Jakarta, 2001
***
"kamu sudah pulang, Meera??"
Aku menemukan Eyang sedang duduk di kursi dekat pintu masuk.
Kakiku langsung berjalan ke arahnya. Mendekati Eyang yang sedang sibuk merajut.
"kemana sopir yang seharusnya menjemputku??"
Eyang menatapku sebentar.
"biasanya kamu dijemput Mamamu, jadi Eyang pikir tidak masalah jika Elina dan Bara memakai mobil itu. Eyang belum menemukan orang yang cocok dijadikan sopir mereka.." Jawab Eyang dengan santai.
Jadi.. Nama w************n itu adalah Elina?? Huh, cocok sekali. Nama murahan untuk w************n.
"mobilku digunakan w************n itu?!"
Ini benar-benar menjijikkan!
Apa keluarga ini tidak memiliki cukup uang untuk mencari mobil lain?
Kenapa harus menggunakan mobilku??
Jujur, aku sebenarnya jarang memakai mobil itu. Tapi tetap saja, tidak akan pernah kubiarkan manusia rendahan macam wanita itu memakai mobilku.
"Meera.. Adikmu tadi demam, Eyang yang menyuruh mereka menggunakan mobil itu.."
Demam?? Dipikir aku peduli dengan anak malang itu?
"di garasi ada banyak mobil. Dia bisa memakai yang manapun, kenapa harus menggunakan mobilku?!?"
“Tadi hanya mobil itu yang sudah siap di depan. Adikmu sakit, nak. Jangan berbuat seperti ini..”
Aku memutar bola mata dengan malas. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Eyang sehingga dia bisa berbicara seperti itu. Apa dia pikir aku akan peduli dengan anak lemah yang mudah sakit itu?? Huh, sayang sekali.. Aku amat sangat tidak peduli.
“Berbuat seperti apa?? Selain merebut Papa, apa w************n itu juga akan merebut semua fasillitasku??”
“Almeera! Jangan berbicara kasar! Kamu hanya tidak dijemput sekali, tidak bisakah mengerti keadaan darurat ini??”
Apa? Aku dimarahi hanya karena w************n itu? Kenapa dunia menjadi sangat menyebalkan?
“lalu kamu pikir aku tidak membutuhkan mobil itu? Kamu pikir aku tidak perlu dijemput!?”
Baiklah. Aku tahu ini keterlaluan, aku tidak seharusnya berbicara dengan amat sangat tidak sopan. Tapi mau bagaimana lagi?? Kenapa aku yang malah disuruh mengalah padahal aku yang memiliki mobil itu?
Papa memberikan mobil sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 14, sekarang haruskah kubiarkan mobil itu digunakan w************n?
Hah, aku memang tidak seharusnya berharap banyak pada keluarga ini. Semuanya tidak lagi peduli pada keadaanku. Tidak.. Tidak ada yang peduli.
“Almeera! Apa yang kamu katakan?”
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Sadarlah Meera, keluarga ini bukan punyamu lagi. Setelah kejadian hari ini aku yakin akan ada banyak masalah yang mendatangiku. Termasuk masalah fasilitas yang dulu hanya kumiliki sendiri.
“Baiklah, aku minta maaf. Tidak seharusnya aku menuntut keadilan pada Eyang. Maaf, aku sudah salah sangka, kupikir selama ini Eyang akan selalu disisiku, tapi aku salah. Maaf karena aku terlalu berharap banyak pada Eyang..” Ucapku sambil mulai berjalan menjauh.
Beberapa kali eyang mencoba memanggilku dan mengejar langkahku, tapi gerakan kakinya tentu tidak secepat diriku. Biarlah.. Sekali-kali Eyang juga harus merasa bersalah karena sudah merusak kehidupanku.
Jadi.. Disinilah aku berada. Di dalam kamarku sambil terus mengusap air mata.
Keadaan berbalik semudah aku membalik telapak tangan. Benar-benar hal yang lucu.
***
“Ada apa Meera?? Mama dengar dari beberapa pelayan kamu baru saja membuat keributan dengan Eyang. Ada apa??” Tanya mama yang baru saja masuk ke dalam kamarku. Orang ini, kenapa dia bisa berpura-pura sehebat ini??
Mama seperti bisa menutupi semua luka hatinya. Sementara aku? Aku malah terpuruk sendiri di dalam duniaku.
“Tidak ada apa-apa. Mama tidak perlu khawatir” Jawabku singkat.
Mama berjalan mendekatiku.
“Mama tentu khawatir, Meera. Jangan berbuat macam-macam, kamu ingat rencana kita??” Tanya Mama.
Jujur aku sudah mulai kesal dengan semua ini. Aku baru menjalani beberapa hari tapi rasanya aku sudah mulai tidak tahan. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini.
“Aku ingat. Mama tenang saja.” Jawabku.
“Mama tahu kamu terbeban dengan semua ini, Meera, tapi berjanjilah pada Mama, kamu tidak akan menyerah apapun yang terjadi..” Kata Mama.
Aku menghela napas. Bagaimaan bisa aku menghancurkan keluargaku sendiri? Apakah aku benar-benar sanggup?
Di usiaku yang masih 15 tahun aku harus menanggung permasalahan besar ini.
Teruntuk kalian semua, kalian yang biasa mengatakan betapa beruntungnya manusia yang terlahir dengan harta berlimpah, kukatakan pada kalian, harta tidak selalu membawa bahagia. Bisa juga harta itu yang akan menghancurkan kalian.
“Keluarga ini memberikan segalanya pada Mama, tapi keluarga ini juga menghancurkan segalanya yang Mama punya” Ucap Mama pelan.
Jika sudah seperti ini maka aku tentu tidak bisa menolak permintaan Mama. Aku tahu jika Mama sedang amat sangat terluka dan tentu saja aku tidak akan membuatnya semakin parah.
Beginlah seorang anak, kadang kita memang kesal pada orang tua hingga timbul berbagai prasangka buruk di dalam hati, tapi beberapa saat kemudian semuanya akan berubah. Tidak ada yang benar-benar membuat seorang anak marah pada orang tua. Kadang kemarahan hanyalah bentuk dari kekecewaaan yang tidak bisa diungkapkan.
“Mama bisa percaya padaku”
***
Aku berjalan sambil melihat beberapa rumah mewah yang tak kalah megah dari rumahku. Beberapa tahun sejak pindah kerumah ini, rasanya baru kali ini aku melihat lingkungan sekitar. Biasanya aku hanya akan keluar rumah menggunakan mobil dan segera kembali tanpa berniat melihat sekeliling perumahan.
Mudah ditebak, Papa tidak mungkin membeli rumah di kawasan yang biasa saja. Rumah-rumah di sini pasti milik para pengusaha sukses dan kaya raya. Yaa, mungkin begitulah.
Aku terus berjalan hingga menemukan taman yang biasa aku kunjungi. Ditempat ini aku mendapat banyak kedamaian.
“Ini sebenarnya mengerikan, tapi karena orang yang kutemui adalah kamu, maka kurasa tidak ada yang mengerikan. Kurasa kita memang ditakdirkan bertemu secara tiba-tiba” Aku segera membalik tubuhku.
Yaa Tuhan, kenapa bisa ada Jovan disini??
“Eh? Kakak sedang apa ada disini??” Tanyaku secara spontan. Itu bukan pertanyaan yang salah, tentu saja aku bisa bertanya mengapa dia ada disini.
“Kenapa pertanyaannya tidak dibalik? Bagaimana jika, kenapa kamu bisa ada disini, Meera?” Tanyanya.
Aku mengernyitkan dahi. Ini daerah rumahku, tentu wajar jika aku berada disini.
“Rumahku tidak jauh dari sini” Jawabku.
“Tentu, aku tahu hal itu. Bukankah aku yang tadi siang mengantarmu?”
Aku mengangguk. Tentu aku masih ingat. Kejadian itu baru berlangsung beberapa jam yang lalu.
“baiklah, baiklah Meera. Aku ada disini karena sejak tadi aku memang belum pulang. Aku punya teman yang tinggal di dekan sini, aku baru saja akan pulang ketika tidka sengaja melihat taman ini, kurasa tidak ada salahnya jika aku mampir. Dan ya.. Instingku memang tidak pernah salah..” Dia menjawab amat sangat panjang.
Sejenak Jovan jadi menatapku. Cahaya matanya terpantul dengan jelas ketika senja menyinari tempatnya berdiri.
Aku masih terus berdiam hingga beberapa saat lamanya, Jovan pun demikian.
“Lalu Meera, apa yang membuatmu datang kesini?” Tanya Jovan sambil tersenyum.
Aku? Bukankah sudah kubilang jika rumahku ada di dekat sini? Kenapa dia masih bertanya?
“Tidak ada. Aku hanya suka saja datang kesini..” Jawabku.
“Begitukah? Kurasa kamu punya alasan lain. Aku yakin suatu saat nanti kau akan bercerita tanpa kuminta..” Katanya sambil tersenyum.
“Kamu terlalu percaya diri, Kak” Jawabku.
“Baiklah, karena kita sudah bertemu disini, bagaimana jika kita makan di rumah makan tempat kita bertemu beberapa saat lalu??” Tanyanya.
Tempat itu mengingatkan aku pada kenyatan pahit yang baru aku terima. Hari itu aku begitu kacau.
“Meera? Apa ada masalah?” Tanya Jovan sambil menyentuh bahuku.
“Tidak, aku hanya.. yaa, ada sedikit masalah hari itu. Aku hanya mengingatnya.” Jawabku seingkat.
“Baiklah, bagaimana jika kita makan di tempat lain. Aku tahu beberapa makanan enak di sekitar sini..” Kata Jovan sambil menarik tanganku menuju tempat motornya diparkir.
Aku bahkan belum menyetujui ajakannya, tapi sudahlah, kurasa aku memang perlu teman untuk berpetualang. Aku bosan terus berada di rumah.
***
Jovan membawaku ke pedagang sate pinggir jalan. Jujur ini pertama kalinya aku makan di tempat semacam ini.
Tidak ada kursi dan meja, hanya karpet dan beberapa air mineral kemasan gelas. Jujur, aku bingung harus berbuat apa. Haruskah aku duduk di karpet ini?
“Jelas sekali, kamu tidak pernah pergi kesini, kan??” Tanya Jovan sambil duduk dengan santai di atas karpet. Dari gestur tubuhnya dia terlihat amat sangat santai, sepertinya Jovan sering datang ke tempat seperti ini.
“tidak pernah terpikirkan olehku untuk makan di sini. Kak, apa kamu tidak takut terkena diare??” Tanyaku sambil menatap sekeliling. Tempat ini benar-benar di pinggir jalan dan yang paling parah, tempat ini tidak diberi atap. Aku bisa melihat dahan pohon yang menjuntai di atas.
Tunggu dulu, bagaimana jika ada ukar yang jatuh dari sana??
“Apa tempat ini aman??” Tanyaku.
Jovan tertawa beberapa saat. Dia dengan santai mengambil air mineral lalu meminumnya. Oh, tempat ini banyak debunya. Tidak bisakah dia membawaku ke rumah makan yang lain??
“Duduklah Meera, tidak akan ada yang menyakiti dirimu..” Katanya.
Aku masih saja berdiri di samping motornya. Aku harus duduk dimana??
“Setelah kamu makan sate ini, kujamin sate di restoran mahal pun akan kamu tolak.” Jovan berucap penuh percaya diri.
“Bagaimana jika aku tidak suka?” Tanyaku.
“Kalau kamu tidak suka, aku akan menuruti satu perintaanmu..”
***
Jakarta,2020
Mataku melirik ujung layar laptop. Sudah berapa lama aku duduk di tempat ini?
Masih ada banyak cerita yang harus kutulis.
Beberapa kisah memang amat sangat menyakitkan jika diingat, tapi bukankah aku sudah memutuskan untuk menceritakan semuanya. Baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, aku sudah memutuskan untuk bercerita.
Lagi-lagi tanganku meraih gelas frapuccino, minuman ini adalah favoritku.
Huh, hari itu akan selalu aku ingat selamanya, yaa sekalipun semua kenangan masih saja aku ingat hingga hari ini, tapi kali pertama aku bisa tertawa lepas setelah permasalahan saat itu adalah momen tak terlupakan seumur hidupku.
Sate pinggir jalan yang harganya, entahlah, mungkin jauh lebih rendah dari harga ikat rambutku. Tapi sate itu selalu mengingatkan aku hingga hari ini.
Kuberitahu, beberapa bulan lalu aku sempat melewati tempat penjual sate itu, tapi tidak lagi kutemukan kedainya.
Huh, sudah beberapa tahun, tempat sate itu sudah tutup, mungkin penjual itu akhirnya menemukan tempat yang jauh lebih baik. Nanti, kapan-kapan aku akan berusaha mencari. Sate yang dijual di sana amat sangat luar biasa. Benar apa yang dikatakan Jovan saat itu, sate di restoran mahal pun akan kutolak jika disandingkan dengan sate pinggir jalan itu.
Ahh, aku jadi ingin makan sate.
***