Surat

1506 Kata
Jakarta, 2002 *** Mataku menyipit ketika Ardo menyerahkan sebuah amplop coklat kepadaku. Tadi pagi ketika aku baru memasuki gerbang sekolah, Ardo tiba-tiba menyeretku dan membawaku ke ruang OSIS. Kupikir aku akan menemukan Jovan di sana karena di antara kami bertiga, hanya dia yang berkuasa di tempat ini. Tapi Jovan tidak ada, sesuatu yang membuat aku jadi bertanya-tanya. Dan pertanyaan di kepalaku semakin menjadi-jadi ketika Ardo malah memberikan sebuah amplop dengan wajah muram. Ada apa?? Dari pada bertanya, aku lebih memilih untuk membuka amplop misterius ini. Lagi pula dengan ekspresi seperti itu, mustahil jika Ardo mau memberi penjelasan padaku. Tanganku bergerak untuk membuka benang amplop ini. Ada secarik kertas berwarna putih yang dihiasi oleh tulisan tangan rapi yang aku yakini milik Jovan. Dia? Kutarik kertas itu agar sepenuhnya keluar dari amplop. Dan benar dugaanku ini tulisan tangan Jovan. Pada bait pertama surat ini, bibirku tidak tahan untuk tidak tersenyum. Tapi, pada larik selanjutnya, aku justru tidak bisa menahan laju air mataku. Kepada Meeraku. Aku tahu, kamu pasti tertawa ketika mendapat surat ini. Yaa, salah satu hal yang paling tidak mungkin kamu dapat di tahun ini, surat cinta. Tapi lihat, aku menulis ini untuk kamu. Kuharap kamu merasa tersanjung. Baiklah Meera, sama seperti aku yang harus bersiap, kamu juga sama. Surat ini menguras banyak energiku. Itu karena tujuannya untuk kamu, aku harus benar-benar menulis sesuatu yang indah untuk manusia indah seperti kamu. But here i am, aku harus benar-benar mengirimkan ini padamu. Aku sudah pernah bilang bukan jika aku amat sangat mencintai kamu? Kali ini kutegaskan lagi Meera, aku mencintai kamu. Jauh lebih besar dari apa yang bisa kukatakan. Aku amat sangat mencintaimu hingga kadang rasanya sesak ketika tahu hari ke depan akan sulit untuk kita tetap bergandeng tangan. Sulit untuk tetap menikmati senja berdua di balkon apartement atau juga menonton serial India favoritmu. Tapi aku selalu bersyukur Meera. Apapun yang terjadi, setidaknya kita punya kenangan seindah itu. Yaa, mencintai kamu memang semengerikan itu. Menyenangkan ketika tahu itu kamu, tapi sering kali aku juga ketakutan. Takut kehilanganmu selalu mendominasi ketika kita sedang saling menatap. Matamu indah, Meera. Kamu mungkin tidak menyadari itu tapi semua orang yang melihatmu selalu mengagumi. Karena itu, aku sering ketakutan. Takut membuat kamu kecewa. Aku kadang terbangun dengan pikiran, ‘oh, apa lagi yang bisa kulakukan agar gadisku terus tersenyum?” Mencintaimu, bagaikan menemukan mata air di tengah padang gurun. You save me. Tanpa pernah kamu sadari, kamu menyelamatkan aku dari segala hal. Kamu membawa kembali Jovan yang sempat terhilang. Karena mungkin, jika kuceritakan apa saja keburukanku di masa lalu, kamu pasti kecewa padaku. Tapi tidak, surat ini kutulis bukan untuk menceritakan kenakalanku di masa lalu. Meera, maaf jika ini menyakitimu. Aku tahu, kamu selalu kecewa setiap kali aku menutupi sesuatu darimu. Aku tahu, sama seperti kamu yang terbuka padaku, kamu ingin aku melakukan hal yang sama. Kamu ingin mengajarkan artinya berbagi segala hal. Tapi mungkin tidak semua orang cocok dengan hal itu Meera. Contohnya aku.. Aku terlalu takut jika segala macam dugaanku ini menyakitimu. Aku ingin membereskan semua itu sendiri sambil terus melihat senyummu. Tapi Meera, benar apa yang kamu katakan. Bagaimanapun, kita harus terbuka dengan orang yang kita kasihi.. Aku akan dikirim ke Jerman. Kata Daddy aku harus kuliah di sana agar mendapat bekal yang cukup untun menjalankan perusahaan. Aku sudah menolak Meera, sungguh jika ada sesuatu yang bisa kulakukan agar tetap bisa tinggal di sini, aku akan langsung melakukannya tanpa berpikir dua kali. Tapi Meera, sekeras apapun aku memohon pada Daddy untuk mengizinkan aku tetap tinggal, sekuat apapun aku menahan rasa sakit akibat pukulannya, aku tetap tidak bisa tinggal di Indonesia. Setidaknya tidak untuk beberapa tahun ini. Aku harus ke sana. Meninggalkan kamu di sini... Tapi jangan khawatir, ini hanya akan memakan waktu beberapa tahun, setelah itu aku akan kembali Meera. Kita bisa pertahankan hubungan ini hingga aku memiliki kekuasaan lebih untuk melawan. Aku tahu, amat sangat tidak menyenangkan ketika kamu mengetahui kabar ini bukan secara langsung dariku, tapi memang beginilah keadaannya Meera. Aku sama sekali tidak bisa keluar dari kamarku karena akan dikirim menuju Jerman malam ini. Tapi sebelum aku benar-benar meninggalkan negara ini, tolong, berjanjilah padaku, jangan pernah berpikir untuk pergi. Tetaplah bertahan bersamaku Meera. Apapun yang terjadi, aku akan berusaha melawan mereka.. mereka yang coba hancurkan kita. Meera, bukankah untuk menghancurkan kita memerlukan sebuah senjata? Atau setidaknya sayap, agar kita bisa terbang ketika bom itu meledak dan menghancurkan mereka. Tunggulah Meera. Semuanya akan kembali baik, bahkan lebih baik dari awal hubungan ini. Nanti malam, mungkin pertemuan kita yang terakhir sebelum berpisah bertahun-tahun lamanya. Aku harap kamu mau datang.. Aku menunggumu jam 7 malam di bandara. Waktuku tidak banyak Meera, aku yakin dirimu pun begitu. Meninggalkan Indonesia tidak pernah seberat ini sebelumnya. Aku mencintaimu. Tubuhku terasa lemas ketika selesai membaca surat ini. Tangan dan kakiku gemetar tidak karuan. Ini, inilah yang paling aku takutkan. Tapi kenapa? Kenapa bisa secepat ini? Kenapa perpisahan kami sudah berada di depan mata sementara kebersamaan kami baru saja terjadi? Aku tidak habis pikir dengan apa yang aku baca. Berulang kali k****a ulang setiap tulisan rapi milik Jovan. Ini benar dia, aku tidak mungkin salah dalam mengenali tulisan ini. Bukannya berubah, tulisan ini malah membuat air mataku turun semakin deras. Kali ini bukan hanya tangan dan kakiku, kini seluruh tubuhku jadi gemetar tidak karuan. Aku ketakutan, sungguh benar-benar takut. Kepergian Jovan terlalu cepat bagiku. Hingga suara Ardo kembali mengambil kesadaranku. “Jovan tidak pernah memberi tahu masalahnya. Itu yang paling kubenci dari dia” Mendengar perkataannya membuat aku menyimpulkan jika Ardo sudah mengetahui segalanya sebelum aku. Kenapa selalu aku yang terakhir tahu? Aku tidak bisa berkata-kata. Semua ini terlalu mendadak sehingga semua suaraku seakan teredam begitu saja. Salah satu kehilangan nyata pertamaku.. dan ini amat sangat tidak menyenangkan. Aku menghela napas. Mencoba menenangkan tanganku yang bergetar hebat karena surat ini. Oh Tuhan, apa lagi setelah ini? Apa lagi yang akan kulakukan setelah ini? “Dia mengatakan jika pesawatnya berangkat pukul 8, kamu mau ke sana bersamaku??” Tanya Ardo sambil menatapku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Bahkan, untuk sekedar menjawab pertanyaan Ardo saja, rasanya tidak bisa. Iya, aku tahu jika hubungan kami terlalu jauh, terlalu jauh hingga rasanya untuk kembali saja kesulitan. Hubungan ini belum lama, belum selama yang orang lain pikirkan. Untuk satu hal, aku mengakui jika diriku kembali dipatahkan oleh sesuatu bernama cinta. Jadi, untuk lebih menghancurkan diriku lagi, untuk membuat diriku lebih tahu di mana harus kembali bersimpuh, aku bertanya pada Ardo, “Apa yang sebenarnya terjadi??” Tanyaku. Ardo menatapku lama. “Aku juga tidak terlalu tahu Meera. Tapi, yang jelas, keluarga Jovan memiliki masalah serius dengan keluargamu” Kata Ardo. Ardo menyugar rambutnya, terlihat frustasi dengan keadaan yang ada. Aku mengerti, bukan hanya aku yang kebingungan saat ini. Jika aku kehilangan kekasihku, Ardo juga kehilangan sahabatnya. Jadi.. saat ini, semuanya semakin kacau. Tidak, ini tidak bisa lagi dibiarkan. Aku akan datang dan menyeretnya kembali. Tidak, sepertinya kabur adalah rencana yang paling tepat. *** Aku berjalan pelan sambil terus memperhatikan sekitar. Tidak, tidak boleh ada yang mengetahui gerak gerikku karena ini adalah misi rahasia. Bahkan Papa tidak boleh tahu jika kau pergi bersama Ardo. Sesuai rencana kami, aku akan melakukan sesuatu, katanya Ardo memiliki rencana bagus dan dia akan segera memberitahu Jovan. Jujur aku amat sangat setuju dengan saran ini. Jadi, ketika Ardo memberitahu akan menjemputku pada pukul 6, aku sudah bersiap sejak awal. Aku tidak membawa banyak benda, hanya dompet dan beberapa kartu ATM yang diberikan Papa. Setidaknya aku masih bisa memanfaatkan semua itu ketika aku membutuhkan sesuatu. Huh, aku sudah memperhatikan seluruh kegiatan di rumah ini sejak sore tadi. Pelayan yang tidak berhenti berjalan mondar-mandir, dan juga pengawal yang terus berbaris di depan pintu. Aku yakin di pintu gerbang juga ada pengawal. Oh sial! Harus bagaimana aku sekarang? Aku melihat seorang pelayan baru saja memasuki gerbang dengan santai. Dari posisiku yang berada di depan pintu, aku tentu melihat dengan jelas bagaimana dia bisa dengan mudah memasuki gerbang tanpa dicurigai oleh pengawal berbaju hitam. Tunggu, tunggu.. jika aku tidak salah mengira, seharusnya aku bisa menemukan jalan keluar. Aku berjalan kembali ke dalam rumah. Ketika di tangga tanpa sengaja aku malah menyenggol bahu seorang pelayan sehingga nampan berisi segelas jus yang dia bawa jadi terjatuh. Aku menganga ketika melihat banyak pecahan gelas di sekelilingku. Sial! Aku ingin melakukan ini diam-diam tapi malah ada keributan. Aku diam beberapa saat hingga pelayan itu berjalan mendekatiku. Menatapku dengan tatapan khawatir yang terlihat jelas di matanya. Oh, tidak.. aku tidak apa-apa. Hanya saja aku takut bergerak karena banyak pecahan gelas, aku takut menginjak sesuatu. “Nona?” Aku menatapnya. Yaa, Tuhan! Aku membuat dia takut. Kepalaku bergerak memutar. Melihat apakah ada seorang pelayan yang melihat kami saat ini. Atau yang paling uruk ada Papa atau Eyang yang tahu.. atau, yaa w************n itu. Sekarang hanya mereka saja yang bisa berkeliaran dengan bebas di rumah ini. Mama tidak akan keluar dari kamarnya jika tidak ada hal yang penting terjadi. Baiklah, tidak ada orang yang melihat kecuali beberapa pelayan yang sekarang sedang menatapku di bawah tangga. “Aku akan segera membersihkan semua ini” Katanya sambil berusaha membereskan kekacauan yang terjadi. Tunggu dulu, sepertinya aku memiliki rencana yang sempurna. “Eh! Jangan!.. aku butuh bantuanmu. Kalian saja yang membersihkan, Ya?” Kataku pada beberapa pelayan yang masih saja diam di dekat tangga. Ini pasti sedikit mengagetkan mereka karena aku jarang bersikap ramah pada mereka. Biasanya aku akan langsung marah-marah ketika mereka membuat kekacauan seperti ini. Tapi.. sekarang aku sedang butuh bantuan mereka. Jadi, akhirnya seorang pelayan yang kuketahui bernama Dhini berjalan mengikutiku dari belakang menuju kamarku. “Aku butuh bajumu. Boleh kupinjam sebentar??” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN