Jakarta, 2002
***
Aku menatap bagaimana pemandangan terus berganti sepanjang Jovan mengemudikan mobil.
Dari mulai kerlap-kerlip lampu ibu kota, hingga langit malam di pedesaan.. sampai akhirnya aku melihat fajar yang muncul malu-malu di balik celah pepohonan di jalan berkelok ini.
Entah sudah berapa lama Jovan mengemudi. Yang pasti sejak malam hingga saat ini mataku tidak terpejam sedikitpun. Tidak, aku hanya terus menatap wajahnya dari samping lalu kembali menatap jendela mobil.
Sungguh, aku menyukai saat ini. Aku suka pada setiap waktu yang kuhabiskan bersama dengan Jovan. Yaa, Jovan memperbaiki segala hal dalam hidupku.
“Jovan?”
Aku bergidik sendiri ketika mendengar suaraku menyebut namanya. Tidak, aku tidak lagi memanggilnya Kakak seperti dulu.
Tapi rasanya masih belum terbiasa ketika harus menyebut namanya seperti ini.
“Hm?? Kamu benar-benar tidak mau tidur, yaa?” Katanya sambil menaruh satu tangan di atas kepalaku. Mengelus rambutku dengan lembut. Membuat aku memejamkan mata tanpa sadar.
Sentuhan ini, aku merindukannya dengan amat sangat.
“Aku mau menemanimu. Apa masih jauh??” Tanyaku.
Hampir 10 jam berada di dalam mobil, oh God! Ini sungguh menyebalkan. Aku ingin membaringkan punggung di atas kasur dan bergelung di dalam selimut karena sejak tadi aku mulai kedinginan sekalipun pendingin udara di dalam mobil sudah Jovan matikan sejak awal kami mulai menaiki gunung.
Tapi tetap saja.. aku kebosanan di sini sementara Jovan masih saja fokus dengan jalan.
“Tidak. Mungkin kurang dari satu jam lagi” Jawab itu membuat aku kembali mengeluh.
Kenapa Ardo memberi tempat tinggal yang jauh sekali, sih?? Apa dia ingin membuat aku mati kebosanan di sepanjang perjalanan?
“Jangan mengeluh. Ingat, tujuan kita kesini untuk kabur, Meera. Jika masih berada di pusat atau pinggir kota, akan terlalu mudah kita ditemukan” Kata Jovan sambil menatapku.
Iyaa, dia memang benar. Tapi.. bukankah kita akan mengalami banyak kesulitan jika akses menuju kesini juga sesulit ini? Bagaimana jika tempat itu sangat terpencil dan tidak memiliki layanan yang baik?
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Sudah, tenang saja. Kalau aku menyetujui rencana ini, artinya aku sudah memikirkan matang-matang apa yang akan terjadi. Kamu tidak perlu khawatir” Kata Jovan dengan santai.
Nah, ini! Salah satu keahliannya sejak dulu. Membaca pikiran orang seakan dia benar-benar bisa melakukan itu. Yaa.. sekalipun memang benar sih apa yang dia katakan. Tapi, siapa yang tidak penasaran jika dia bisa semudah itu membaca keadaan?
“Katakan padaku.. kamu bisa meramal, yaa??” Tanya sambil memiringkan tubuh. Kini aku sepenuhnya menghadap padanya.
Jovan tertawa kecil. Membuat matanya menyipit. Sungguh, aku benar-benar bersyukur masih bisa menikmati semua ini.
“Iya. Kamu akhirnya tahu juga!” Katanya sambil berseru bersemangat.
Huh, dasar!
“Katakan padaku, Jovan! Jangan main-main!”
“Tidak, Meera. Aku bukan peramal. Hanya saja terlalu mudah membaca sesuatu dari tatapan matamu”
***
Benar apa yang dikatakan Jovan. Hampir satu jam kemudian akhirnya mobil yang kami tumpangi mulai mengurangi kecepatan ketika memasuki sebuah gerbang berwarna hitam yang ditutupi oleh tumbuhan merambat sehingga gerbang ini tampak sedikit tidak terawat.
Dari dalam gerbang tiba-tiba keluar seorang pria tua yang malah membukakan gerbang lebar-lebar ketika melihat mobil kami.
Aku menatap Jovan yang berinteraksi dengan pria tua itu lewat jendela mobil yang sedikit diturunkan. Beberapa saat kemudian Jovan malah turun dari mobil agar lebih terlihat sopan. Yaa, begitulah Jovan yang sesungguhnya. Jadi.. ketika tahu segala sebaiknya hatinya, mana mungkin aku tidak jatuh cinta, kan??
Beberapa saat kemudian aku sudah berdiri di dalam vila sambil mengagumi pemandangan indah yang bisa kulihat dari jendela kaca besar di sudut ruangan. Vila ini ternyata berada di puncak pegunungan yang aksesnya masih sedikit sulit sehingga perjalanan menaiki gunung menghabiskan waktu lebih dari 5 jam. Yaa, begitulah.. pantas saja memerlukan waktu sejak malam hingga pagi. Kata Jovan, gunung ini cukup jauh dari Jakarta. Jadi untuk sementara kita akan aman berada di sini.
Aku menatap seorang wanita tua yang kita-kira seumuran dengan pria di gerbang tadi. Menuruut informasi dari Jovan, rumah ini dijaga dan dirawat oleh suami istri yang memang dipekerjakan di sini. Jadi bisa kutebak jika wanita tua ini adalah istri pria tadi.
Yaa, kira-kira begitulah..
“Nona bisa langsung istirahat di lantai atas. Kamarnya sudah saya bersihkan semua, tapi.. menurut tuan Ardo, nona akan sangat menyukai kamar yang ada di ujung ruangan” Katanya sambil memberikan segelas s**u coklat panas kepadaku.
Sungguh, udara dingin di sini teramat menyiksa tulangku.
Aku menerima uluran gelas darinya. Lalu mengucapkan terima kasih.
Bersamaan dengan itu, Jovan masuk sambil membawa beberapa koper yang rencananya akan dia bawa ke Jerman. Yaa, begitu rencana awalnya, tapi kenyataannya baju dan barang-barang itu akan tetap kami butuhkan di sini.
“Wah-wah, enak sekali kamu, sudah mendapat minum padahal tidak membantuku sama sekali yaa??” Kata Jovan sambil berjalan mendekatiku dan berusaha mengambil segelas s**u coklat milikku. Dengan cepat saja aku berusaha menghindar dan lari menjauhinya sehingga membuat keributan di tempat ini karena pertengkaran kami yang lebih didominasi dengan suara tawa.
“Sudah, nanti Ibu buatkan lagi. jangan berebut seperti itu, Ibu jadi tidak enak” Kata wanita itu.
Jovan berhenti mengejarku tapi masih terus menatap was-was ketika aku meneguk s**u coklat ini. Dasar! Dia bukan mau mengambil s**u coklat, dia hanya ingin menggangguku!
“Tidak perlu, Bu. Aku cuma iseng saja padanya..” Kata Jovan sambil tersenyum geli.
Bukankah sudah kubilang jika Jovan hanya ingin mengganguku.
“Oh, iya.. Ibu sekalian mau bilang, rumah Ibu dan Bapak ada di belakang.. kalau-kalau ada keperluan apapun itu, bisa panggil Ibu saja. Suami Ibu yang tadi bukakan gerbang, Pak Marto namanya.” Kata Ibu itu.
Aku segera mengangguk dan tersenyum sopan.
“Ibu kenapa tidak tinggal di sini saja?? Kata Ardo biasanya rumah ini ditinggali oleh Bapak dan Ibu” Kata Jovan sambil merima uluran kunci dari Pak Marto. Sepertinya itu kunci mobil.
“Enggak, kami di belakang saja. Nanti malah mengganggu” Jawab Pak Marto.
Aku adalah orang yang sulit berbaur dengan orang asing, jadi.. di sini aku hanya menjadi pendengar yang setia dari setiap percakapan Jovan dengan pasangan suami istri di depanku.
“Eh, Tidak Pak. Tidak mengganggu. Saya malah merasa lebih senang kalau Bapak dan Ibu tetap tinggal di dalam rumah” Kata Jovan lagi.
***
Aku merebahkan punggung di atas kasur yang empuk. Benar kata ibu tadi, kamar ini adalah yang paling indah dari kamar yang lain.
Ada sebuah kaca besar yang berhadapan langsung dengan tempat tidurku sehingga aku bisa melihat pemandangan indah dari tempat tidurku. Ini tempat yang terbaik!
Aku merasakan ada pergerakan di samping kananku. Benar, ada Jovan yang juga ikut membaringkan tubuhnya di sampingku.
Aku jadi membalik tubuhku dan menatapnya dari samping. menikmati pemandangan indah yang terasa semakin sempurna ketika Jovan ada di sampingku.
Oh Tuhan, ini sempurna!
Aku bahkan jadi berlama-lama menatap Jovan, menyimpan semua tentang dirinya di dalam ingatan terdalamku. Yaa, aku hanya ingin mempersiapkan segalanya jika saja semua rencana kami tidak berjalan dengan lancar.
Setidaknya jika memang kami harus selesai.. aku memiliki kenangan terindah dengannya.
Tanganku bergerak untuk menyentuh hidung mancungnya. Jovan tersenyum lalu memejamkan matanya seakan dia memang menikmati sentuhanku.
Oh Tuhan, bagaimana aku bisa hidup tanpanya?
Tanganku terus bergerak, kini berada di bibirnya lalu beralih ke alis tebalnya. Kenapa dia bisa punya alis seindah ini padahal dia laki-laki?? Kebanyakan perempuan bahkan harus menggambar alis selama berjam-jam agar bisa mendapat gambar yang seindah ini. Tapi Jovan, tanpa berusaha dia memiliki alis yang luar biasa. Benar- benar tidak adil!
“Kamu sedang memikirkan sesuatu??” Tanya Jovan sambil membalik tubuhnya jadi menghadapku.
Dari tempatku berbaring, aku lagi-lagi melihat cahaya mata Jovan yang berkilat bahagia. Yaa, tentu saja, sekalipun dalam keadaan yang seperti ini, asal kami bisa bersama pasti kami bahagia. Aku jadi tidak bisa menahan senyumku ketika melihat mata coklatnya yang diterangi cahaya matahari pagi.
“Aku memikirkan cahaya matamu” Jawabku sambil terus menatap kagum ke arah matanya.
Cahaya yang sempurna. Aku merasa jika hari esok pasti masih ada hanya dengan melihat cahaya mata Jovan.
“Kamu takut??” Tanyanya.
Aku menggeleng dengan cepat.
Dengannya di sini, apa yang harus aku takutkan?
“Kita mungkin akan mengalami masa yang sulit, tapi apapun yang terjadi aku tetap bersyukur bisa bersamamu di tempat seindah ini” Kataku sambil tersenyum.
Jovan balas tersenyum juga. Sesuatu yang malah membuat aku semakin jatuh cinta padanya. Senyuman itu!
“Kita mungkin tidak akan berhasil, Meera. Tapi.. aku tidak akan pernah menyesal karena telah melakukan ini semua. Setidaknya mereka tahu jika kita masih berjuang dan bisa melawan dunia kapanpun kita mau. Setidaknya mereka tahu, kita tidak main-main”
Setelah itu.. sungguh aku tidak ingin mendengar apapun. Yang kumau hanyalah memeluk Jovan sepanjang hari sambil terus menikmati pemandangan hijau di depan mataku.
Tidak.. aku tidak mau apapun untuk saat ini. Cukup biarkan waktu berjalan sedikit lebih lambat saja..
Aku hanya terus memeluk Jovan di sepanjang hari. tidak membiarkan dia beranjak barang sedikitpun. Terus memeluknya bahkan ketika malam datang dan pemandangan hijau tadi berganti menjadi gelapnya malam yang diterangi bintang-bintang.
Aku masih muda, aku tahu itu.
Bahkan tindakanku kali ini benar-benar bukanlah sesuatu yang bisa dibenarkan. Tapi.. benar kata Jovan. Aku tidak akan pernah menyesalinya. Setidaknya sekarang dunia tahu jika kami masih bisa melawan.. dan akan terus melawan.
“Kita akan terus bersama, kan??” Tanya pelan ketika kesadaran mulai merenggut Jovan. Aku tahu, sekalipun sudah menghabiskan waktu seharian untuk tidur, Jovan masih lelah dan membutuhkan istirahat.
“Iya. Selamanya. Bahkan lebih lama dari yang bisa manusia tentukan”
Baiklah, aku tahu.. ini hanya omongan anak remaja yang sedang dimabuk cinta. Tapi asal kalian tahu, kami bukan remaja biasa. Kami remaja yang berani menentang segalanya termasuk dunia ini hanya agar kami bisa terus bersama.
Dan kuharap tidak akan ada lagi yang merendahkan kisah remaja seperti kami
Karena yang kutahu, cinta tidak bisa dikur dengan usai. Akan sangat menjijikkan jika memiliki batas usia untuk mencintai. Dan yang paling aku tahu.. aku sangat mencintai pemuda yang sedang berada di pelukanku. Amat sangat mencintainya.
Aku menghela napas, mencoba menikmati bagaimana indahnya malam penuh bintang ini. Jovan.. dia ada di pelukanku dan tidak akan kubiarkan dunia mengambil apa yang sangat berharga bagiku. Segalanya sudah dirampas dengan tidak hormat, keluargaku sudah dihancurkan sedemikian rupa.. jadi, untuk yang satu ini, jangan harap dunia bisa mengambilnya.
“Jovan aku mencintaimu..” Kataku sambil mengecup pipinya sekilas.
Dalam lelapnya, bahkan masih dengan menutup mata aku bisa melihat senyum di bibir Jovan.
Sungguh, kebahagiaan ini akan selalu kuingat seumur hidupku.
***
Jakarta, 2020
Baiklah.. aku sudah melalui masa yang mendebarkan itu..
Cinta pertama kadang memang seperti itu.. kalau patah, yaa akan hancur. Kalau berbalas.. seluruh dunia pun akan dilawan.
Tapi.. bukankah aku sudah pernah bilang jika takdir tidak pernah berpihak padaku??
Pada setiap rasa sakit yang pernah aku miliki, takdirlah yang bertanggung jawab atas semuanya.
Jadi.. saat ini kuputuskan untuk bangkit. Setelah banyaknya kehilangan yang menghampiriku, aku kembali mencoba bangkit.. kembali coba mengais setiap hati yang sudah hancur berkeping-keping. Sebab, kehilangan hari itu masih menjadi penyebab kehancuranku hingga saat ini.
Sekalipun aku sudah mencoba untuk kembali bangkit, kisah hari itu akan tetap menjadi tragedi terbesar di hidupku.
Tapi.. demi seseorang yang memang sudah kuberikan separuh hatiku, aku kembali membangun semua yang memang harusnya milikku. Kembali kujalani hidupku sebaik mungkin.. meski, semua orang pun tahu, aku hidup.. hanya hidup saja..