Jakarta, 2001
***
Aku berakhir dengan digendong oleh Jovan. Kakiku terasa sedikit sakit, dan tentu saja akau tidak akan memaksakan diri untuk berjalan dengan susah payah.
“ini kali pertama aku memanjat tembok” Kataku sambil meletakkan kepala di bahu Jovan.
“lain kali kita bisa mencoba banyak hal baru untukmu..” Jawab Jovan sambil terus menggendongku menuju jalan utama. Katanya kami akan menaiki angkutan umum untuk kabur dari sekolah.
Tidak pernah terpikirkan olehku untuk kabur dan meninggalkan sekolah semacam ini. Anak seperti aku, yaa.. manusia yang tidak pernah memiliki teman dekat, aku tentu banyak melewatkan momen menyenangkan semacam ini.
“Kita mau kemana??” Tanyaku.
“Ke tempat yang menyenangkan”
***
“Dimana ini??” Tanyaku sambil memperhatikan lorong panjang di sekelilingku.
“Di apartementku..” Jawab Jovan sambil membuka pintu di depan kami.
Aku masuk bersama dengan Jovan.
Mataku bergerak mengeliling. Ruangan ini mungkin ukurannya sedikit lebih besar dari kamarku. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat pemandangan kota Jakarta di atas ketinggian karena bagian belakang tempat ini hanya ditutup oleh kaca besar.
Wow, apartement ini luar biasa.
“Kaca itu bisa dibuka, kamu bisa duduk di balkonnya” Kata Jovan sambil berjalan menuju tempat yang menarik perhatianku saat pertama aku melihatnya.
Jovan akhirnya membuka pintu kecil yang menjadi akses menuju ke balkon. Pemandangan yang kulihat sekarang jauh lebih menakjubkan. Angin segar segera berhembus dan menerbangkan helaian rambutku.
“Duduklah dulu di sini, aku akan segera kembali” Kata Jovan sambil meninggalkan aku begitu saja.
Aku duduk di kursi malas yang tersedia di sini. Ah, sepertinya aku akan minta untuk dibelikan apartemen yang semacam ini. Aku akan sangat betah tinggal hunian ini dan yang paling penting aku tidak perlu tinggal satu rumah dengan perempuan murahan itu.
Hampir satu jam aku menunggu Jovan disini. Akhirnya dia datang juga.
Jovan berjalan sambil meletakkan nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas air putih.
Aku mengernyitkan dahi ketika aroma harum nasi goreng mulai tercium oleh hidungku.
“Makanlah, Meera. Kamu sepertinya belum makan sejak pagi” Kata Jovan sambil mengulurkan sepiring nasi goreng.
Aku sebenarnya masih malas makan, tapi entah kenapa nasi goreng ini terasa seperti menggodaku untuk segera dilahap.
“Sepertinya bukan sejak pagi, kutebak kamu belum makan sejak kemarin” Kata Jovan ketika melihat nasi di piringku sudah habis tidak bersisa. Aku menengok untuk melihat piringnya, nasi milik Jovan masih ada separuh piring. Apa aku makan terlalu rakus??
“Hal terakhir yang kumakan adalah sate bekicot” Jawabku pelan.
“Kalau begitu kita sama. Hal terakhir yang kumakan juga adalah sate bekicot”
***
Jovan bersorak dengan girang ketika dia barus saja menghabisi patihku.
Permainan catur kali ini terasa semakin menegangkan karena jika dilihat dari jumlah, kami akan seri. Tapi aku tentu tidak akan kalah dengan mudah.
Jovan adalah lawan yang lumayan kuat di pertandingan kali ini. Sekalipun selama 10 kali pertandiangan Jovan belum pernah menang satu kalipun. Yaa, paling baik dia hanya bertahan hingga permainan berakhir seri. Itupun hanya sekali terjadi.
Untuk aku yang sudah mengenal permainan catur sejak kecil, hal semacam ini sudah teramat sering aku hadapi. Aku tahu banyak trik dalam permainan ini.
Tanganku bergerak untuk membentu strategi baru, dan hap!
Jovan kembali kalah telak.
Aku tertawa melihat ekspresi kagetnya.
“Kenapa aku kalah lagi??” Tanyanya tidak terima.
“Jawabannya sudah berada tepat di depanmu. Kamu payah!” Jawabku sambil menjulurkan lidah.
“Kamu curang, Meera! Bagaimana bisa aku selalu kalah??” Tanyanya.
“Itu karena kamu payah!” Jawabku sambil bangkit berdiri.
Tidak terasa hari sudah beranjak sore. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat semburat oranye dari senja yang sebentar lagi akan menghilang.
Langit benar_Benar menakjubkan sore ini.
Aku merasakan tanganku ditarik dengan kuat. Tubuhku seketika oleng dan terjatuh tepat di pangkuan Jovan.
Aku mengerjapkan mata ketika cahaya coklat itu lagi-lagi bersinar dengan indah.
“Aku payah, huh??” Tanya Jovan.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Mataku hanya terfokus pada satu hal, cahaya indah itu menarik segala perhatianku.
Beberapa saat kemudian kau merasa tangan Jovan mulai bergerak ke tengkukku, membawa aku untuk semakin jelas melihat cahaya matanya.
Jantungku berdetak dengan cepat ketika Jovan perlahan mulai menyantuh bibirku. Kurasakan euforia yang sama seperti yang tadi pagi kurasakan.
Mataku tertutup secara perlahan ketika Jovan mulai menyenyuh setiap diriku.
Bibirku terbuka untuk mengizinkan Jovan mengakses lebih dalam.
Perlahan, dengan keberanian penuh aku mencoba melakukan apa yang Jovan lakukan padaku. Mencoba membalas setiap sentuhannya dengan perasaan berdebar.
Oh, ini benar-benar menyenangkan.
Tanganku bergerak untuk meraih rambut Jovan. Kuusap kepalanya, kadang kutekan agar aku mendapat ciuman yang lebih dalam.
Tangan Jovan pun demikian, aku merasakan tangannya bergerak di sepanjang punggungku. Mengusapnya dengan lembut sehingga aku merasakan tubuhku bergetar dengan sempurna.
Jovan melepaskan bibirku beberapa saat kemudian.
Napasku terengah tapi kali ini aku tidak memalingkan wajah. Aku menatap matanya dengan penuh keberanian. Dan diluar dugaanku, Jovan kembali mengecub bibirku dengan lembut. Membuat aku kembali bergetar hnaya dengan kecupan singkat.
“Aku tidak payah, Meera. Setidaknya aku tidak payah dalam hal ini” Katanya sambil terus mengusap punggungku.
Tangan bergerak untuk memukul dadanya sehingga dia terkikik pelan.
Hari ini, bersama senja yang akan mengakhiri hari, bersama itu pula kami menghabiskan waktu untuk saling merasakan satu sama lain.
Jovan membuat aku menikmati hidup dengan cara yang lain.
Aku mencintai orang ini. Sungguh.
Bibir kami terus bergerak seiring dengan gerakan matahari. Membawa kami pada rasa baru yang sebelumnya asing.
Aku menikmati setiap momen ini.
“Aku mencintaimu, Meera. Mulai hari ini kamu milikku”
***
Aku menatap Jovan yang mengemudi di sampingku.
Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Tadi setelah kami selesai menikmati senja, Jovan sempat menyuruhku mandi di apartemennya, dia bahkan membelikan aku pakaian di toko dekat apartemen.
Aku tersenyum ketika tatapan kami tidak sengaja bertemu.
Entahlah, siapapun yang merasa jika hubungan kami terlalu cepat, percayalah, aku juga merasakan hal yang sama sebenarnya. Tapi aku tentu tidak bisa menolak semua ini, Jovan membawa aku ke dunia yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Dia membuat aku merasakan berbagai rasa baru yang selama ini selau aku tunggu.
Untuk orang yang baru kutemui beberapa kali, dan aku belum mnengenal dia dengan baik, aku tentu cukup waspada ketika akan menerima dia. Apalagi ini adalah kali pertama bagiku. Tapi Jovan seakan meyakinkan aku lewat cahaya matanya. Tidak, cahaya yang berkilau itu tentu tidak akan berbohong padaku.
“Jangan khawatir, aku akan selalu menemani kamu, Meera” Kata Jovan sambil menggenggam tanganku.
Jika aku kembali mengingat keadaan Mama, aku tentu akan bersedih lagi. Seharian aku menghabiskan waktu bersama Jovan, untuk beberapa saat aku melupakan fakta menyakitkan itu. Tapi sekarang aku harus kembali pada kenyataan yang ada.
“Bagaimana aku bisa menghadapi Mama?? Dia pasti sangat terpukul” Kataku.
“Ini semua sudah takdir Tuhan, Meera. Sekalipun sulit, aku tahu kamu bisa melewati semuanya”
Aku menghela napas. Andai saja semuanya semudah itu, tapi kenyataan jauh lebih menyakitkan.
Di rumah sakit aku justru menemukan Mama yang selalu menatp kosong. Dia sudah sadar, aku tentu senang ketika mengetahui hal itu. Tapi sesuatu yang kudapati kali ini justru menghancurkan hatiku dengan amat sangat.
Mamaku seperti hilang. Aku tidak menemukan tatapannya lagi. Dia terus diam tanpa mau merespon setiap pertanyaanku.
Mama kehilangan segalanya ketika dia kehilangan kakinya. Aku akan sangat sulit menerima keadaan ini, tapi Mama membuktika padaku jika dia tidak mampu melewati hal ini. Dia tidak mampu mengatasi kekecewaannya sendiri.
Kali ini, siapa lagi yang harus kusalahkan??
***
Jakarta, 2020
Mataku terasa berair ketika harus menceritakan kejadian ini.
Aku tahu bagaimana hancurnya ketika sesuatu yang amat penting harus direnggut secara paksa. Aku tahu betapa hancurnya ketika kita merasa dunia bukan lagi milik kita.
Aku sudah menaklukan segala hal dalam sepuluh tahun terakhir. Kehilangan sesuatu?? Huh, aku sudah tidak dapat bersedih karena hal kecil semacam itu. Aku bahkan tidak menangis ketika aku terbangun di ruangan rumah sakit bertahun-tahun yang kaki dalam keadaan tanpa kaki kanan. Aku tidak menangis ketika segala hal harus kujauhi, harus kulenyapkan secara perlahan.
Aku menjadi pribadi baru yang tidak dikenal oleh dunia. Almeera memiliki kekuatan baru yang tetap membuat satu kaki ini bisa berdiri dan mengarungi segala badai.
Selama 34 tahun hidupku, aku sudah memutuskan untuk berhenti menangis ketika malapetakan sepuluh tahun lalu menimpaku. Aku hidup tanpa memiliki jiwa.
Hanya satu orang bisa menghidupkan diriku yang lama, Jovan. Hanya Jovan yang bisa. Ah, kurasa aku akan mengunjungi rumahnya jika pulangku tidak terlalu malam.
Andai saja semua in tidak terjadi, apkah aku juga akan tetap hidup dalam kesepian ini?? Apa aku juga tetap menjalani segala hal dalam kekosongan??
Kuharap dia ada disini. Hanya dia yang selalu memberi kekuatan padaku.
Kepadamu, aku kirimkan banyak cinta dari bumi. Aku merindukanmu.
***