Perasaan Mala benar-benar tenang saat pagi-pagi sebelum berangkat kerja. Dia sempat bertemu Bu Fika yang baru saja pulang dari masjid selepas menunaikan sholat Shubuh. Bu Fika pagi itu curiga dengan wajah Mala yang matanya sembab. Bu Fika cepat menebak pasti Mala menangis semalaman memikirkan anak-anaknya.
"Sabar, Mala. Tetap berpikir positif. Berpisah dari anak-anak bukan akhir dari segala-galanya. Lambat laun kita juga terpisah dari mereka. Lagipula mereka tinggal bersama Papa mereka. Anggap saja kamu memberi kesempatan mereka untuk hidup yang mereka anggap lebih menyenangkan. Maaf, bukan menyinggungmu. Tapi kamu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu segan meminta bantuan orang tuamu, kamu juga lemah di hadapan mantan suamimu. Sabar..., jangan berhenti bersabar."
Kata-kata Bu Fika sangat menenangkan pikiran Mala.
Saking tenangnya, Mala tidak lagi merasa kesal dengan sikap Agung. Apalagi saat Bu Fika juga mengatakan bahwa anak-anaknya pasti hidup senang dan sangat disayang Papa mereka. Jadi Mala tidak perlu terus menerus bersedih hati. Hanya kerinduan yang Mala rasakan sekarang ini. Selama perjalanan menuju tempat kerjanya, Mala membayangkan senyum anak-anaknya yang kini berada di bawah asuhan Agung. Mala senang membayangkannya. Tak mengapa meski sendirian. Namun, tetap saja Mala belum bisa membendung rasa sedihnya berpisah.
***
Damian yang sudah rapi dengan piyama tidurnyanya, duduk santai di atas sofa di depan televisi besarnya, dengan kaki terjulur di atas meja kaca. Dia sedang menyaksikan video lama. Video yang menunjukkan kebahagiaannya bersama seorang perempuan berambut blonde. Dia adalah Kathleen James, mendiang istri Damian yang meninggal karena sakit paru paru basah. Yang menyayat hatinya, Kathleen meninggal saat mengandung dua bulan.
Damian sangat tenang ketika menyaksikan video tersebut. Melihat wajah istrinya di layar televisinya yang lebar, membuat Damian merasakan kehadiran istrinya. Kadang dia tertawa mengenang masa-masa indah yang ditunjukkan di layar televisi, kadang dia menangis mengingat kisah sedih di balik video yang ditayangkan, kadang juga marah. Semua perasaan bercampur aduk malam ini.
Ada alasan kenapa Damian menyaksikan video kenangannya bersama mendiang istri tercinta, hari ini adalah hari pernikahannya. Damian ingin merayakannya sendiri di dalam apartemen mewahnya. Khusus hari ini, dia lepaskan pikirannya dari beban pekerjaannya.
Sulit bagi Damian melupakan Kathleen. Baginya, Kathleen sangat tulus mencintainya selama hampir belasan tahun menjalin kasih dengannya sejak duduk di bangku kuliah hingga menikah.
Hampir dua jam Damian menghabiskan waktu menonton video lama tersebut, hingga akhirnya dia tertidur di atas sofa.
Antara sadar tidak sadar, Damian bertemu dengan Kathleen yang cantik yang sedang menghampiri dirinya.
"Damian ... I have to go far,"
Hanya itu yang Damian dengar dari Kathleen.
***
Risa dan Usi ikut prihatin dengan cerita Mala yang harus merelakan anak-anaknya tinggal bersama Papa mereka sekarang. Mala tegar saat bercerita siang itu. Tidak ada lagi dendam atau amarah dari raut wajahnya. Mala terlihat sangat tenang.
Lebih sedih lagi ketika kedua sahabat Mala melihat Mala yang tetap semangat bekerja hari itu. Mala bahkan mau saja menggantikan pekerjaan yang biasanya dikerjakan laki-laki, yaitu membantu Bu Ajeng mengangkat kotak-kotak berisi botol-botol cairan pembersih ke atas lemari penyimpanan di ruang khusus. Mala mau melakukannya karena memang tidak ada yang bisa membantu Bu Ajeng. Lagipula tidak lama, hanya setengah jam saja.
Ternyata nasihat Bu Fika sangatlah benar. Sabar dan berpikir positif ternyata cukup menenangkan. Pikiran-pikiran buruk yang membebankan menjadi lebih ringan. Dan Mala bisa melalui hari ini dengan hati riang.
***
Hari ini Mala menyanggupi permintaan Bu Ajeng untuk bekerja hingga pukul sepuluh. Tidak ada yang bersedia yang membantu Bu Ajeng malam ini, karena tidak ada upah lebih malam ini. Sementara besok, akan ada beberapa tamu penting yang menghadiri rapat di ruang khusus kantor Pak Damian. Bu Ajeng senang Mala bersedia membantunya hingga malam. Mala pun senang bisa membantu Bu Ajeng karena waktunya bisa dimanfaatkan.
"Ibu nggak bisa bayangkan kalo kamu nggak bantu ibu, Mala. Pasti kerjaan ibu nggak beres. Pak Damian juga pasti kesel. Ruangannya nggak sempat dibersihkan. Duh..., kamu malaikat penolong ibu..." ujar Bu Ajeng saat mereka berdua sudah siap-siap akan pulang.
Mala senyum-senyum melihat wajah lega Bu Ajeng. Sebelumnya saat masih bekerja, wajah Bu Ajeng cemas bukan main. Tapi akhirnya mereka berdua bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
"Ibu turut sedih mendengar kabar tentang anak-anak kamu lewat Risa dan Usi. Yang sabar..." ucap Bu Ajeng lagi.
Tadi pagi Bu Ajeng sempat bertanya kepada Risa dan Usi kenapa wajah Mala sembab dan kelihatan sangat sedih saat bekerja. Mereka berdua pun langsung menceritakan kisah sedih Mala yang ditinggalkan anak-anaknya. Bu Ajeng salut dengan Mala, meski sedih, Mala tetap rajin bekerja seperti biasanya, hingga dia tidak segan meminta bantuan.
"Nggak papa, Bu. Mereka seneng kok tinggal sama Papa mereka. Di sana hidup mereka lebih baik," ucap Mala dengan senyum hangatnya.
"Ya sudah. Makasih banget sudah bantu ibu malam ini. Hm, ibu duluan ya?" balas Bu Ajeng. Tubuhnya sudah dibalut rompi tebal karena dia pulang dengan mengendarai motor.
"Hati-hati, Bu..." ucap Mala.
"Kamu juga hati-hati..."
Beberapa menit setelah Bu Ajeng pergi, giliran Mala sekarang yang siap-siap ke luar dari janitor.
Mala sudah nyaman dengan cardigan rajut yang menutupi seragamnya.
Dia pun melangkah semangat menuju lift barang yang berada di ujung koridor.
***
Damian sempat mengecek ruangan yang akan dia pakai besok hari untuk rapat bersama dengan beberapa kliennya yang berasal dari luar negeri. Tidak banyak, hanya sembilan orang. Damian tersenyum senang, ruangan tersebut sudah sangat rapi, bersih, dan wangi. Dia puas dengan hasil pekerjaan Bu Ajeng, orang yang sudah puluhan tahun bekerja di lingkungan keluarga besar Rubiantara, sebagai supervisor bagian kebersihan gedung.
Sudah hampir seminggu ini Damian tidak berhubungan badan dengan perempuan yang biasa dia pesan. Maklum, akhir-akhir ini entah kenapa pikiran Damian selalu tertuju ke Kathleen. Dia pun kurang semangat melakukan aktifitas tersebut. Justru malah mengganggu pikirannya. Damian mengasyikkan dirinya dengan menyibukkan diri, termasuk mengadakan rapat khusus dengan para kliennya besok pagi.
Setelah puas mengecek, Damian tutup pintu ruangan tersebut dan kembali melangkah menuju lift khusus untuk dirinya yang berada di ujung koridor.
Setibanya di depan lift khusus, Damian mengernyitkan dahinya. Lift tersebut tidak bisa beroperasi.
Sedikit berdecak kesal, Damian alihkan langkahnya menuju lift yang masih berada di dekat lift khususnya, yaitu lift khusus pengakut barang.
Damian lega. Lift barang bekerja dengan baik.
***
Mala heran, sebelumnya lampu lift tidak ada yang menyala. Namun saat lift tengah bergerak turun, tiba-tiba saja lift berhenti.
Deg. Jantung Mala berdetak keras. Dilihatnya seorang pria bertubuh tinggi nan gagah berpakaian kerja lengkap memasuki lift. Tetiba aroma wangi parfum mahal dari tubuh pria itu tercium olehnya saat memasuki lift.
Entah kenapa Mala menggeserkan tubuhnya dengan refleks. Padahal ruang lift cukup besar.
Mala pegang tali tasnya kuat-kuat menahan gejolak perasaannya yang merasa aneh berdekatan dengan pria tinggi itu. Seketika dia ingat adegan panas pria itu suatu malam di sebuah ruangan kantor. Mala resah mengingatnya.
Damian sendiri tampaknya merasakan hal yang sama dengan Mala. Seumur hidupnya dia tidak pernah berpapasan dengan seseorang yang memakai seragam kebersihan di dalam lift. Dia terlihat cukup gelisah.
Damian lirik-lirik Mala yang terlihat takut-takut. Mala sebisa mungkin menjauh darinya dengan perlahan menggeser tubuhnya ke dinding lift, meski sempat tertunduk hormat.
Mala terus tatap lampu di pintu lift, berharap lift segera berhenti di angka yang dia pilih sebelumnya.
Ting.
Mala lega. Pintu lift pun terbuka lebar untuknya.
Tapi...
Tap.
Damian menarik lengannya.
Bersambung