kamu sama indomie?" "Apa?" "Sama-sama seleraku." "Hahaha ..." Pujian Abiyya disambut derai tawa ibu dan ayahnya. Sementara Safira hanya tersenyum malu. Sebenarnya dia masih kikuk tinggal bersama mertuanya. Dia terpaksa ikut sang suami. Walaupun sudah menolaknya berkali-kali. Masih terngiang dalam ingatannya kalau sang ayah menyuruhnya pergi bersama suami bocahnya. "Safira, kamu sekarang adalah seorang istri. Jadi kau harus mengikuti kemanapun suamimu pergi." "Jadi ayah mengusirku?" "Ayah tidak mengusirmu, Safira. Kamu bisa pulang ke rumah ini kapanpun juga. Tapi ini soal tanggung jawab, hak dan kewajibanmu sebagai seorang istri, jauh lebih mulia bila kamu ikut bersama suamimu, melayaninya dengan baik." "Tapi di sana kan ada Adit, Yah. Masa aku harus tinggal bersama dengan si pembohong besar itu?!" "Safira, masa lalu hanya masa lalu, kuburlah dalam-dalam perasaanmu itu, sekarang waktunya kamu membuka lembaran baru bersama suamimu. Turuti semua perintah suamimu selagi itu masih dalam jalan kebenaran. Bukalah hatimu untuknya." "Aaarrrggh! Kenapa sih gak ada yang mau tahu perasaanku!" Safira benar-benar kesal. Ia merasa dibuang oleh keluarganya sendiri. Mana mungkin secepat itu dia melupakan Adit, hari-hari yang dia lalui dengannya penuh dengan kenangan indah. Abiyya menghampiri Safira dalam kamarnya. Malam itu ia dan keluarganya memang mengajak Safira tinggal bersama. Seorang wanita bila sudah menikah, maka menjadi tanggung jawab suaminya. "Mbak sudah siap?" tanya Abiyya menghampiri. Safira berdecak kesal, tapi tangannya tetap membereskan baju-baju ke dalam koper. Baru saja menikah tadi pagi, dia harus ikut pergi bersama sang suami. Tanpa menunggu bermalam dulu di rumah keluarganya. Entahlah, Safira merasa terombang-ambing sendiri. Pernikahan yang digelar pagi tadi memang hanya akad nikah sederhana dan syukuran saja, tak ada pesta mewah maupun meriah seperti orang-orang. "Mbak, aku janji bakalan jadi suami yang baik untuk Mbak." "Halah, gak usah banyak janji kalau ujung-ujungnya gak bisa ditepati. Basi tau!" tukas Safira ketus. Abiyya hanya nyengir. Tapi ia tak mau menyerah, pemuda itu akan berjuang dengan keras untuk mendapatkan hati Safira yang kini menjadi istrinya. *** "Nak Safira, ibu dan ayah hari ini mau keluar kota. Kamu baik-baik ya di sini." Safira terperanjat kaget, melihat sang mertua sudah berpakaian rapi. Ia pun mengangguk pelan. Dia benar-benar tak mengerti dengan keluarga suaminya. Entah ada apa. "Abi, jaga baik-baik istrimu. Kalian jangan sampai bertengkar." "Iya, Bu. Ayah sama ibu berapa hari keluar kota?" "Paling tiga hari kami sudah kembali." "Ya sudah. Hati-hati di jalan." Mereka pergi mengendarai mobil Avanza-nya. Safira beranjak dari meja makan, semua mangkok kotor sudah tak ada di meja. Rupanya dia terlalu sibuk dengan lamunannya sendiri sampai tak sadar sudah ada seseorang yang membereskan bekas mereka makan. Suara gemericik air dari dapur dan terdengar denting piring beradu, membuatnya penasaran. Safira melangkah menuju dapur melihat bocah itu tengah mencuci piring. 'Rajin juga itu bocah.' Diam-diam Safira memujinya. Tanpa berniat membantu, Safira berlalu ke kamar. Mengganti bajunya dengan tunik lengan panjang serta celana jeans warna hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke atas hingga memperlihatkan leher jenjangnya. "Wah mbak cantik sekali. Mbak mau kemana?" tanya Abi menghampirinya. "Kepo." "Ya elah ditanya ketus gitu. Kemanapun Mbak pergi biar aku antar ya?" Safira terdiam, menatap pantulan Abiy di depan cermin riasnya. Dia tersenyum sambil memainkan matanya. Tak peduli, Safira kembali memoles wajahnya dengan bedak dan memoles bibirnya dengan lipbalm. "Hei bocah, berhenti lihatin aku kayak gitu!" ujar Safira dengan nada setengah membentak. "Gak mau, bisa rugi aku!" Safira memutar duduknya, wajahnya bertanya-tanya, meskipun memasang wajah sinis tapi ia tetap kepo. "Rugi apa?" "Ya rugi aja gitu. Ada bidadari cantik di hadapan aku masa dianggurin gitu aja. Sayang banget kan?" "Hiiih ... Nggombal teruuuuusss!" "Tapi mbak suka kan?" ledeknya seraya menaik-turunkan alisnya. Safira mencebik kesal. Dia bangkit tapi langkahnya segera dihadang oleh Abiyya. "Aku harus pergi nanti bisa terlambat!" ujar Safira. "Biar aku antar, Mbak." "Tidak perlu, aku bisa naik taksi." "Mbak, tapi aku ini kan suami kamu, Mbak!" "Jadi dewasa sama kerja dulu yang bener, nanti akan kupertimbangkan kamu jadi suamiku!" "Terus kamu anggap aku ini apa?" "Bocah." "Tapi aku yang udah menghalalkanmu di depan penghulu dan keluarga, Mbak!" "Iya, memang. Tapi aku masih menganggapmu seorang bocah. Jadi dewasa dulu ya, bo-cah!" ujar Safira seraya menepuk pundak Abiy. "Oke, akan kubuktikan Mbak Safira pasti akan jatuh cinta padaku!" ujar Abiyya setengah berteriak. Safira menyambar tasnya, dan pergi begitu saja. Bisa ikut gila dia lama-lama berada di sana. Tanpa sengaja saat di halaman, Safira bertemu dengan Aditya. Lelaki itu tengah memanaskan motornya. Yang membuatnya heran, kenapa perempuan hamil yang mengaku sebagai istrinya tak tinggal bersama dengan Aditya. Pria itu malah asyik-asyikan di rumah ini seperti tanpa beban. Dia menoleh, menatap Safira dan tersenyum. Senyuman yang menawan, sebuah senyuman yang mampu menarik perhatiannya. Ya, karena senyuman itupun ia jatuh cinta. "Safira mau kemana? Bukannya masih cuti? Biar aku antar ya!" celetuk Adit menawarkan diri. Safira meliriknya sekilas lalu membuang muka dan kembali berjalan menuju jalan raya untuk menunggu taksi online pesanannya. "Safira, tunggu! Aku bisa jelaskan semuanya padamu," cegah Adit. Dia menarik tangan Safira. "Safira, please dengarkan aku. Aku ingin kembali padamu, cerailah dengan adikku." "Eh Mas, kamu pikir aku barang mainan yang harus dilempar sana-sini dan jadi rebutan kakak adik? Tidak, Mas!" Safira mengibaskan tangannya. Hatinya masih sakit bila mengingat kejadian kemarin. Walaupun Aditya, pria yang sangat ia cintai tapi ia tak rela bila harus mengalami kenyataan pahit ini. Safira langsung masuk ke dalam taksi yang berhenti di hadapannya. Sementara Abiyya memperhatikan mereka dari balik jendela. Gegas pergi mengambil motor, niatnya untuk mengejar Safira. Buuugggt ... Tiba-tiba Adit melayangkan pukulan pada adiknya sendiri. Abiyya meringis kesakitan. Tubuhnya terhuyung. Buuugggt ... Lagi, pukulan itu mendarat di wajah Abiyya. "Gara-gara kamu, semuanya hancur! Kau sudah merebut Safira dariku! Harusnya kemarin adalah hari pernikahanku dengan Safira. Tapi kau mengacaukan semuanya!" Adit emosi, ia tak bisa menahan amarahnya lagi, memukuli adiknya tanpa ampun. Abiyya memegangi pipinya, sudut bibirnya pun terasa asin dan nyeri. "Ini bukan salahku, mas sendiri yang salah! Karena kelakuan playboy mas menjadi boomerang untuk dirimu sendiri!" "Kau tahu apa bocah! Kau hanya anak kemarin sore! Tak pantas bersanding dengan Safira. Dia itu butuh sosok yang dewasa bukan anak ingusan seperti kamu, yang bisanya cuma main gitar gak jelas! Pernikahan itu bukan buat senang-senang saja, kamu juga harus memenuhi kebutuhan hidupnya, memberinya nafkah. Sementara kamu? Makan saja masih numpang orang tua!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN