Jakarta, 2002
***
Sekolah tidak lagi sama jika tanpa Jovan.
Yaa, setelah apa yang dia lakukan padaku, aku tetap merindukannya di beberapa situasi. Apalagi ketika d sekolah.. setiap sudut sekolah ini menyimpan ceritaku dengannya.
Kakiku berhenti melangkah ketika mataku menangkap ada sosok yang sedang berkeliaran di pikiranku. Dia di sana. Di depanku, mungkin hanya berjarak 10 meter dariku.
Mataku terpaku menatapnya.
Jovan.. dia ada d isana.
Aku mencoba untuk menguatkan hatiku. Ini akan terasa sulit. Patah hati yang pertama akan terasa amat sangat menyakitkan jika kita masih saja melihat penyebabnya.
Aku coba untuk berjalan. Baiklah..
Matanya terus menatapku. Membuat aku juga tidak bisa mengalihkan tatapan. Mata Jovan masih menjadi favoritku setelah semua yang dia lakukan.
“Kita harus bicara” Katanya ketika aku berdiri tepat di sampingnya.
Aku menatap tanganku yang dia genggam.
Aku beresiko kehilangan dirinya jika menuruti egoku dan tidak mendengar penjelasannya. Tapi.. aku beresiko kehilangan harga diri jika mengikuti dirinya.
“Kita sudah cukup banyak bicara kemarin. Dan aku mulai sadar di mana posisiku, Jovan” kataku sambil berjalan menjauh.
Aku tahu, aku pasti menyesal setelah ini. Tapi.. bagaimana mungkin aku membiarkan diriku kehilangan harga diri sekali lagi??
Aku sudah cukup kehilangan segalanya ketika dia malah merangkul gadis lain tepat di depanku.
“Meera..”
“Kita selesai, Jovan”
***
Aku tidak masuk kelas. Pikiranku kacau.. hatikupun begitu.
Berhari-hari mencari keberadaannya, sekarang ketika sosoknya ada di depanku aku malah mengambil keputusan yang.. yang aku sendiri pasti akan menyesalinya.
Di sini, di lorong sempit dekat gudang sekolah, akhirnya pertahananku runtuh juga.
Aku terlalu naif dengan mempercayai jika Jovan adalah laki-laki yang baik.
Dia.. cinta dan patah hati pertamaku.
“Kamu perlu bawa tissu jika ingin menangis di sini”
Aku mendongak. Menemukan Ardo yang sedang mengulurkan tissu ke arahku.
Dia ini.. kenapa selalu mengikutiku?
Aku mengusap air mata dengan cepat. Aku tentu tidak akan menangis di depannya.
“Aku ingin sendiri. Tolong..” Kataku.
Ardo malah ikut duduk di depanku. Dia menyalakan rokok yang ada di bibirnya membuat aku bergeser untuk menjauhinya. Ini di sekolah, apa dia tidak takut ketahuan guru?
“Aku kan sudah bilang, kamu hanya perlu percaya pada Jovan.” Katanya.
“Aku percaya. Aku sangat percaya pada apa yang dia lakukan, termasuk pelukannya untuk gadis kemarin” Jawabku.
“Kamu belum mengenalnya ternyata”
Aku menghela napas. Iya, aku memang belum mengenalnya dengan baik karena Jovan selalu menutupi dirinya. Aku jarang menanyakan kehidupannya karena kurasa, itu privasinya. Jika dia memang ingin berbagi denganku, tanpa kutanya, dia pasti bercerita. Tapi tidak.. Jovan tidak mau aku mengetahui hidupnya.
“Aku tidak mengenalnya, Ardo. Sama sekali tidak”
Ardo terkekeh pelan.
“Aku juga tidak mengenalnya dari cerita yang dia bagi padaku. Aku tahu dia lewat kebiasaannya, lewat apa yang sering dia lakukan. Lagi pula, laki-laki memang selalu begitu, Meera. Kamu jangan terlalu mempercayai apa yang kamu lihat”
“Iya. Kamu benar. Laki-laki yang terlihat baik belum tentu benar baik. Bukankah semua laki-laki b******k??” Kataku sambil tersenyum sinis.
“Oh tidak! Kamu menghina Papamu sendiri kalau begitu!”
“Benar. Aku menghina Papaku sendiri. Semua kali-laki memang b******k”
“Aku tersinggung kalau seperti itu. Lagi pula, Meera.. kamu baru patah hati sekali, belum berkali-kali. Aku bukan mau menghakimimu, aku hanya ingin memberi semangat. Siapkan hatimu untuk patah hati yang selanjutnya!”
Aku tertawa. Benar juga, ini baru patah hati pertamaku. Kenapa aku berlaku seperti dunia berakhir hanya karena sakit hatiku?
“Kak?”
“Hm”
“Mau mengantarkan aku bertemu Jovan lagi? Ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Setidaknya aku harus meluruskan beberapa hal dengannya.. dan aku tidak yakin bisa menemuinya sendirian”
***
Aldo menurunkan aku di depan gedung apartemen Jovan. Dia tidak ikut masuk, entahlah.. mungkin ingin memberi ruang untuk aku dan Jovan berbicara.
Dia langsung melajukan mobilnya begitu aku memasuki gedung. Aku tidak bertanya dia akan ke sana karena.. yaa, dia mau membantuku hingga sampai di sini saja aku sudah
Aku berjalan memasuki apartemen Jovan dengan langkah pelan. Ini tentu bukan tempat asing bagiku, tapi berada di sini hanya berdua bersama Jovan membuat aku gugup. Fakta bahwa dia menghianatiku membuat.. yaa, begitulah.
Jadi disinilah aku berada, merendahkan egoku sendiri untuk datang dan mencari penjelasannya. Huh, kurang menjijikkan apa lagi diriku ini??
“Kamu perlu aku ambilkan minum??” Tanyanya.
Aku menggeleng. Sekarang tempat ini jadi terasa asing. Bukan, bukan tempatnya yang membuat semuanya berbeda, hanya saja dua orang dengan permasalahan yang berada di ruangan yang sama pasti mempengaruhi segalanya.
“Maaf untuk semuanya, Meera” Kata Jovan.
Aku ingin menangis sekarang. Kami terlalu dekat sehingga aku bisa melihat ada tatapan penuh penyesalan di matanya.
Aku pernah merasa jika dia adalah orang yang tepat kusebut sebagai rumah. Tempat untuk pulang ketika dunia menghancurkanku tanpa ampun. Tapi.. mungkin aku salah.
“Apa aku masih berhak mendapat penjelasan??”
Jovan diam saja. Dia mengusap wajahnya pelan.
“Aku dijodohkan oleh Daddy.”
Aku tidak terkejut. Aku sudah pernah bilang bukan jika hal semacam ini biasa terjadi di dunia bisnis?
Mencoba menenangkan diri, aku menghela napas dengan pelan.
“Kenapa tidak cerita??” Tanyaku sambil menatapnya serius.
“Ini menyulitkan, Meera. Tapi.. aku mohon, percayalah padaku” Katanya.
Aku menghela napas. Bagaimana aku bisa percaya pada perkataannya? Dia saja sesulit ini untuk ditemui.
Jantungku berdetak dengan kencang. Ini menyulitkan.
“Bagaimana aku bisa percaya kalau keadaannya seperti ini??” Tanyaku sambil mengerang frustasi.
“Aku mohon. Aku sudah pernah mengatakan ini, tolong bertahan, Meera..” Katanya sambil menggenggam tanganku.
Dengan apa aku harus bertahan?? Apa aku memang masih bisa menjalani semua ini?? Dia sudah bertunangan, ayo sadarlah Meera! Ini akan semakin rumit mengingat keluarga kami berseteru.
Yaa, sekalipun aku memang belum mengerti perseteruan apa yang sebenarnya terjadi karena kemarin pun, ketika kau ada di rumah Jovan, ayahnya terlihat baik-baik saja. Tidak menampakkan aura permusuhan sama sekali.
“Bagaimana aku bisa bertahan??” Tanyaku sambil melepaskan genggaman tangan kami. Ini menyakitkan. Aku memang ingin tetap tinggal.. tapi, dia bertunangan.
Aku selalu ketakutan dengan semua ini. Aku takut ketika tanganku tidak lagi digenggam olehnya. Aku takut harus melalui hidupku sendirian lagi.
Jovan membawa semua kebahagiaan yang selama ini tampak semu bagiku. Tapi.. aku lupa, kebahagiaan juga beriringan dengan kesedihan ini. Dia membawa kebahagiaan yang lengkap dengan duka juga.
“Tolong jangan pergi, Meera. Akan aku selesaikan semua kekacauan ini. Aku janji, kamu hanya perlu menunggu” Katanya sambil menatapku.
Tatapan Jovan terlihat putus asa.. aku mungkin tersakiti dengan fakta ini. Tapi tidak ada jaminan untuk semua ini. Jovan mungkin juga tersakiti. Jika memang benar apa yang dia katakan, mungkin saja ini juga adalah keterpaksaan.
“Kenapa sulit sekali mempercayai aku??” Tanyaku sambil menatapnya.
Aku tahu, kami akan sama-sama hancur setelah ini. Setelah berbagi dunia yang sama, bisa saja semuanya selesai sampai di sini. Dan aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan jika harus kehilangan dia. Karena setelah saling menemukan, sulit bagi kami untuk saling melepaskan.
“Kamu yang harusnya percaya padaku” Katanya.
Aku tersenyum dengan tenang. Aku mempercayai semua perkataannya. Semuanya.. bahkan ketika ada tuduhan yang mengatakan jika keluarganya berniat buruk padaku, hanya dengan satu perkataan saja aku langsung mempercayai Jovan. Aku selalu mempercayainya. Aku selalu mencoba menjadi dekat dengannya. Tapi dia tidak pernah melakukan hal yang sama. Awalnya aku mengira itu wajar, aku pikir dia memang orang yang sulit terbuka.. tapi ini sudah terlalu lama. Dia terlalu jauh dariku. Jovan, dia selalu menyimpan rasa sakitnya sehingga tanpa sadar malah menyakiti yang lain. Dia terlalu banyak menyimpan rahasia tanpa mau berbagi denganku. Padahal, ini hubungan kami berdua, kami berdua yang harus sama-sama berjuang.
“Meera..”
“Jovan!” Kataku memotong ucapannya.
Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Hatiku mencelos seketika.. Jovan kehilangan cahaya matanya.. ini, ini menyakitiku dengan perlahan.
“Kita yang ada di hubungan ini. Kita, Jovan. Bukan hanya kamu. Aku punya hak yang sama dengan kamu ketika memperjuangkan hubungan ini” Kataku sambil menangkup wajahnya.
Jovan memejamkan matanya, kali ini sekalipun aku tidak melihat matanya, aku tahu pasti jika dia menahan luka yang menyakitkan.
“Apa yang terjadi, Jovan??” Tanyaku sambil menatap matanya.
Jovan menggeleng pelan. Membuat aku tidak bisa menahan laju air mataku. Percakapan yang awalnya kukira akan penuh pertengkaran ternyata malah membawa rasa sakit yang luar biasa.
“Aku sudah mencoba menolak, Meera. Tapi ini satu-satunya cara untuk memperbaiki segalanya..” Katanya.
“Apa yang terjadi??” Tanyaku lagi.
Belum sempat menjawab aku mendengar ada suara ketukan pintu.
“Ada tamu” Katanya.
Jovan bangkit berdiri. Aku menahan tangannya, “Biar aku yang buka pintu” Kataku.
Aku berjalan mendekati daun pintu, lalu membukanya perlahan.
Tatapan tajam seseorang menyambutku di depan pintu.
Tanganku menggantung di daun pintu. Belum bisa membuka lebih lebar lagi.
Darahku berdesir pelan ketika tatapan tajam yang terasa menusuk mataku. Alarm bawah sadarku mengatakan jika sebentar lagi akan ada sebuah kekacauan tapi.. kakiku terasa kaku untuk bergerak.
Pertemuan kami memang terkesan menyenangkan, tapi mungkin tidak saat ini.. ketika aku sedang berdiri di balik pintu apartemen anak laki-lakinya.
“Wah, ada Nona Hernandez di sini..” Katanya sambil berusaha menyingkirkan aku dan masuk ke dalam apartemen.
Jovan berdiri, berjalan mendekati ayahnya yang kali ini menatapku dengan pandangan.. entahlah, seperti merendahkanku. Atau apa..
Aku terus menatap mereka dalam diam.
“Dad dia..”
Plak!!
Aku memekik sambil menutup mulutku ketika Jovan malah menerima tamparan keras di pipi kanannya.
Aku menatap mereka berdua dengan mata melotot karena terkejut. Apa yang terjadi??
“Kamu mengajukan banyak syarat, tapi Daddy sudah memenuhinya. Sekarang kamu mau melanggar janjimu sendiri??” Tanyanya sambil menatap Jovan.
Aku baru akan berjalan mendekati Jovan ketika suara tamparan lagi-lagi terdengar. Lalu disusul dengan pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Jovan.
Aku benar-benar menjerit ketakutan ketika tubuh Jovan dihempas dan terus dipukuli tanpa ampun.
“Daddy meminta kamu menjauhi keluarga Hernandez!” Teriakan itu menggema di seluruh ruang ini karena tidak ada satupun dari kami yang bersuara.
Aku menutup mulutku karena aku yakin aku akan menjerit keras setiap kali Jovan mendapat pukulan.
Aku ingin menolong Jovan, tapi kakiku terasa kaku dan tidak bisa bergerak.
Di tengah kesunyian ini Jovan menatapku dengan mata berair karena menahan sakit. “Pergilah, Meera. Aku mohon” Katanya.
Aku terisap. Tidak, aku tidak mungkin meninggalkan dia disini sementara situasi sedang kacau saat ini.
“Pergi? Karena kamu sulit diatur kamu harus mendapat hukuman Jovan!” Teriakan itu kembali menggema membuat aku menahan napasku.
Apa yang terjadi? Rasanya aku masih sulit menelaah semua ini.
“Ini urusan kita berdua. Meera pergilah..” Kata Jovan dengan suara pelan.
Aku berjalan ke arahnya. Mencoba meyakinkan diriku sendiri untuk tetap mendekati Jovan. Memeluknya sambil berusaha menjauhkan diri ayahnya yang berbuat seperti kesetanan.
“Pergi Meera! Pergi!” Katanya sambil melepaskan pelukanku.
Aku menatap nanar ke seluruh penjuru arah. Apa yang sedang terjadi?
“Sesuai kesepakatan. Setiap kamu menemui gadis ini lagi, kamu mendapat hukuman Jovan!” Perkataan itu terus menggema di kepalaku bahkan ketika sosoknya tidak lagi terlihat oleh mataku.
Aku seakan baru sadar ketika merasakan pelukan Jovan dengan tangan bergetarnya melingkupi diriku. Aku tahu.. ada yang salah di sini. Tapi lagi-lagi Jovan menyembunyikan segalanya. Dia tidak membiarkan aku mengetahui masalahnya.
Jovan.. dia masih terlalu sulit berbagi denganku.