Curiga Bu Fika

1334 Kata
Risa tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mala yang bekerja overtime semalam. Mala mengeluh bahwa semalam dia tidak sengaja melihat adegan panas antara Pak Damian dan seorang perempuan bernama Linda di sebuah ruang kantor yang pintunya sedikit terbuka di lantai atas. Penasaran, dia lanjut mengamati adegan tersebut semalam. "Kenapa lu nggak ikut gabung, Mala. Permisi, Pak. Saya gabung boleh? Gitu..." canda Risa. "Kan jadi threesome deh..." lanjut Risa. Dia senang mendengar cerita Mala yang menggairahkan moodnya bekerja hari ini. Tidak menyangka Mala mau berbagi dengannya. Biasanya Mala tidak mau pernah bercerita yang berhubungan dengan hal-hal m***m, karena Mala menyadari Risa yang statusnya masih sendiri. "Idih. Apaan kamu, Risa. Tapi aku heran deh. Bukannya ruang kerja dia ada di lantai sebelas..., kok di atas banget?" "Ngapain heran, Mala. Lah gedung punya dia. Suka-suka dia mau nongki-nongki di mana...," Mala menggelengkan kepalanya. Bayang-bayang adegan panas itu masih saja berseliweran di benaknya dari semalam hingga sekarang. Bayang-bayang yang meresahkannya. "Hm..., pantas Usi minggu ini nggak pernah ngeluh lagi. Mungkin karena Pak Damiannya pindah ke atas." "Iya, Risa. Syukurlah. Kasihan juga Usi dapat kerjaan berat. Dia cerita ke aku dia kesusahan ngilangin bau-bau anyir gitu di ruang Pak Damian. Bau badan Pak Dami lengket sampe ke sofa-sofa. Dia sampai bilang ke aku mau pindah gedung. Soalnya katanya Pak Dami sering bikin dia ngulang-ngulang kerjaan..." "Iya. Hm..., emang gitu sih. Yah..., resiko kerja kalo suka ngeluh mah pasti ditempatin di tempat yang susah..." "Maksud kamu?" "Mala, Mala. Usi itu kan kalo kerja ngeluh melulu." "Tapi dia kerja bagus kata kamu kemarin?" "Yah. Nyenengin dialah. Gimana sih lu? Masa gue bilang ke dia kalo kerjaan dia jelek dan jorok? Trus dia ditempatin bagian ngebersiin kandang macan Damian? Mikir kek lu..." Mala tersenyum tipis. Dia membenarkan ucapan Risa. Usi memang kerap mengeluh di tiap-tiap harinya, sampai-sampai dia ingin pindah kerja saja. Anehnya, tiap hari mengeluh, tapi tetap saja dia datang dan bekerja. Entah apa maksudnya. "Asal lu tau. Sebenarnya yang ngebersiin ruang Pak Damian itu seharusnya dua orang sekali kerja. Karena Bu Ajeng tau kalo Pak Dami itu joroknya minta ampun dan kantornya berantakan. Kan gue pernah beresin kantornya dia sekali. Kudu tahan-tahan jijik. Mending cuma ketemu kondom doang. Gue sekali-sekali bersiin kantor si macan, udah panen silikon, sama beberapa celana dalam cewek yang keselip-selip di bawah sofa. Bau lagi. Lu bayanginlah..., bau pesing campur lendir kering..." Mala bergidik. Untung dia tidak pernah disuruh Bu Ajeng membersihkan kantor Damian selama ini. "Pak Damian tinggal di kantornya?" tanya Mala tiba-tiba. Dia ingat semalam keadaan kantor Damian yang lengkap dengan kulkas dan kompor layaknya tempat tinggal. "Nggak. Dia tinggalnya di apartemen gedung sebelah. Kenapa emangnya? Mau nemenin? Dia sendirian. Denger-denger nggak pernah dia ajak perempuan ke apartemennya. Kalo mau main kuda-kudaan pasti di kantor." "Oh...kok kamu tau?" "Ya..., Bu Ajeng yang cerita. Kan dia sering bersiin apartemennya Pak Damian. Bersih banget kalo di sana." "Oh...," "Duda. Kek lu, Mala. Janda. Cucok..." Mala menggeleng. Ada-ada saja Risa. "Aku nggak mau tugas malam lagi..." gumam Mala tiba-tiba. Risa mendelik. "Capek..., apalagi kayak semalam. Kapok aku..." "Tapi tips lu kan lumayan banyak, Mala." "Iya. Semalam banyak. Sampe dua ratus ribu. Pak Poer aja kasih cepek..., tapi ujungnya nggak enak banget..." Risa terkekeh melihat raut malas wajah Mala. "Hihi..., eh, jadi nggak enak gue ditraktir makan siang. Ntar malam, traktir lagi ya, La?" Risa rangkul bahu Mala ingin menenangkan perasaan sahabatnya itu. *** Pekan ini anak-anak Mala menginap di rumah papa mereka. Supir sekaligus ajudan Agung yang menjemput mereka berdua siang tadi. Ada perasaan sedih dan galau menyelinap di diri Mala. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya tidur berjauhan dari anak-anaknya. Tapi sedihnya berangsur lenyap saat mengingat wajah sumringah anak-anak ketika menyiapkan baju-baju untuk menginap di rumah Papa mereka. Mala juga ikut membantu mereka memilihkan baju-baju ke dalam tas besar. Bagi Mala, senyum kedua anaknya adalah segala-gala bagi hidupnya. "Mbak Mala. Ini keuntungan penjualan kue minggu lalu. Maaf baru laporan sekarang," ujar Sherly ke Mala yang sedang duduk di teras depan rumahnya, menunggu warung kecilnya. Anak Bu Fika itu menyerahkan sebuah amplop putih ke Mala. Ada Bu Fika juga yang menyusul di belakangnya. Bu Fika datang membawa baki berisi kue-kue yang dia titip ke warung Mala untuk dijual. Bu Fika adalah tetangga yang sangat baik. Sejak pertama Mala pindah ke samping rumah sewanya, Bu Fikalah yang mengurus kepindahan Mala dari melaporkan ke ketua RT, hingga mengurus sekolah Wenny dan Jeanny. Meski Bu Fika juga hidup serba pas-pasan, dia tidak pernah lelah membantu siapapun, termasuk keluarga Mala. Bu Fika memiliki tiga orang anak. Anak sulung dan keduanya sudah berkeluarga dan tinggal jauh di Bali dan Surabaya. Bu Fika sendiri tinggal bersama suami yang berprofesi sebagai guru SMA dekat rumah, dan seorang anak bungsu bernama Sherly, yang sedang menjalani kuliah semester lima. "Ya ampun, Sherly. Makasih banyak..." Mala menerima amplop dari Sherly dengan senang hati. Karena Wenny tidak mau membantu mamanya menjualkan kue-kue ke sekolah, Sherly malah menawarkan bantuan kepada Mala untuk menjajakan kue-kuenya di kampusnya. Sherly sudah terbiasa sejak SD membantu ibunya menjualkan kue-kue buatan ibunya ke sekolahnya hingga sekarang. "Sudah kamu ambil jatah kamu kan, Sher?" tanya Mala memastikan. "Sudah, Mbak..." jawab Sherly ikut senang. "Wenny dan Jeanny jadi ke papanya, Mala?" sela Bu Fika bertanya. Dia sedang mengatur letak kue-kue yang ada di etalase warung Mala. "Iya, Bu..." jawab Mala dengan wajah murung. Kemudian dia masukkan amplop pemberian Sherly ke dalam laci uangnya. Setelah merapikan kue-kue, Bu Fika duduk di atas kursi kecil di depan teras rumah Mala. Sherly juga duduk di kursi lainnya. "Kamu apa nggak curiga dengan sikap mantan suami kamu yang tiba-tiba mau bertemu dengan Jeanny dan Wenny?" tanya Bu Fika kemudian. Mala menggeleng lemah. "Hm..., ibu yakin kayaknya dia mau ambil keduanya. Kamu cerita kalo mereka belum dikaruniai anak..." "Duh, Bu. Jangan sampai." "Lha kan mereka janji satu malam. Ini udah dua malam, Mala..." Bu Fika resah. Dia kenal Mala yang sangat menyayangi kedua anaknya. Bu Fika juga menyayangi anak-anak Mala yang pintar-pintar itu. Dia ikut merindukan keduanya. Terutama di akhir pekan. Keduanya selalu menghabiskan waktu bermain di rumahnya bersama Sherly. Mala menghela napas panjang. Kedua anaknya memang berjanji satu malam menginap di rumah papanya. Tapi semalam mereka menghubunginya dan mengatakan bahwa Papa mereka menginginkan mereka untuk menambah satu malam lagi menginap di rumah mewahnya. Mala tidak kuasa mencegah. "Yah. Wajar mereka betah di sana..., kan serba ada." "Iya, Bu. Aku kadang sedih kalo mengamati sikap anak-anakku yang susah dinasihati. Selalu membangkang. Terutama masalah uang dan keadaan hidup. Padahal aku kepinginnya kerjasama. Kalo dihitung-hitung, gaji dan penghasilanku lumayan besar dan bisa menabung. Tapi dengan sikap mereka..." Mala menggantungkan ucapannya. Dia tidak tega berhitung-hitung uang dengan anaknya. Tapi kepada siapa lagi dia mengeluh selain Bu Fika, tetangganya yang baik hati. Lelahnya setiap hari selalu bertambah-tambahkarena keluhan-keluhan dari kedua anaknya. Wenny yang diharapkan mengerti malah menjadi beban pikiran. Selama ini Mala tahan-tahan perasaannya. Bu Fika pandang wajah cantik Mala yang lelah. "Ibu nggak bermaksud menggurui. Tapi memang dalam mendidik anak-anak bersikap itu mulai dari kecil, usia balita. Kita ajarkan mereka mengerti, sopan santun, menghargai..., juga masalah berbagi, uang contohnya atau makanan. Sepertinya kamu dan mantan suamimu nggak mikir sejauh itu dulu. Yah..., mungkin karena keadaan kalian yang serba ada..." Mala amati wajah Bu Fika dan anaknya bergantian. Lalu tersenyum malu. "Bukan Ibu mau bandingkan anak-anak ibu dengan anak-anakmu. Ini Sherly memang sedari kecil ibu nggak lupa mengingatkan untuk selalu berbuat adil dan sopan santun kepada siapapun yang dia kenal baik." Bu Fika menarik napasnya dalam-dalam. "Anak-anakmu memang pinter-pinter. Cantik-cantik..., cuma ya sikap mereka saja yang Ibu kurang sreg." "Apa masih bisa diajari, Bu?" tanya Mala di tengah galaunya memikirkan dua Jeanny dan Wenny. Bu Fika menghela napas berat. "Susah, Mala. Sudah pada gede. Apalagi sekarang mereka berdua di rumah mantan suamimu yang serba ada. Yah, mau gimana lagi?" Mala menundukkan pandangannya. "Sabar. Ibu tau ini berat buat kamu. Nggak mudah hidup dengan status janda. Apalagi hidupmu pas-pasan." Sherly ikut sedih melihat raut wajah Mala yang tidak semangat. "Jadi sepi ya, Bu? Biasanya Jeanny dan Wenny pasti datang ke rumah nonton youtube sama-sama aku..." keluh Sherly. _______
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN