Sejak melihat Damian yang diam-diam mengamati Mala di ruang rapat, Risa berusaha menganalisa sikap Mala sejak datang ke tempat bekerja. Tidak ada yang aneh menurutnya. Bahkan Mala tidak lagi terlihat sedih karena masalah-masalah berat yang dia hadapi. Mala tetap rajin bekerja seperti biasa dan tidak memilih-milih pekerjaan.
Risa penasaran. Dia amati Mala yang sedang mengambil makanannya dari microwave di istirahat makan siang hari itu.
Mala yang akhirnya menyadari dirinya sedang diamati, menatap Risa dengan dahi mengernyit.
"Ada apa, Risa? Kok liatin aku terus?" tanya Mala seraya duduk di sisi Risa yang sudah memulai makannya terlebih dahulu.
Mala meneguk air minum sejenak.
"Hm..., Mala. Elu nyadar nggak sih tadi pas di ruang rapat, Pak Damian liat-liat elu terus. Kayak marah atau gimana gitu."
Mala terkesiap dengan pertanyaan dari mulut Risa. Hampir saja kotak makanannya terlepas dari tangannya, tapi dengan cepat Mala menguasai dirinya.
Mala menggeleng. "Nggak..., hm..., perasaan kamu aja kali," gumam Mala. Dia terlihat gusar. Bagaimana tidak gusar, Mala mengira Damian tidak mengacuhkan dirinya. Tapi ternyata pria itu mengamatinya. Risa yang menyaksikannya.
"Lu kok gemetaran sih?" tanya Risa lagi. Dia amati tangan Mala yang bergetar saat hendak memasukkan sendok berisi nasi ke mulutnya.
"Aku lapar," jawab Mala setelah menelan satu suap nasi.
Risa menepuk bahu Mala lembut dengan senyum tipisnya.
"Atau dia akhirnya tau kalo lu ngintip dia ngent...t cewek waktu itu, La...," duga Risa.
Mala bernapas lega. Risa tidak mencurigainya. Tapi khawatir mendera dirinya. Apa mungkin Damian menyetubuhinya semalam karena mengetahui dirinya yang sebelumnya sempat mengintip Damian berhubungan badan dengan seorang perempuan bernama Linda? Apakah semalam Damian hanya memanfaatkan kesalahannya?
"Duh..., yang bener, Ris..." gumam Mala yang mulai cemas.
Risa angkat dua bahunya dengan bibir mencebik.
"Jadi aku harus gimana? Aku dipecat nggak ya?" Mala menghentikan suapannya.
"Udah. Nggak usah khawatir. Mungkin dia lagi sange kali liat elu...," hibur Risa sambil menjawil dagu Mala. Risa tidak ingin Mala mengkhawatirkan sikap Damian di ruang kantornya tadi.
***
Hari-hari berikutnya Mala tenang bekerja. Dia yakin apa yang terjadi antara dirinya dan Damian hanya sebuah kesalahan saja. Mala tidak serius menanggapinya. Toh, ternyata Damian tidak menggubrisnya. Saat berpapasan di kantor, Damian acuh tak acuh dan terkesan tidak mengenalinya. Ah, mungkin memang Damian sudah terbiasa dengan mempermainkan perempuan. Sehingga dia pun menganggap perbuatannya hanya iseng belaka atau hiburannya di saat suntuk bekerja.
Mala sendiri semakin hari semakin giat berolah raga dan sengaja bekerja sekeras mungkin, agar dia cepat mendapatkan periode di bulan berikutnya. Juga mengkonsumsi makanan yang menjadi pantangan bagi ibu hamil. Ya, Mala tetap saja khawatir jika di minggu-minggu mendatang, tamu bulanannya tidak menghampirinya.
***
Damian kedatangan seorang tamu istimewa di apartemennya, Mathilda Bianca Robertson, mama kandungnya. Perempuan campuran Inggris dan Surabaya ini tampak asyik memasak di dapur apartemen Damian. Mathilda memang sesekali menyempatkan dirinya menjenguk putra kesayangannya ini, terutama pasca meninggalnya Kathleen James.
"Wah. Wangi banget rendangnya, Ma," gumam Damian setelah mendaratkan ciuman sayang ke pipi mamanya. Mathilda memang sedang memasak rendang, makanan kesukaan Damian.
"Iya. Tuh perkedelnya juga sudah siap disantap," balas Mathilda.
Damian tertawa senang. Rendang dan perkedel kentang adalah dua makanan favoritnya sejak kecil.
"Sebentar lagi selesai. Kamu sudah lapar kan, Sayang?"
Damian mengangguk. Dia pun beranjak menuju meja makan dan duduk menunggu makanan yang akan terhidang di hadapannya.
Masakan sudah selesai. Mathilda dengan telaten meletakkan piring berisi rendang dan dua potong perkedel berukuran besar.
Wajah Damian binar seakan ingin menghabiskannya dalam waktu singkat.
"Hm..., enak banget, Ma. Nggak berubah rasanya..., tetap seperti dulu," puji Damian. Mathilda tersipu dengan pujian anaknya. Pujian yang membahagiakannya.
"Mama senang kamu mulai mau berubah. Tidak melakukan itu lagi," mulai Mathilda. Beberapa waktu lalu, Damian mencurahkan isi hatinya kepadanya. Damian merasa hidupnya hampa akhir-akhir ini, khususnya saat mengingat Kathleen, mendiang istrinya. Mathilda pun memberinya anjuran agar Damian tidak lagi melakukan hal yang tidak baik. Dia yakin, kehampaan yang dirasakan Damian tidak lain adalah bentuk kesedihan Kathleen di alam sana, yang barangkali tidak merelakan perbuatan Damian selama ini.
Hampir dua minggu ini, Damian tidak lagi memesan perempuan seperti biasa. Mathilda tenang mendengarnya.
"Bagaimana dengan tawaran Tante Nella, Damian. Sejauh ini Anne memang perempuan terbaik menurut Mama. Dia cantik, pintar, berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Mama yakin kalian berdua bisa mengembangkan bisnis dan usaha keluarga."
Damian diam tidak menanggapi. Dia terus saja menikmati beberapa potong rendang. Satu perkedel sudah dia habisi.
"Lagipula. Hm..., Mama sudah kepingin punya cucu..., laki-laki. Kakakmu Dave kan anak-anaknya perempuan semua..." gumam Mathilda lagi.
Damian dengan cepat menghabiskan makan malamnya, karena memang kebiasaan Damian yang selalu makan dengan gerak cepat.
"Istrinya sudah tiga kali operasi. Yah..., kamu taulah."
Mathilda memang menginginkan setidaknya satu cucu laki-laki. Dia ingin ada pewaris dari garis keturunannya.
"Yah. Mama atur saja bagaimana baiknya," gumam Damian malas-malasan. Sebenarnya dia masih asyik dengan kesendiriannya. Dengan terbebas dari godaan perempuan saja dia sudah merasa sangat lega. Kini dia malah ditawari seorang istri. Damian sebenarnya belum menginginkannya.
Mathilda tatap wajah tidak semangat Damian.
"Mama nggak maksa, Damian. Mama hanya menganjurkan. Siapa tau kamu tergerak ingin menikah lagi. Maksud Mama, Anne bisa jadi pilihan..."
Damian meneguk air minumnya. "Ya...," jawabnya dengan wajah datar.
Sejak malam itu, Mathilda tidak pernah lagi menyinggung Anne. Dia sangat tahu watak Damian yang tidak suka dicampuri ranah pribadinya, terutama menyangkut masalah perasaannya terhadap perempuan, apalagi pernikahan.
Seminggu sebelum berhubungan badan dengan perempuan yang tidak dia kenal suatu malam, Damian sudah bertekad untuk tidak lagi bermain gila dengan perempuan manapun. Tapi entah kenapa malam itu, Damian tidak mampu membendung kerinduan yang mendalam terhadap mendiang istrinya. Tiba-tiba saja dia melihat perempuan yang dia temui secara tidak sengaja di salam lift di kantornya. Kerinduannya pun semakin jadi, sehingga dia tidak mampu menahan birahi dan ingin segera menyudahi hasratnya. Sejak malam itu, tidak ada lagi malam-malam nakal yang dilalui Damian.
Damian pun menganggap perempuan yang dia gauli dengan penuh gairah cinta dan rindu itu adalah perempuan nakal biasa. Dia sering mengamati perempuan yang bekerja sebagai tenaga kebersihan di gedungnya itu di tiap-tiap harinya. Perempuan itu tetap bersikap biasa seolah-olah menganggap tidak ada yang terjadi antara dirinya dan perempuan itu. Akhirnya, Damian memutuskan untuk tidak lagi mengacuhkannya.
***