Jakarta, 2002
***
...Hari pertama...
Aku menatap ke sekeliling kantin.
“Kamu tahu, aku kelaparan sejak jam kedua. Makanan ini benar-benar enak.. Meera, kenapa diam saja?? Ayo makan”
Aku abaikan ocehan Ardo yang sejak tadi membuat kepalaku pening.
Mataku masih saja mencari seseorang yang ingin aku temui sejak kemarin malam. Ah, dia bahkan tidak berniat menghampiriku dan menjelaskan apa yang terjadi. Tidak, Jovan sama sekali tidak berbicara padaku kemarin malam. Dia seakan sibuk dengan dunianya dan juga tunangan barunya. Sungguh menjijikkan.
Jovan membuat aku merasa jijik dengan kelakuan kaumnya.
Laki-laki dan penghianatan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
“Meera?? Kenapa hanya diam?? Ayo makan” Ardo kembali mengoceh.
Kakak tingkatku satu ini kembali mengusik ketenanganku. Sama seperti kemarin malam saat dia selalu mengoceh dan berdiri di sampingku hingga acara itu selesai. Dia bahkan masih sempat mengoceh ketika sudah berada di depan pintu rumahku. Dan dia juga masih mengoceh sekalipun aku sudah meninggalkannya di depan pintu.
Tunggu dulu, Ardo bersahabat dengan Jovan. Mungkin dia tahu sesuatu mengingat kemarin dia mengatakan sesuatu yang masih menimbulkan pertanyaan di pikiranku.
“Kamu jangan langsung membuat kesimpulan setelah setelah menghadiri acara nanti. Jovan sedang mengusahakan sesuatu, jadi.. tenang dan ikuti saja alurnya”
Apa maksud perkataan itu??
Sepertinya Ardo memang mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu.
“Di mana dia??” Tanyaku sambil menatapnya.
Ardo tampak santai. Tidak ada raut terkejut sekalipun suaraku cenderung membentaknya.
“Jovan masih di rumah. Sepertinya disibukkan dengan beberapa hal” Jawabnya dengan santai.
Hal apa yang menyibukkannya??
***
...Hari kedua...
Aku berjalan di lorong kelas 12. Tempat ini jarang sekali kulewati karena berada di lantai 3. Biasanya, para junior sepertiku sangat jarang datang ke tempat ini.
Aku tidak menemukan Jovan kemarin. Dia tidak ada di kantin dan dia juga tidak terlihat keluar dari gerbang ketika kau menunggunya di luar sekolah.
Jovan bagai hilang ditelan bumi.
Andai aku bisa datang ke apartemennya..
Aku benar-benar butuh penjelasan dari kejadian hari itu. Kenapa dia bertunangan ketika statusnya masih kekasihku??
Aku melihat beberapa senior mulai berhamburan keluar kelas. Bel pulang memang sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu, tapi sepertinya kelas 12 masih mendapat pengarahan mengenai try out yang akan dilaksanakan minggu depan. Yaa, mereka sudah mulai menghadapi ujian semacam itu.
Aku masih mencoba mencari keberadaan Jovan. Seharusnya dia belum keluar kelas..
Tapi dia tidak ada di kelasnya. Aku hanya menemukan Ardo yang menatap cemas sambil segera mengemasi barangnya lalu keluar kelas dengan tergesa.
Dia langsung tersenyum ketika menemukan aku masih berdiri sambil mengintip ke dalam kelas. Aku harap penglihatanku salah, aku harap bisa menemukan Jovan sedang berhimpitan dengan murid lain untuk segera keluar kelas. Tapi tidak.. tidak ada Jovan.
“Hai, Meera! Kamu sudah lama??” Tanyanya sambil menggapit lenganku. Menyeretku untuk menjauh dari depan kelasnya.
“Aku mencari Jovan!” Kataku sambil mencoba melepaskan tangannya. Tapi kekuatanku jelas berbanding terbalik dengannya. Dia laki-laki.
“Dia tidak masuk. Jadi sebaiknya kamu segera pulang. Kudengar dari Papamu, kamu diikui oleh pengawal pribadi. Tidak baik membuat mereka menunggumu terlalu lama” Katanya sambil terus menyeretku.
Aku meronta. Mencoba melepaskan diriku. Sialan! Ardo memang merepotkan sekali!
“Lepaskan aku!” Kataku.
“Jovan tidak masuk, Meera! Kamu lebih baik segera pulang! Bukankah sudah kubilang, kamu hanya perlu mengikuti alur cerita Jovan.. semuanya akan baik-baik saja setelah itu, aku mengenal Jovan dengan sangat baik”
Aku menghembuskan napasku dengan kesal. Ardo selalu saja menggangguku.
Tanpa sadar mataku mulai terasa panas. Bayangan ketika Jovan merangkul perempuan lain membuat aku merasa ketakutan. Tidak, Jovan pasti tidak sama dengan lelaki b******k di luar sana. Tapi.. jika dia melakukan semua ini dan sekarang belum memberikan penjelasan apapun padaku, apa namanya jika bukan b******k??
Sialan! Aku mengusap air mataku dengan punggung tangan. Menangis di hadapan Ardo bukanlah sesuatu hal yang bisa kutoleransi. Kami memang saling kenal, tapi kami tidak sedekat itu hingga aku bisa menangis di depannya..
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku sendiri. Iya, seperti yang dikatakan oleh Ardo, Jovan punya alasan untuk melakukan semua ini. Sekalipun sampai sekarang aku masih belum tahu, dan dia malah menghilang begitu saja.
“Kamu hanya perlu percaya pada Jovan. Semuanya akan baik-baik saja”
***
...Hari Ketiga...
Aku tidak tahan lagi. Dua hari mencari Jovan di sekolah tidak membuahkan hasil sama sekali.
Jovan seperti menghilang dari duniaku dan terus berusaha menyembunyikan sesuatu dariku.
Jovan, dia laki-laki yang sulit terbuka dengan orang lain. Setelah kami menjalani hubungan selama beberapa bulan saja, dia masih sering menyembunyikan masalahnya dariku.
Aku tahu, dia sulit membicarakan masalahnya dengan orang lain. Tapi ini aku, aku tentu bukan orang lain baginya.
Hari ini aku berniat menemuinya di apartemen. Sejujurnya sudah sejak kemarin kau ingin ke sini, tapi pengawal menyebalkan itu selalu saja mengacaukan rencanaku.
aku masuk ke dalam apartemen. Mataku menangkap sepatu yang biasa Jovan kenakan tidak ada di rak. Apa dia sedang tidak di rumah??
Kakiku berjalan untuk memasuki kamarnya. Tidak ada tanda-tanda jika Jovan berada di rumah. Kamar ini rapi, bahkan cenderung tidak tersentuh.
Dia di mana??
Jovan tidak ada di kamarnya, juga di dapur dan kamar mandinya. Dia tidak ada di sini.
Jovan seperti menghilang begitu saja setelah dia membuat kekacauan besar di hatiku.
Aku memutuskan untuk duduk di sofa depan. Membiarkan mataku terpejam.
Aku tidak pernah menyangka jika menjadi dewasa akan serumit ini. Ada banyak masalah yang terasa mencekik. Jovan yang melakukan kesalahan, tapi aku yang mencoba mencari penjelasan. Ini terasa tidak adil bagiku.
Bayangan ketika aku menghabiskan waktu bersama Jovan mulai memenuhi kepalaku. Apartemen ini menjadi saksi bagaimana aku bisa menjadi dekat dengannya dari waktu ke waktu.
Kami belum saling mengenal ketika memutuskan untuk berpacaran, tapi waktu mulai membawa kami untuk semakin dekat satu sama lain. Tapi.. Jovan tetap tidak bisa terbuka padaku.
Aku mencoba mempercayai jika pertunangan hari itu bukanlah rencana Jovan, lagi pula siapa yang ingin bertunangan di usia semuda itu?? Pasti ada masalah. Entah itu masalah keluarga atau bahkan masalah perusahaan.
Sebagai anak yang dibesarkan di dunia bisnis, aku tahu beberapa hal kotor semacam itu.
Biasa terjadi kesepakatan kotor untuk menjaga agar perusahaan tidak jatuh. Menjalin hubungan keluarga dengan pengusaha lain adalah salah satu contohnya.
Tapi Jovan belum memberi penjelasan apapun. Dia bertunangan dan aku menghadiri acara itu. Dia kekasihku tapi tidak memberikan penjelasan apapun padaku.
Aku bangkit berdiri. Percuma juga aku di sini jika Jovan tidak ada.
Akhirnya yang bisa aku lakukan hanyalah meninggalkan apartemen sambil terus menggumankan perkataan Ardo.
“Kamu hanya perlu percaya pada Jovan. Semuanya akan baik-baik saja”
***
Jakarta, 2020
Sampai sekarang aku sering mengatakan kalimat itu pada diriku sendiri.
Semuanya akan baik-baik saja asalkan aku percaya pada Jovan. Yaa, itu sedikit menggelikan. Pemikiran naif dari seorang remaja 18 tahun lalu.
Yaa, memangnya apa yang bisa harapkan dari pemikiran remaja?? Seperti yang banyak orang katakan, remaja adalah manusia paling naif yang suka bermimpi tanpa mau berusaha.
Padahal, sekalipun mereka mencaci, masa itu akan tetap melekat pada diri setiap manusia. Semua orang pernah muda, bukan?
Aku berharap hidup memang semudah yang Ardo pernah katakan padaku. Hanya tinggal percaya pada Jovan dan semuanya akan baik-baik saja.
Kenyataannya, percaya pada manusia hanya akan membuahkan sebuah kekecewaan. Sama halnya dengan mempercayai hati kita pada manusia. Akhirnya tetap sama. Kita kecewa karena tidak seperti harapan, kenyataan terasa jauh lebih menyakitkan.
Ada yang pernah mengatakan padaku jika segala hal sudah ditulis oleh takdir. Kelahiran, pertemuan, perpisahan, juga kematian. Semuanya sudah tertulis dengan rapi.
Jika semuanya sudah tertulis, bukankah tidak ada gunanya kita berdoa dan berusaha?? Kenapa tidak diam saja di rumah dan menunggu takdir menjadikan kita seorang bos besar??
Aku jarang mempercayai takdir karena sebagian besar hidupku dihancurkan oleh kata itu. Tapi, kita tidak bisa berhenti mempercayai keberadaan sesuatu hanya karena kita sering dikecewakan, bukan??
Hidupku tidak pernah sempurna. Keluargaku hancur, kisah cintaku menyakitkan, lalu.. apa yang bisa aku banggakan dari kata ‘takdir’? aku jarang memiliki kenangan manis mengenai kata itu.
Oh, tidak.. aku mungkin melupakan sesuatu.
Ada beberapa pertemuan dan kejadian yang selalu aku syukuri hingga hari ini. Yaa, bisakah itu semua kusebut sebagai takdir??
Takdir baik dan takdir buruk selalu berjalan beriringan. Mereka sama beratnya, sehingga setiap ada kejadian buruk, keajaiban akan selalu