Jakarta, 2001
***
Pagi ini aku berangkat diantar oleh Mama. Tadi malam aku sudah meminta agar mobilku diganti. Aku juga ingin mendapat sopir baru.
Eyang hanya diam dan mengguk setuju ketika aku mengutarakan permintaanku. Entahlah, mungkin Eyang merasa bersalah atau semacamnya. Yaa, beginilah enaknya menjadi orang kaya.. Hahaha tidak, aku hanya bercanda.
Aku tidak peduli, aku hanya tidak ingin mereka berbuat semena-mena kepadaku.
“Hai, Meera..”
Aku tentu bisa menebak suara siapa yang menyapaku. Memangnya ada yang mengenal diriku di sekolah ini kecuali Jovan?
“Kamu berangkat pagi sekali. Apa akan menggantikan petugas bersih-bersih??” Tanyanya sambil meletakkan tangan di bahuku.
Orang ini, kenapa dia berbuat sesantai ini??
“Pertama, mau aku berangkat pagi atau siang, itu bukan urusanmu. Kedua, jangan berpikir kamu bisa meletakkan tanganmu sesuka hati” Jawabku sambil menghempas tangan Jovan.
Dia tertawa sambil terus berjalan disampingku tanpa peduli jika sejak tadi ada banyak orang yang menatap aneh ke arah kami. Jujur, beberapa kali aku juga sempat menangkap mereka berbisik dan melirik ke arahku. Oh, apa-apaan mereka ini?
“Apa yang kau lakukan disini??” Tanyaku pada Jovan.
“Aku? Aku sedang sekolah, bukan??” Tanyanya balik.
***
Aku merogoh saku seragamku. Tadi pagi untuk yang pertamaklinya Papa memberikan aku sebuah handphone. Jujur saja, keluargaku tidak akan kesusahan jika hanya untuk membeli handphone semacam ini, tapi sejak dulu Papa selalu melarang aku memiliki benda ini. Katanya aku masih belum cukup usia. Baiklah, sekarang aku mendapatkan ponsel tanpa bersusah payang seperti anak-anak seumuranku. Kadang memang menyenangkan jika menjadi orang kaya.
Baiklah, aku akan segera menelepon rumah agar sopir berangkat menjemputku.
“Astaga! Jika kita bertemu sekali lagi, aku berjanji akan menjadi jodohmu, Meera!!”
Belum sempat aku menelepon, suara manusia laknat itu kembali terdengar. Astaga, sekolah ini sesempit apa sebenarnya??
“Jika kita sekali lagi bertemu, aku bersumpah akan makan sate pinggir jalan kemarin sekali lagi” Balasku cepat.
Jovan tertawa dengan keras.
“Jujur saja, Meera. Kamu menyukai sate kemarin, bukan??”
Aku menatapnya sambil memicingkan mata.
Baiklah-baiklah, sate yang kemarin kumakan bersama Jovan memang tidak buruk. Oh, tidak. Sate kemarin amat sangat enak. Tapi tentu saja aku tidak akan mengatakan itu di depan Jovan.
“Bagaimana jika kamu kuantar pulang? Kita juga bisa makan sate. Oh, jangan. Ada banyak makanan enak yang akan kukenalkan padamu. Orang kaya seperti dirimu pasti tidak pernah makan makanan pinggir jalan” Kata Jovan dengan bangga.
Sate yang kemarin memang menggoda perutku, tapi jika aku diminta menggulangi pengalaman yang sama, kurasa aku akan berpikir ulang.
“Tidak bisakah kamu mengajakku makan di tempat yang lebih layak??” Tanyaku.
“Ayolah, Meera, aku hanya ingin memberikan pengalaman yang tak pernah kamu dapat. Mau berpetualang denganku??”
Aku tidak mengenal orang ini. Jovan terhitung sebagai orang asing bagiku. Tapi entah bagaimana aku bisa dengan mudah menerima ajakannya.
Kurasa akan lebih baik jika aku ikut bersama Jovan daripada pulang dan mendekam di dalam rumah penjara itu.
Aku merasa jika Jovan juga adalah anak orang kaya, tapi gaya hidupnya terlihat amat sangat santai. Tidak seperti keluargaku yang penuh aturan, keluarga Jovan mungkin orang kaya yang tidak terlalu memperhatikan aturan. Ah, seandainya aku memiliki keluarga yang seperti itu.
***
“Ini namanya sate bekicot. Kemarin kamu menyukai sate ayam, kupikir kamu juga akan menyukai sate ini..” Kata Jovan sambil menyerahkan bungkusan plastik kepadaku.
Apa namanya tadi?? Kenapa terdengar tidak asing dikepalaku??
“Sate apa??”
“Sate bekicot. Kuharap kamu belum pernah melihat hewan itu, kalau kamu melihatnya kamu pasti tidak mau mencoba sate ini..” Jawab Jovan.
Tunggu dulu, bekicot itu hewan??
“Kurasa tidak asing ditelinga. Tapi aku lupa apa itu bekicot. Entahlah..”
“Baiklah, coba dulu sate ini. Nanti kalau kamu beruntung, kita akan menemukan hewan aneh bernama bekicot ini” Kata Jovan sambil memaksaku mencicipi sate bekicot.
***
Hari sudah hampir malam ketika Jovan mengantarku di depan gerbang rumah. Yaa, seperti biasanya, Jovan hanya akan berhenti disini. Aku belum pernah mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih karena sudah mengantarku, Kak..” Aku berucap dengan sopan.
Bukankah sudah pernah kubilang?? Jovan kadang bisa menyebalkan, tapi di banyak situasi dia malah sering membantuku.
“Bagaimana jika besok kita berpetualan lagi??” Tanyanya.
Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Aku malas. Kakak hanya akan membawaku ke penjual sate. Kemarin sate ayam, hari ini sate bekicot, apakah besok aku akan memakan sate kadal??” Tanyaku.
Ngomong-ngomong aku sudah tahu hewan seperti apa bekicot itu. Ini sungguh menggelikan, setiap aku mengingat bagaimana hewan berliur itu bergerak maka perutku juga akan bergerak dan bergejolak seakan isinya akan keluar. Tapi sebenarnya bekicot tidak terlalu buruk. Rasanya enak, hanya saja aku masih geli jika harus mengingat bentuk aslinya.
“aku belum menemukan kedai sate kadal yang enak. Malam ini aku akan berkelana, besok aku janji akan mengajakmu kesana” Jawab Jovan sambil tersenyum.
Entah untuk yang keberapa kali, mata Jovan kembali bersinar. Aku menatap pantulan sinar senja yang menghiasi cahaya matanya. Benar-benar perpaduan yang luar biasa.
“Aku akan pulang..” Katanya sambil terus tersenyum.
Baru saja aku akan mengucapkan salam perpisahan. Tiba-tiba gerbang yang berada di belakangku terbuka. Kurasa aku belum memerintahkan mereka untuk membuka gerbang ini, apa ada orang yang mau keluar??
Beberapa saat kemuadi keluar sebuah mobil mewah berwarna putih. Mobil ini tidak pernah kulihat, apa milik tamu??
Mobil putih itu berhenti tepat di sampingku. Pintunya terbuka menampilkan seorang wanita berbaju biru laut. Aku mengumpat saat itu juga ketika wanita itu berjalan mendekatiku. Sial!
“Jangan mendekat!!” Jeritku kuat.
Wanita itu terisap. Terserah, apapun yang terjadi aku harus menjauhi wanita ini. Dia semacam virus yang bisa menginfeksi dan melukaiku.
“Meera..”
“Jangan menyebut namaku!! Kamu tidak punya hak untuk itu..” Kataku.
Jika berhadapan dengan medusa yang satu ini, aku kadang lupa segalanya. Aku bahkan tidak menghiraukan Jovan yang masih diam dan menonton drama menjijikkkan ini.
“Mamamu.. dia, dia kecelakaan..” Katanya sambil berusaha mendekatiku.
Aku merasa jika kakiku lemas seketika. Sekalipun otakku masih berusaha untuk tidak mempercayai ucapan w************n ini, aku tentu masih bisa melihat raut wajahnya yang.. yang sama sekali tidak menggambarkan kebohongan.
Mama.. Mama kecelakaan??
“Meera! Meera tenanglah..”
Aku mencoba menatap sekekliling. Ada Jovan yang mendekapku dan mencoba membuat aku tetap bediri.
“Bawa, bawa dia ke dalam mobil. Aku akan kerumah sakit bersamanya”
Sekalipun sedang berada di ambang batas kesadaran, aku tentu masih bisa mendengar suara perempuan murahan itu.
“Aku tidak mau! Aku tidak mau satu mobil dengannya!” Ucapku dengan suara keras.
“Baiklah.. Kamu mau bagaimana, Meera??” Tanya Jovan sambil terus mendekapku.
“Antar aku ke Mama..” Kataku pelan.