Jakarta, 2002
***
Aku menyuapkan makanan dengan tidak semangat. Di depanku masih ada Ardo yang juga terlihat bosan karena aku tidak pernah menanggapi celotehanya.
Keadaan hatiku masih tidak baik.. sungguh, aku semakin kacau dari hari ke hari.
Satu hari, dua hari, tiga hari.. bahkan sekarang sudah seminggu Jovan menghilang begitu saja. Dia tidak menelepon ataupun memberi kabar. Dia tidak muncul dan menenangkanku seperti biasa di lakukan ketika kau merasa cemas. Jovan.. benar-benar hilang.
Aku berhenti menyuapkan makan siang. Yaa, sekalipun aku selalu mengabaikan keberadaannya, Ardo selalu saja muncul di depan kelasku ketika bel istirahat berbunyi. Dia selalu melakukan itu setiap hari, sama seperti ketika masih ada Jovan.
Sudah berbulan-bulan, tapi aku juga belum mendapat teman akrab untuk kuajak makan siang ke kantin. Aku selalu bersama Jovan jadi kupikir aku tidak memerlukan mereka.
“Kamu tahu rumahnya??” Tanyaku tiba-tiba. Ardo mendongakkan kepalanya. Menatapku dengan alis mengkerut.
“Rumahnya Jovan??” Tanyanya.
“Tentu saja. Untuk apa juga aku menanyakan rumahmu” Jawabku.
Bukannya menjawab, Ardo malah melanjutkan makan siangnya. Orang ini memang sering menyebalkan.
“Kak?! Bisa katakan di mana rumahnya??” Tanyaku dengan suara meninggi.
“Persis seperti kebanyakan orang kaya. Tidak punya sopan santun..” Katanya tanpa melihatku.
Hey? Apa yang dia katakan?
“Kita sama-sama kaya kalau kau lupa fakta itu”
“Biasanya kita makan bersama Jovan. Beberapa hari ini dia tidak ada, tapi kau selalu saja menunduk dan menikmati makananmu tanpa semangat. Aku jadi tidak enak mengatakan hal menyakitkan. Tapi sekarang tidak ada..”
Dia menggantung ucapannya membuat aku menatapnya tajam. Ada apa, sih?? Kenapa juga Ardo seperti ini?
“Pedulilah pada sekitarmu, Meera. Mereka peduli padamu, jangan terlalu sombong seakan kamu tidak membutuhkan orang lain. Aku tahu, dibesarkan di keluarga kaya raya membuat kau merasa bisa melakukan segalanya sendirian, tapi itu adalah tindakan bodoh yang hanya akan membuatmu menyesal.” Katanya.
Aku menghembuskan napas dengan kesal. Fakta yang baru saj aku terima membuat hatiku sedikit terguncang. Yaa, bukankah kebenaran selalu menyakitkan?? Perkataan Ardo memang menyakitkan tapi dia mengatakan kenyataannya.
“Aku tahu, kamu terlalu cemas saat ini. Maaf sudah mengatakan sesuatu yang menyakitkan, Meera..” Katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk.
“Jadi, di mana rumahnya??” Tanyaku lagi. kali ini aku menatapnya serius.
“Seminggu yang lalu kita ke sana, apa kamu lupa??” Tanyanya.
Aku menutup mataku. Datang ke tempat asing di malam hari tidak akan menjamin aku mengingat jalan ke sana.
“Kamu tidak pernah ke sana sebelumnya??” Tanyanya lagi.
Aku menggeleng. Hari itu pertama kalinya aku ke sana.
“Aku hanya sering ke apartemennya” Kataku.
“Baiklah, akan kuberikan alamatnya” Katanya sambil menuliskan sesuatu di tissu kantin.
“Bisakah kamu mengantarku saja??” Tanyaku sambil menatapnya cemas.
“Ku beri alamat saja, yaa? Lagipula kau sepertinya punya pengawal yang akan mengantarmu ke mana saja” Katanya sambil lanjut menulis.
Mungkin ini akan menyulitkan. Tapi demi apapun, aku akan melawan pengawal itu.
Tidak ada cara selain mendatangi rumahnya. Jovan sepertinya tidak berada di apartemen.
Aku menatap Ardo yang baru saja selesai menulis alamatnya. Dia mengulurkan tangan, memberikan lembar tissu itu kepadaku. Aku menerimanya sambil tersenyum. Baiklah, demi menemui seorang laki-laki yang sudah bertunangan aku akan melakukan segalanya. Sialan, ternyata benar apa yang dikatakan Papa, aku w************n.
Ardo menatapku sebentar sambil memiringkan kepalanya. Lalu...
“Baiklah, aku akan mengantarmu”
***
Aku menatap rumah megah yang baru saja kukunjungi minggu lalu.
Jantungku berdetak tak karuan. Bagaimana jika aku tidak menemukan Jovan di tempat ini?? Dan kalaupun kami bertemu, apa yang akan kukatakan padanya??
“Kamu masuk sendirian, kan??” tanya Ardo yang merokok di sampingku. Oh, ini kebiasaan buruknya.
“Tidak bisa menemaniku??” Tanyaku.
Dia menatapku sejenak lalu tertawa.
“Tentu saja aku akan menemanimu. Aku hanya bergurau, Meera. Kamu berubah banyak sejak pembicaraan kita tadi siang..” Katanya.
Aku menghela napas. Setidaknya ini tidak akan terlalu menyeramkan. Menemui Jovan di rumahnya, bisa saja aku malah bertemu anggota keluarganya yang lain. Yaa, sekalipun aku tidak akan mengaku sebagai kekasih Jovan, aku tetap saja merasa cemas. Ini semacam rasa gugup karena terlalu takut.
“Aku sebenarnya juga belum pernah main ke rumahnya, biasanya kami hanya bertemu di sekolah. Tapi kurasa tidak masalah jika kita menemuinya di sini” Kata Ardo sambil mematikan ujung rokoknya.
Kami turun dari mobil, sejenak aku mengagumi tataan mawar yang ditanam di sekeliling halaman. Rumah ini tampak lebih hidup.
Kami disambut oleh beberapa pelayan.. tapi, satu hal yang menarik perhatianku.
Seorang pria yang seumuran dengan Papa berada tepat di ujung barisan pelayan. Tidak, dia bukan pelayan. Dia.. Daddy-nya Jovan.
Aku menatap Ardo sekilas. Dia terlihat cukup kaget, tapi berusaha untuk langsung menguasai dirinya. Aku merasa gugup setengah mati.
“Almeera Hernandez. Bukankah aku benar??” Tanyanya sambil mendekat ke arah kami.
Kenapa hanya namaku yang disebut?? Aku, kan datang bersama Ardo.
“Dia teman saya. Kami mau menemui Jovan. Apa dia ada??” Tanya Ardo dengan suara tenang. Ardo memang mewarisi bakat speaking keluarganya. Dia selalu bisa menguasai keadaan dan berkata dengan tenang.
“Dia ada di rumah kakaknya. Apa ada masalah di sekolah??” Tanyanya dengan pandangan lurus ke arahku.
Baiklah, sekarang aku mulai merasa jika dia mengintimidasiku.
“Ada beberapa tugas yang harus kami kerjakan bersama. Bisakah saya bertemu dengan dia??” Tanya Ardo lagi.
Eh, bukankah sudah dikatakan jika Jovan berada di rumah kakaknya??
“Dia berada di..”
“Aku di sini.” Suara seseorang yang amat sangat kukenal menginterupsi perbincangan menegangkan ini.
Jovan berdiri di ujung tangga dengan tatapan lurus ke arahku. Aku merasa ingin menangis sekarang. Satu minggu tidak bertemu dengannya membuat sisi sentimentilku mengambil alih segalanya. Oh, setelah semua yang terjadi, aku masih merindukannya
“Dad pikir kamu masih di rumah Vanka, kapan kamu pulang??”
Aku menatap interaksi mereka dalam diam. Terlihat jelas jika orang ini amat sangat menyayangi Jovan sekalipun percakapan mereka terkesan kaku. Ah, aku jadi menilai orang lain padahal keluargaku sendiri lebih buruk.
Akhirnya kami digiring menuju halaman samping rumah ini. Tempat kolam ikan besar yang dihiasi dengan bunga mawar putih, tanaman khas rumah ini.
Ardo berjalan menjauhi kami. Menuju ujung kolam sambil memberi makan ikan koi.
Aku mendengar Jovan menghela napas. Ini terasa menyiksa, jauh lebih menegangkan daripada ciuman pertama kami.
“Kamu datang” Kata Jovan sambil menatap ke depan.
Aku menolehkan kepalaku. Menangkap sosoknya dalam ingatanku. Menyimpan dirinya sebaik mungkin dalam ingatanku.
Rasanya seperti akan kehilangan dirinya. Seperti aku tidak lagi memilikinya..
Jovan memang di sampingku, tapi dia terasa jauh. Aku hampir saja meneteskan air mata jika tidak ingat perang dingin di antara kami. Aku harus mengeraskan hati jika ingin menyelesaikan masalah ini.
Aku memikirkan kata apa yang pantas menggambarkan bagaimana perasaanku selama seminggu ini.
“Kamu hilang” Kataku.
Jovan menoleh. Kau menemukan kekelaman di dalam matanya. Bukan cahaya terang seperti biasanya. Dia seperti.. lelah.
“Maaf, Meera. Aku terlalu takut untuk berbicara. Tapi kamu tidak seharusnya kesini..” Katanya sambil menatap ke depan.
Jadi.. aku salah datang kesini?? Aku salah karena mencarinya ke apartemen setiap hari?? aku yang salah.
“Meera, aku salah. Aku tahu. Tapi kamu harusnya tidak nekat datang kesini. Aku janji akan menjelaskan segalanya ketika situasi sudah mulai kondusif” Katanya dengan suara pelan seakan takut ada orang yang mendengar.
Tidak ada orang di sini kecuali Ardo yang sedang pura-pura menyibukkan diri dengan ikan-ikan itu.
Jovan menoleh ke arahku membuat aku bisa melihat kecemasan dalam tatapannya.
Apa ada masalah?? Apa benar begitu??
“Berjanjilah padaku, Meera. Kemanapun kamu pergi, biarkan pengawal itu mengikuti dirimu” Katanya.
Aku mengernyitkan dahi.
“Ada apa??” Tanyaku.
Aku baru saja akan mendekatinya ketika dia mulai berjalan menjauh. Menghampiri Ardo dan membawanya mendekatiku.
“Kalian harus segera pergi. Berjanjilah padaku, apapun yang terjadi, jangan pernah mengunjungi rumahku lagi” Katanya.
Aku baru saja akan melayangkan protes ketika mendengar ada suara gaduh yang semakin mendekat.
Aku menengokkan badan, mencari sumber kegaduhan. Jovan dengan cepat menarikku ke belakang tubuhnya, mencoba menyembunyikan diriku.
Dari ujung mataku aku menatap seorang gadis cantik yang berjalan mendekati kami diikuti oleh beberapa pengawalnya.
Tunggu dulu, dia.. bukankah dia tunangan Jovan?? Oh Tuhan, kenapa menyakitkan sekali ketika harus mengetahui fakta ini?
Ardo segera mendekatiku, dia menarik tanganku. Membawa aku untuk berdiri di sampingnya.
“Halo tunanganku” Katanya sambil tersenyum manis.
Jantungku berdetak kencang ketika melihatnya memeluk Jovan sekilas. Ini sama saja dengan menyaksikan mereka berselingkuh.
Tanpa sadar aku meremas tangan Ardo yang menggenggamku.
“Ada perlu apa sehingga membawa banyak pengawal ke rumahku??” Tanya Jovan sambil merangkul gadis itu. Jovan tampak amat sangat santai ketika melakukan sentuhan fisik di depanku. Iya, di depanku.
“Aku tidak mungkin bepergian tanpa membawa pengawal. Sekalipun itu ke rumah tunanganku sendiri” Katanya sambil tersenyum.
Gadis ini memang cantik. Amat sangat cantik. Tapi aku jelas amat sangat membenci tindakannya saat ini.
“Oh, apa mereka temanmu??” Tanyanya sambil menatap aku dan Ardo yang masih berdiri kaku.
Aku ingin pulang. Sungguh.
“Iya. Mereka temanku”
Sudah cukup. Ini semua sudah cukup.
***