Rencana

1200 Kata
Jakarta, 2002 *** Ardo menatapku dengan pandangan penuh tanya. Dia sempat-sempatnya menghembuskan asap rokok ke arah wajahku. Sialan! Aku langsung memukul wajahnya dengan cepat sehingga rokoknya terhempas. “Hey! Bisa kebakaran kalau begitu tingkah lakumu!” Katanya sambil memungut rokok dan segera membuangnya di jendela. Aku tidak mengerti kenapa Ardo terlalu sering merokok. Dia sebenarnya seperti remaja pada umumnya ketika di sekolah, tapi.. yaa, memang benar apa kata orang. Kita tidak bisa menilai hanya dari sampulnya.. ketika sudah mengenal.. kita baru akan melihat yang sebenarnya. “Maaf” Kataku sambil menyenderkan punggung di sandaran. Ardo segera meminta sopirnya untuk melajukan mobil. Meninggalkan gang rumahku karena tadi dia memang menunggu di sana. “Kamu benar-benar siap??” Tanyanya. Aku menghela napas. Untuk anak seusiaku, ini adalah keputusan yang sulit. Banyak hal yang terus menerus berputar di kepalaku. Seperti, apa ini akan benar-benar berhasil? Apa setelah rencana ini akan ada hal yang baik. Atau justru semakin memburuk? Oh Tuhan, bagaimana aku bisa menjalani semua ini? Banyak ketakutan yang terus menghantui diriku. Aku mengambil keputusan yang amat sangat beresiko.. Meninggalkan rumah dengan cara seperti ini, apa iya Papa akan luluh ketika aku kabur? Atau justru dia semakin murka? Lalu.. bagaimana dengan Mama? Aku sudah berjanji akan memperbaiki segalanya. Aku sudah berjanji untuk membantunya mengambil segala hal yang memang miliknya.. tapi.. oh, kuharap ini semua berhasil. Dan yang paling penting Jovan menyetujui rencana gila ini. “Hidup berdua bersama Jovan dengan menggunakan uangmu? Oh God! Itu akan menjadi sesuatu yang menakjubkan” Jawabku sambil tertawa. Ardo ikut terkekeh. Dia kembali menikmati rokok yang baru saja dikeluarkan dari sakunya. “Ini penuh risiko, Meera. Apalagi keluarga kita bersahabat sejak dulu, aku takut.. satu saja kesalahan akan menghancurkan segalanya” Katanya pelan. Aku tahu, tentu saja ini penuh risiko. Di antara kami bertiga, hanya aku dan Jovan yang memiliki urusan. Tapi Ardo ikut membantu kami. Cowok lebih sering berada di sisiku ketika ada masalah menghampiri. Baiklah.. kurasa mulai saat ini aku harus terbiasa mengucapkan terima kasih padanya. Ardo terlalu sering membantuku. Bahkan saat ini dia juga ikut mempertaruhkan segalanya. Sekarang aku tahu apa yang sering orang katakan. Ada beberapa manusia yang akan mengelilingi hidup kita. Ada seribu orang yang akan datang ketika kita bahagia, seribu orang yang bisa kita sebut teman, yaa.. anak-anak teman bisnis Papa, mereka adalah temanku, teman yang hanya kenal sambil lalu. Selanjutnya, ada satu orang yang bisa membuat kita melupakan seribu orang tadi. Namanya adalah kekasih. Kekasihku membuat aku melupakan seribu orang yang kusebut teman. Dengan memiliki Jovan di sampingku, aku merasa seperti tidak lagi membutuhkan teman di dalam hidupku. Lalu.. yang terakhir. Ada satu orang yang akan tetap bersama kita sekalipun seribu satu orang meninggalkan kita. Ketika kita sendirian dan merasa butuh uluran tangan. Namanya sahabat. Satu orang yang selalu ada ketika kita tidak memiliki seribu teman ataupun seorang pacar. Dan satu hal yang membuat aku semakin sadar, Ardo adalah sahabatku.. “Bagaimana rencanamu??” Tanyaku. “Seperti yang tadi sempat kuceritakan. Kamu hanya perlu menulis surat dan aku akan membantu mengirimkan surat itu ke keluargamu” Kata Ardo dengan santai. Ini santai untuknya, tapi untukku.. oh, jangan ditanya. Aku gemetar ketakutan ketika memutuskan semua ini. Aku takut malah tidak sesuai rencana. “Bagaimana dengan Jovan??” Tanyaku lagi. “Dia setuju. Oh, Meera, aku sungguh berharap tidak mengenal cinta dalam waktu dekat. Aku takut menjadi bodoh seperti kalian berdua” Katanya. Aku tertawa singkat. Bukan, bukan bodoh jika kami hanya berusaha untuk memperjuangkan apa yang kami mau. Aku juga hanya berusaha agar baik aku maupun Jovan bisa sama-sama mendapat untung dari hubungan kami. Tapi kan tidak semudah itu.. kenyataan ini saling bersinggungan sehingga kami terus menemukan kesulitan. “Aku justru merasa beruntung karena mengenal cinta. Hidupku jadi sedikit tertolong” Aku menjawab sambil menengadahkan kepalaku. Berharap jika memang cinta yang aku temukan bisa benar-benar menolong kehidupanku. “Beruntung, yaa? Kalian sama-sama terancam kehilangan posisi di perusahaan jika bersikap seperti ini” Aku tertawa pelan. Sejujurnya aku juga memikirkan hal ini. Apa lagi dengan keadaan keluargaku yang berantakan. Akan semakin sulit jika aku lengah seperti ini. “Oh, aku salah. Kalian tidak akan pernah terancam dari posisi itu sebab kalian memang pewaris utama..” Lanjut Ardo. “Iya, kamu memang salah. Karena kenyataannya tidak semudah itu. Baik aku maupun Jovan, kami punya saudara tiri yang bisa kapan saja merebut kekuasaan itu” Sudah. Setelah itu sebanyak apapun pertanyaan yang diajukan oleh Ardo sama sekali tidak aku jawab. Aku biarkan dia kembali bertanya-tanya karena ucapanku tadi. Baiklah, sekarang sebaiknya aku berdoa agar rencana ini berhasil. “Berarti kalian juga bersaing sama sepertiku, yaa?” *** “Ini gila Meera, bagaimana mungkin kamu melakukan semua ini??” Tanya Jovan begitu dia memasuki mobil milik Ardo. Ardo sudah pergi dari mobil ini sejak bermenit-menit yang lalu. Katanya dia sedang mempersiapkan kepergian kami agar tidak ada yang mencurigai ataupun mengikuti perjalanan kami. Terserah lah, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika pikiranku kalut seperti ini. “Mau bagaimana lagi? Kita harus berbuat gila untuk melawan kegilaan mereka, Jovan!” Kataku. Jovan menyugar rambutnya. Aku tahu dia juga bingung menghadapi situasi ini sehingga daripada memelukku, dia malah langsung mengatakan ketidaksetujuannya mengenai rencana gila ini. Benar apa yang dikatakan Ardo tadi, resikonya terlalu besar! Aku sadar jika aku bisa kehilangan segalanya saat ini. Hanya dengan sedikit kesalahan, semuanya bisa kacau seketika. Semua, semua yang sudah Mama susun dengan matang. Oh, s**t! Mama pasti amat sangat kecewa padaku. Tapi aku memang tidak bermaksud untuk benar-benar pergi selamanya. Ini hanya semacam gertakan saja untuk kedua pihak keluarga. Karena menurut pemikiran kacauku, mereka akan menuruti keinginan kami dan membatalkan pertunangan Jovan jika kami bertindak nekat seperti ini. “Aku tidak yakin dengan rencana ini, Meera” Katanya sambil memejamkan mata. Ini membuat aku semakin cemas. Bagaimana jika akhirnya Jovan tidak setuju? “Aku juga tidak” Jawabku pelan. “Tapi kita hanya akan tahu hasilnya ketika sudah mencoba, bukan? Baiklah, aku turuti kemauanmu! Kita bisa sama-sama berjuang dan memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini” Ucapan itu terasa seperti air menyegarkan di tengah padang gurun. Jovan membuat aku lebih tenang karena saat ini dia berada di sisiku. Yaa, kami sudah terlanjut basah, kenapa tidak sekalian melihat apa yang berada di dalam air? Aki tidak akan tahu apa yang terjadi jika takut dengan resikonya. Lalu sekarang, kami terima semua ini bersama dengan semua risiko di dalamnya. Apapun yang terjadi, sekalipun hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kami, terserah.. yang penting sudah kami coba segala macam cara untuk mempertahankan hubungan kami. *** Jakarta, 2020 Aku menghabiskan waktuku seharian ini dia dalam cafe. Jujur rasanya sedikit menyebalkan ketika tahu sekarang aku kehilangan seorang sahabat yang luar biasa hebat. Sudah sepuluh tahun berlalu tapi kejadian hari itu masih berbekas di ingatanku. Tidak, tidak satupun yang terlewat, tidak ada yang kulupakan mengenai mereka. Lalu, di sinilah aku sekarang. Menatap dunia tanpa seorangpun tahu. Berdiri di atas kakiku sendiri tanpa pernah mendapat pelukan penyemangat. Di sini, hanya di sini. Di tempat yang kukenal tapi selalu terasa asing bagiku. Di tempat aku dibesarkan tapi tidak pernah bisa kukenal dengan baik. Kota ini menyimpan banyak cerita hidupku. Dari mulai aku mengenal cinta, hingga aku kembali setelah patah hati. Tidak, mungkin manusia baru yang kukenal saat ini tidak ada yang mengetahui ceritaku, tapi setiap sudut kota ini mengenal dekat bagaimana kisahku. Setiap hal yang ada di sini adalah kenangan yang akan selalu menjadi milikku. Jadi, seharusnya aku mulai belajar beranjak dari semua kisah masa lalu. Bukan, bukan mau melupakan atau semacamnya.. ini hanya untuk memperbaiki hatiku sendiri karena sekalipun bertahun-tahun berlalu, tidak pernah ada yang berubah. Aku tetap saja.. berdiri di tempat yang sama. Sekalipun aku tidak pernah menyesali semua yang terjadi, aku kadang juga merasa ingin kembali. Kembali menikmati bagaimana waktu bisa berjalan cepat ketika kita berada di pelukan seseorang yang kita cintai.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN