Mama diperbolehkan pulang 2 minggu kemudian.
Semuanya terasa semakin kacau karena Mama tidak juga menunjukkan perkembangan.
Mama semakin terpukul ketika kamarnya dipindahkan ke lantai bawah. Kamar yang sudah menjadi singgasananya sejak kami pindah ke rumah ini, sekarang dia akan kesulitan jika harus naik turun tangga.
Semua orang memperlakukan Mama dengan spesial. Eyang bahkan memberikan Mama seorang pelayan khusus yang akan selalu menemaninya. Dan aku pun begitu, aku meminta harus ada orang yang berjaga di depan kamar Mama agar jika ada sesuatu, Mama bisa segera mendapat bantuan.
Jika Mama akan melakukan sesuatu, kami selalu khawatir. Kami sering bertanya apakah Mama sanggup dan bisa.
Awalnya kupikir Mama akan lebih mudah dengan semua itu, tapi aku salah. Tanpa kami sadar jika semua itu malah menyakiti Mama. Kami membuat Mama merasa lebih cacat dan tidak berguna.
Beberapa kali Jovan sudah memepringatkan aku, katanya aku harus membiarkan Mama melakukan apa yang biasa dia lakukan agar Mama tidak merasa semakin sedih. Tapi aku tidak menghiraukan nasehatnya, aku terus saja melarang Mama melakukan banyak hal hingga saat ini aku baru sadar jika aku salah.
Mama menangis, dan ini menyakiti hatiku.
“Meera minta maaf, Ma” Kataku sambil memeluk Mama.
Mama masih saja mengis. Beberapa kali aku sempat melihatnya memukul kakinya sendiri.
Tanganku bergerak untuk menggenggam tangan Mama.
“Meera minta maaf. Ini semua salah Meera” Kataku.
“Kamu tahu Meera? Ada beberapa hal yang selalu bisa Mama banggakan, salah satunya kaki Mama yang tetap indah sekalipun Mama sudah berumur, tapi sekarang Mama tidak lagi memiliki mereka..” Kata Mama sambil terus menangis.
Aku tahu hal-hal remeh semacam inilah yang terus mengganggu pikirannya.
Beberap kali Mama memang sempat bercerita jika dia takut tidak bisa menghadiri acara bersama Papa seperti yang biasa dia lakukan. Aku memang sudah berusaha menghibur Mama, kupikir itu semua berhasil. Tapi ternyata tidak.
Dan hari ini mungkin adalah puncak kekesalan Mama. Ketika dia ingiin pergi berenang seperti kebiasaannya selama ini, aku melarangnya. Aku membuat Mama merasa semakin cacat.
“Mama tetap cantik..” Ucapku sambil tersenyum.
Mama menggelengkan kepalanya.
Yaa, berkat kecelakaan itu Mama harus merelakan wajahnya dijahit di sudur pipinya. Beberapa goresan juga nampak jelas di depanjang dahi dan sebelah matanya. Tapi jujur, Mama tetap terlihat menakjubkan, semua itu sama sekali tidak menghilangkan kecantikan Mama.
“Kamu bohong..”
Kini ganti aku yang menggelangkan kepala.
“Kalau mereka tidak bisa melihat kecantikan Mama, setidaknya mereka bisa melihat betapa cantiknya aku. Dan mereka akan sadar, bahwa Mamaku jauh lebih cantik” Ucapku sambil tersenyum.
“Meera, berjanjilah satu hal pada Mama..” Kata Mama sambil menggenggam tanganku dengan erat.
“Kalau ada pertemuan bisnis, apapun dan dimanapun, kamu harus ikut dengan Papamu. Bagaimanapun caranya, kamu harus ikut, Meera” Kata Mama sambil menatap serius.
Aku segera menganggukkan kepalaku. Sekalipun aku tahu jika mulai hari ini aku akan sering menghadiri acara tidak penting, aku tetap mengangguk. Tidak masalah jika aku harus muak dan terus memamerkan kekayaan keluarga di depan setiap orang, yang penting Mamaku baik-baik saja. Dan yaa.. aku tahu konsekuensi apa yang akan kuterima.. hidupku akan semakin terikat dengan peraturan konyol.
***
“Hai?? Bagaimana pagimu?? kamu kelihatan murung..” Ucap Jovan sambil membelai rambutku.
Setelah kejadian hari itu, kami semakin dekat dari hari ke hari. Jovan juga semakin tidak sungkan untuk berdekatan denganku ketika sedang di sekolah.
Yaa, dia memberi pengumuman yang cukup membuatku terkejut. Dia mengatakan jika kami berpacaran dan sebagai perayaan, dia mentraktir semua orang yang sedang di kantin. Entah apa yang dia inginkan, aku hanya dia dan terus tersenyum. Hari itu aku merasa menjadi manusia paling spesial.
“Buruk sekali..” Jawabku sambil meminum jus jambu milik Jovan.
Jovan mengernyitkan dahinya, aku paling suka dengan yang satu ini. Jovan tampak amat menggemaskan jika dia sedang berpikir seperti itu.
“Ada apa??” Tanyanya sambil mendekatkan duduknya ke arahku.
Sekalipun kami berpacaran, aku belum berani bercerita terlalu banyak padanya. Lagipula selama ini Jovan juga jarang bertanya, kau suka caranya menghargai privasiku.
“Mama marah karena aku melarangnya berenang” Jawabku.
Jovan menghela napas. Tampaknya dia sudah menduga jika ini masalah Mama lagi. Sedikit banyak, hal yang paling sering kuceritakan adalah Mama.
“Kupikir luka jahitannya belum kering. Seharusnya dia memang tidak boleh berenang dulu” Jawab Jovan.
Tepat sekali! Itulah mengapa aku melarang Mama untuk berenang. Dokter sudah melarang Mama agar tidak melakukan kegiatan berat dulu selama beberapa bulan ini
“Aku benar, kan kalau melarangnya berenang??” Tanyaku sambil mendongak untuk menatap Jovan yang jauh lebih tinggi dariku.
“Maksudmu memang benar, tapi mungkin caranya yang salah. Kamu tidak boleh menyinggung tentang kecelakaannya, Meera” Kata Jovan sambil tersenyum.
“aku sudah mencoba menjelaskan sebaik mungkin, Kak. Hanya saja Mama memang keras kepala!” Sanggahku. Iya, tadi aku memang sudah berusaha menjelaskan dengan pelan agar aku tidak menyinggung perasaan Mama.
“Aku tahu. Mungkin lain kali kamu bisa mencoba bicara dengan lebih baik lagi. Aku percaya kamu bisa melakukannya” Kata Jovan.
Inilah ynag membuat aku semakin dekat dengan Jovan. Dia bisa berubah menjadi sosok yang luar biasa dewasa ketika aku membutuhkannya. Dia menasehatiku layaknya seorang kakak kepada adik kecilnya. Dia tidak pernah menyalahkanku, dia memperbaiki setiap salahku dan membuat aku mengerti dengan cara yang baik.
Tapi di samping itu, dia juga menjadi sosok sahabat yang menyenangkan. Dia mendengar keluah kesahku dan memberi aku semangat yang aku butuh. Dia banyak membantuku.
Lalu, ketika aku butuh dihibur, dia akan menjadi teman yang jahil. Dia akan membuatku tertawa hingga melupakan masalahku.
Dan dia.. dia membuatku merasakan berbagai perasaan yang belum pernah aku tahu. Dia membuat aku memandang keindahal dari sudut yang lain. Dia membawaku ke berbagai tempat yang awalnya asing bagiku. Dia mengajari banyak hal yang kini menjadi kesukaanku.
Selama sebulan berpacaran dengannya, aku selalu merasa bahagia. Jovan melengkapi hampir semua kekuranganku. Dia selalu membuat aku merasa dipuja.
Kami memang melakukan banyak hal, tapi hingga kini dia selalu mejagaku. Dia membuat banyak kesenangan tanpa melupakan batas yang dia buat sendiri.
***
Semenjak berpacaran bersama Jovan aku jarang sekali minta dijemput oleh sopir. Aku sering beralasan akan kerja kelompok di rumah teman agar Eyang tidak curiga.
Yaa, menghabiskan waktu bersama Jovan, sekalipun hanya tidur sambil menonton tv, itu adalah yang lebih baik dibanding harus mendekam di kamar tidurku sepanjang hari.
Seperti saat ini, aku sedang memasukkan pop corn karamel yang dibuat sendiri oleh Jovan sambil menonton televisi di kamarnya. Satu bulan ini, hampir setiap hari aku berkunjung ke apartementnya hanyak untuk bermalas-malasan dengan Jovan.
Jovan mengecup pipiku setiap kali aku memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Aku terkekeh geli karena hal itu. Tapi bukannya berhenti, aku malah semakin sering menyuapinya.
Tiba-tiba Jovan membalik posisi kami. Dia sudah berada di atas perutku kali ini.
Aku tertawa dengan keras katika Jovan mulai mendaratkan kecupannya di perutku. Ini menggelikan sekali.
“Hentikan, Kak!” Ucapku sambil tertawa.
“Jika aku berhenti, aku dapat apa??” Tanyanya sambil tersenyum.
“Kamu dapat pop corn milikku” Jawabku.
Tiba-tiba Jovan bergerak dan mendarapkan ciumannya ke bibirku. Aku melotot dan mendorongnya untuk menjauh karena mulutku masih penuh dengan pop corn.
Jovan tidak bergerak sedikitpun.
Tangannya bahkan masih berada di area perutku sejak tadi. Dia malah menggelitikiku agar aku tertawa dan membuka mulut. Begitu mulutku terbuka, Jovan kembali memasukkan lidahnya dan mulai mengambil pop corn dari mulutku. Apa-apaan ini??
Jovan mengunyah pop corb itu sambil tersenyum puas. Aku melihat matanya bersiar semakin terang ketika dia tersenyum seperti ini.
“Apa yang kamu lakukan, Kak?” Protesku sambil bangkit dari posisi tidur dan berusaha merapikan bajuku.
“katanya jika aku berhenti kamu akan memberiku pop corn milikmu, aku baru saja mengambilnya” Jawab Jovan sambil berjalan keluar dari kamar
***