3. Sama-sama Seleraku

1058 Kata
Part 3 "Maksud ayah?" "Kau akan menikah dengan Abiyya." Safira melirik pemuda di samping ayahnya. "Apaa? Menikah dengan bocah?" Safira terlihat sangat shock mendengar penuturan ayahnya. "Apa ayah sudah gila? Masa aku disuruh menikah sama bocah ingusan seperti dia?!" tunjuk Safira ke arah bocah itu. "Ayah gak gila, Nak. Ini demi kebaikanmu." "Kalau aku memang gila, Mbak. Tergila-gila denganmu, hehe!" celetuk Abiyya, membuat orang-orang tertawa kecil. "Cih! Dasar bocah edyan! Pokoknya aku gak mau Yah, malu dong masa aku nikah sama brondong? Usia dia jauh di bawahku!" protes Safira. Sang ayah mendekat, memegang kedua bahu putrinya. "Nak, usia tidak menjamin kedewasaan seseorang. Ayah punya keyakinan kau akan bahagia dengannya." "Tapi aku gak mau, Yah!" "Safira, ini demi kebaikan dua keluarga. Percayalah, ini juga demi kebaikanmu, Nak." "Tapi--" Nada suara Safira mulai melemah. Haruskah hubungannya dengan Adit kandas begitu saja? Dan dia harus menikah dengan bocah ingusan itu? "Kami semua sudah sepakat, kamu akan menikah dengan Abiyya." Safira terdiam. Kenapa keluarganya justru akan menikahkannya dengan seorang bocah? "Ibu, cepat panggil Bu Devina lagi buat membenarkan riasan anak kita." Safira terpaksa menerima pernikahan ini walaupun dengan setengah hati. "Saya terima nikah dan kawinnya Safira Adisty binti Azzam Hakiki dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan lantang dan lancar, Abiyya mengucapkan ikrar itu dalam sekali tarikan nafas. 'Gila nih bocah, lancar bener ngomongnya!' gumam Safira dalam hati. "Gimana saksi? Sah?" "Saahhhhh ....!" Semua orang merasa lega dan mengucap syukur, walau tadi sempat terjadi insiden yang membagongkan. Pak penghulu pun segera melantunkan doa usai ijab qobul. "Sekarang, mempelai wanita cium tangan mempelai pria. Dan mempelai pria mencium kening mempelai wanita." Abiyya tersenyum menggoda sambil mengulurkan tangannya. Safira terdiam sejenak. "Ayo Mbak Safira, mencium tangan suami berarti tanda menghormatinya dan bisa membuat hubungan diantara kalian semakin erat." Safira mencium tangan suaminya itu, tanpa basa-basi Abiyya membalasnya dengan kecupan di kening. "Ih, main nyosor aja!" pekik Safira yang disambut oleh gelak tawa yang hadir. *** "Mbak! Mbak, jangan ngelamun aja woi! Ayo wudhu, kita sholat bareng!" tukasnya. Safira terkesiap, melihat sang suami sudah berganti dengan baju Koko dan sarung serta peci. "Kenapa masih melamun aja? Aku ganteng ya?" ledek Abiyya lagi seraya mendekatkan wajahnya. "Ish ... Pede amat!" Safira berlalu dan langsung masuk ke kamar mandi. Abi hanya terkekeh. Membenarkan pecinya dan menggelar sajadah di sudut kamar yang memang digunakan untuk tempat salat. Ada sekat kain yang menjadi pembatas diantaranya. "Nih pakai mukenanya, pasti mbak tambah cantik." Safira terdiam, ia mengambil mukena yang disodorkan oleh Abi dan berlalu menuju tempat salat. Ini pertama kalinya mereka salat berjamaah bersama setelah menikah. Abiyya mengulurkan tangannya. "Ayo cium tangan suamimu ini." Safira berdecak kesal, tapi tak membantah permintaan suaminya. Mencium punggung tangan kurus itu, sedangkan Abiyya langsung mencium pipi Safira. "Ih kebiasaan deh, main nyosor aja!" pungkas Safira justru membuat pemuda kurus itu terkekeh. "Yang penting kan udah sah! Sayang, kamu tahu gak bedanya sajadah sama kamu itu apa?" "Gak tau dan gak mau tau!" sahut Safira ketus. Ia bangkit berdiri melipat mukenanya tapi tangannya langsung ditarik oleh Abi hingga terduduk kembali tepat di hadapannya. Wajah mereka sangat dekat sampai terdengar embusan nafas keduanya. Sejenak keduanya saling pandang, menatap dengan lekat. "Dengerin dulu dong sayang ..." "Iya, iya. Apa?" sahut Safira, beringsut mundur dan memalingkan wajah, tersipu malu, membuatnya sedikit salah tingkah. "Apa bedanya kamu sama sajadah?" "Apa?" "Kalau sajadah bikin nyaman saat sholat, kalau kamu bikin nyaman saat rindu." Safira mengulum senyum mendengar gombalan suaminya. Semburat merah muda kembali merona di pipinya. 'Huh, bisa-bisanya wajahku panas digombalin sama bocah ini.' "Udah?" tanya Safira pura-pura ketus, padahal jantungnya mulai berdegup tak menentu. "Ada lagi, Sayang." "Apa?" "Apa persamaannya kamu sama AC?" "Apa?" "Sama-sama bikin sejuk. Eeeaaa ..." Safira berusaha menahan senyumannya meski pipinya kembali merona. "Tapi kan AC-nya mati." "Eh iya ding," celetuk Abiyya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Dasar bocah!" Safira bangkit dan meninggalkan sang suami. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan seraya tersenyum simpul. Abiyya menyusulnya. "Aku akan hubungi tukang service AC, biar AC-nya dibenerin lagi, biar kamu gak kegerahan. Cukup aku aja yang gerah karena kamu gak respon-respon." Safira mencebik. 'Dasar gokil nih bocah!' Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan pintu membuyarkan mereka. "Abi, Safira, bangun Nak, mari sarapan dulu. Ibu udah masak nih!" panggil sang ibu dari luar kamar. "Ayo, Mbak!" Safira memutar bola mata, melihat jam bulat yang bertengger di dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. "Kok jam segini udah diajak sarapan?" tanya Safira heran. "Kenapa? Memangnya mbak biasa sarapan jam berapa?" "Setengah tujuh." "Ya, nanti sarapan lagi jam setengah tujuh. Anggap aja ini cemilan." "Heh, emangnya aku gentong yang muat semua makanan?" "Memang bukan, Mbak ya Mbak Safira, istriku, bidadariku, calon ibu dari anak-anakku kelak." "Hiih masih bocah pake ngomongin anak segala! Dewasa aja belum, kerja juga belum!" Safira memonyongkan bibirnya. "Hehe, iya-iya, nanti aku bakalan cari kerja buat nafkahi Mbak Safira." Keduanya berlalu ke ruang makan. Sudah ada bapak, ibu serta Adit yang menunggu di sana. Bapak dan ibu menyambutnya dengan senyuman, tak seperti Aditya yang menatap tajam ke arah mereka. Hatinya begitu panas melihat keduanya bersama. "Gimana tidurnya, Nak Safira? Nyenyak?" "Iya, Bu. Alhamdulillah, nyenyak." "Abi gak nakal kan sama kamu?" "Eh?" Safira terdiam. Ia bingung menjawab apa. "Aku nakal lho Bu, semalam sampai bikin Mbak Safira nangis." "Lho kenapa malah bikin menantu ibu nangis?" "Hahaha, rahasia lah. Ibu kepo aja kayak gak pernah pengantin baru!" Mata Safira membulat mendengar omong kosong bocah gokil itu. Ia mencubit pinggang suaminya hingga ia berjingkut kaget. "Aw ... Sakit, Yang!" pekik Abi, membuat kedua orangtuanya ikut tersenyum. Braaakk ...! Aditya menggebrak meja, kesal. Ia langsung berlalu ke dalam kamarnya. "Adit, mau kemana? Kamu belum sarapan lho!" teriak ibu. "Udah biarin aja, dia udah dewasa tapi tingkah masih kayak anak kecil!" tukas Pak Wirasena. "Sudah sekarang kalian sarapan dulu," lanjutnya. "Ibu memang sengaja nyiapin sarapan lebih awal, soalnya ayah ada perjalanan keluar kota." Safira mengangguk. "Maaf ya kalau ibu cuma masak mie instan aja. Ini yang cepet soalnya, ayah buru-buru mau pergi." "Gak apa-apa, Bu. Ini juga enak kok," sahut Safira sambil tersenyum. "Ayo dimakan, Safira. Hari ini kan hari pertama kamu tinggal di sini, semoga kerasan ya." "Iya, Bu." Abiyya menghirup aroma mie instan di mangkoknya dari jarak dekat, yang menggugah selera. Irisan tomat, telor dan daun seledri menjadi penambah rasa nikmat. "Mbak sayang, tau gak persamaan kamu sama indomie?" "Apa?" "Sama-sama seleraku." . . . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN