Pulang

1383 Kata
Jakarta, 2001 ***  Aku berangkat ke sekolah diantar oleh sopir. Dulu Mama akan selalu mengantar dan menjemputku, tapi sekarang.. Entahlah.. Aku menatap sekeliling, koridor sudah cukup ramai karena sekarang sudah hampir pukul 7. Lagipula ini hari Senin, akan ada upacara bendera yang dilangsungkan beberapa menit lagi. Sudah berhari-hari berlalu, tapi aku belum juga mendapat teman dekat. Ahh, aku memang tidak berbakat dalam hal pertemanan. Kakiku melangkah dengan santai ke arah kelas.  Seperti yang aku duga, kelasku juga sudah ramai. Bahkan beberapa orang sudah bersiap untuk menuju ke lapangan bendera. Baiklah.. Mungkin aku juga harus segera kesana saja. Setelah menaruh tas punggungku, aku mulai mencari topi upacaraku. Beginilah, atribut harus lengkap ketika mengikuti upacara bendera. Menurut rumor yang aku dengar, guru disini amat sangat tidak menyukai siswa yabg tidak disiplin. Aku tentu tidak mau mendapat masalah hanya karena kesalahan kecil. Tapi tunggu.. Kenapa topiku tidak bisa kutemukan?? Aku mulai panik karena setelah semua isi tasku keluar, aku juga tetal tidak bisa menemukan topi yang kucari. Sial, apa topiku tertinggal?? Tanganku bergerak semakin panik ketika bel tanda dimulainya upacara berbunyi. Teman sekelasku berbondong-bondong untuk menuju ke lapangan. Mati aku! "Almeera? ayo keluar, aku harus menutup pintu kelas!" Kata temanku yang menjabat sebagai ketua kelas. Tunggu dulu, siapa namanya? Aku bahkan tidak mengingat namanya. "eh, aku sedang mencari topiku.." Jawabku. "segeralah menuju ke lapangan, Almeera. Kau akan mendapat masalah jika guru menemukan dirimu masih di dalam kelas.." Katanya. "tapi aku tidak membawa topi.."  "tetaplah keluar, Almeera. Jangan membuat dirimu tambah bermasalah. Nanti berdirilah di barisan paling belakang" Aku akhirnya bangkit berdiri. Aku tidak ingin terkena masalah.. Tapi hari ini, ohh sial! Aku akan diberi hukuman. Apa aku pura-pura sakit saja? Guru tidak akan mempermasalahkan atributku jika aku pura-pura pingsan. "Meera!"  Sebelum aku menengok, alam bawah sadarku seakan mengingatkan diriku pada mata coklat bercahaya milik seseorang. Yaa, aku tahu, di sekolah ini tidak ada yang memanggilku dengan sebutan itu. Hanya satu orang saja yang melakukannya. Satu orang yang.. Yang bahkan tidak kukenal dengan dekat. Jovan. Itu pasti dia. "dimana topimu??" Tanyanya sambil berjalan bersisihan denganku. Tunggu dulu, dia anggota OSIS, kan?? Kudengar organisasi semacam itu adalah tangan kanan guru. Bisa saja Jovan akan memberi hukuman jika tahu aku tidak membawa atribut. "dibawa temanku. Dia sudah di lapangan.." Jawabku pelan. "baiklah, padahal aku baru saja akan meminjamkan topi milikku. Kupikir kamu lupa membawa topi, tapi ternyata aku salah sangka.. Baiklah Meera, aku duluan ke lapangan.." Katanya sambil tersenyum lalu berjalan mendahuluiku. Apa katanya?? Meminjamkan topi? "Kak Jovan!!" Panggilku sambil berlari ke arahnya. Beberapa orang yang ada di sekitarku ikut menoleh.  "ya??" "boleh aku meminjam topimu??" *** "terimakasih banyak. Topi ini benar-benar membantuku.." Ucapku sambil mengulurkan topi dan sebotol minuman dingin. Jovan yang sedang berkumpul bersama teman-temannya di meja kantin seketika tersenyum saat melihatku.  "teh dingin??" Tanyanya sambil menerima kedua barang dari tanganku. "iya.." Jawabku. "kamu berpikir akan membayarku dengan sebotol teh dingin?" Pertanyaan itu mengundang tawa di meja ini. Beberapa temannya mulai tertawa. Aku menatap mereka dengan pandangan tidak suka? Tanganku bergerak merogoh saku untuk mengeluarkan uang. Apa Jovan memang serendah ini?? "hei, hei, Nona Meera yang terhormat, aku tidak mau uangmu. Kamu pikir seberapa kaya dirimu sehingga berani membayar diriku??" Katanya sambil mengibaskan kedua tangan. Tunggu dulu, orang ini kenapa?? "apa??"  "bagaimana jika nanti pulang bersamaku? Itu adalah bayaran yang tepat untuk perbuatan baikku pagi ini.." Ohh, God.. Dia terlalu memandang tinggi dirinya sendiri.  "baiklah.. Terimakasih sudah meminjamkan topi. Jika tidak menyukai minuman itu, silahkan membuangnya ke tempat sampah!" Ucapku sambil berbalik dan mulai berjalan menjauh. "oh sial!" Kata Jovan yang teredam oleh suara tawa temannya. *** Aku menunggu di depan halte sambil terus mengamati setiap kendaraan yang lewat. Sudah berjam-jam aku disini tapi jemputanku belum juga datang. Apa mereka benar-benar lupa jika harus menjemput aku?? Memang sopir yang tidak berguna. Andai Mama masih perhatian seperti dulu, pasti hal semacam ini tidak akan terjadi. Baiklah, berhentilah berandai-andai Meera. Hal itu tidak mengubah apapun.. "Meera??" Aku melihat ada pemuda yang berseragam sama sepertiku sedang berhenti di atas motor miliknya. Ohh tidak, aku tahu siapa orang ini. "benar-benar sebuah kejutan.." Kataku ketika pemuda itu membuka kaca helm miliknya. Sejenak, diterangi cahaya siang yang terasa menyilaukan, aku malah melihat ada cahaya tenang yang terpancar lewat warna matanya. Ahh, sudah berapa kali aku terpesona dengan mata coklat itu? Mengapa matanya selalu menarik perhatian? "oh, tidak. Aku tidak terkejut ketika melihatmu disini. Aku pikir takdir kita memang selalu terkait, Meera.." Katanya sambil tertawa pelan. Takdir, yaa? "tidak kusangka, kamu percaya pada tahayul??"  Jovan semakin tertawa. Tidak ada hal yang lucu kurasa. Dan lagipula, dari sekian banyak murid di sekolah ini, kenapa aku harus bertemu Jovan? Tepat sekali, satu-satunya jawaban adalah, karena aku tidak mengenal siapapun selain Jovan. Benar-benar sesuatu yang menakjubkan, bukan? "tahayul? Meera, takdir bukan tahayul. Di dalam kitab suci sudah dijelaskan jika Tuhan telah menulis jalan hidup kita jauh sebelum kita terbentuk.." Katanya sambil menatap serius. Baiklah, pembicaraan kali mulai terasa berat. "dan kamu percaya begitu saja??" Tanyaku. "katakan jika aku salah, kamu atheis??" Tanyanya.  Aku tercengang dengan pertanyaannya. Apa aku terlihat segila itu? "tentu saja tidak. Indonesia masih melarang keberadaan atheis.." Jawabku sambil tertawa. Kadang aku merasa jika Jovan adalah orang yang cukup menyenangkan. Tapi kadang.. Jovan juga bisa menjadi amat menyebalkan.  Ehh, tunggu. Kenapa aku berbicara seperti aku amat sangat mengenalnya?? Pertemuan kami hanya terjadi beberapa kali, bahkan bisa dihitung menggunakan jari. Jadi kurasa kepalaku sedikit salah dalam berpikir. "jika tidak dilarang kamu akan menjadi penganutnya??" Tanya Jovan lagi. Ohh tidak. Pembicaraan tidak bermutu ini terasa menghibur diriku. "berhentilah bermain-main, Kak!" Ucapku sambil tertawa pelan. "yah, bagaimana lagi? Kurasa kamu cukup menarik untuk diajak bicara.." "jadi maksudmu aku tidak menarik dalam hal lain??" Tanyaku sambil tersenyum. "not bad, kurasa kamu akan semakin cantik beberapa tahun lagi. Datanglah padaku ketika kamu sudah cantik, untuk saat ini aku belum tertarik.." Katanya sambil mengibaskan kedua tangan. "sial! Biar kuluruskan dulu, ketika aku cantik, tentu saja seleraku bukan dirimu!" Jawabku sambil mengangkat dagu. Jovan tertawa melihat tingkahku. Baiklah, kurasa dia selalu memperbaiki suasana. Ya, mungkin kami cocok untuk menjadi teman. "oke, oke. Sekarang kamu belum terlalu cantik, jadi.. Bagaimana jika kuantar pulang??" Tanyanya. Aku tersenyum simpul.  "tidak. Pulanglah lebih dulu, sopirku akan menjemput sebentar lagi.." Kataku sambil menatap jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Jujur saja aku tidak suka menggunakan jam tangan, tapi biasanya Mama akan marah kalau aku menolak memakainya. Yaa, Mama selalu memperhatikan penampilan sekalipun hanya untuk pergi ke sekolah. Katanya, sebagai anggota keluarga terpandang aku harus selalu berpenampilan sempurna dimanapun dan kapanpun. Padahal kurasa teman-temanku tidak ada yang tahu identitasku sebagai anak konglomerat. Yaa, inilah untungnya bersekolah di sekolah negeri. Tidak banyak anak keluarga terpandang yang mau bersekolah di sekolah negeri, kebanyakan mereka akan bersekolah di SMA swasta yang terkenal. Aku ingin sesekali merasakan hidup normal seperti remaja pada umumnya. Bersekolah di tempat yang normal, bukan home schooling ataupun belajar di sekolah milik yayasan keluarga. Itu benar-benar menggelikan. Aku ingin kehidupan yang sedikit normal dengan memiliki teman sepermainan tanpa mereka tahu statusku. Tapi beginilah kenyataannya, Hingga hari ini, tidak ada yang mengenal ataupun berkenalan denganku. "hey, Meera. Kenapa malah melamun?? Ayo naiklah ke atas motorku!" Kata Jovan sambil menjentikkan jarinya di depan wajahku. "sudah kubilang, sopirku akan menjemput.. Kakak bisa pulang lebih dulu" Jawabku sambil berusaha mencari mobil jemputanku. Sopir-sopir itu amat sangat tidak becus dalam bekerja. Lihat saja, aku akan memberi mereka pelajaran karena telah membuat aku menunggu berjam-jam di bawah matahari yang begitu terik. "kamu tahu? Aku sudah selesai rapat dengan OSIS sejak tadi. Biasanya rapat akan memakan waktu lama, itu artinya sekarang sudah sore. Bisa kau lihat sekarang pukul berapa? Jam tanganku baru saja rusak pagi ini.." Kata Jovan sambil menunjuk pergelangan tanganku. "sudah hampir pukul 4 sore" Jawabku. "tepat sekali, artinya kamu sudah menunggu selama 2 jam?? Kurasa rumahmu tidak jauh, kenapa mereka memakan waktu sebegitu lama hanya untuk perjalanan sedekat itu? Katakan, apa sopirmu berangkat dari luar kota??" Tanya Jovan. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Kenapa selalu saja memaksaku untuk diantar pulang? Sejak pertemuan pertama kami, Jovan selalu membuat aku pulang bersamanya. "mungkin sedang macet. Aku akan menunggu sebentar lagi. Kamu bisa pulang, Kak" Kataku. "bagaimana mungkin aku akan membiarkan dirimu sendirian? Baiklah, akan kutemani sampai sopirmu datang" Kata Jovan sambil turun dari motornya dan berjalan untuk duduk di sampingku. Jovan tetap menungguku hingga akhirnya aku pulang bersamanya berjam-jam kemudian. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN