Mata Yang Bercahaya

1984 Kata
Jakarta, 2001  *** Kaki berjalan menelusuri lorong kelas. Aku malas datang ke sekolah. Tapi aku harus melakukan sesuatu. Ini menyangkut reputasi keluarga, jadi tidak akan kubiarkan sesuatu yang buruk terjadi.   Biasanya orang itu mudah muncul dimana saja, tapi kenapa aku tidak menemukannya saat ini??   Aku hanya tahu namanya, sama sekali tidak pernah kutanyakan dia kelas apa. Kali ini sikap tidakpedulianku mengacaukan segalanya. Aku malaha kesusahan sendiri.   Aku sudah mengelilingi lorong ini lebih dari tiga kali, tapi sejak tadi tidak kutemukan tanda-tanda keberadaan Jovan.   “Perasaanku saja, atau memang benar kamu sedang mencariku??” Got it!   Aku menemukannya.   “Akhirnya aku menemukan Kakak. Aku harus bicara..” Ucapku dengan cepat.   Kami tentu tidak memiliki banyak waktu, sebentar lagi bel masuk pelajaran akan berbunyi. Jika ada guru piket yang melihat ada murid berkeliaran, mereka pasti memberi hukuman. Aku tentu tidak ingin terlibat masalah semacam itu.   “Wow, tenang. Kamu bisa berbicara sepuasmu. Bagaimana jika kita bicara di kelasku??” Tanya Jovan dengan santai.   Tentu aku menolak, tidak mungkin aku membicarakan masalah rahasia ini di kelasnya.   “Aku butuh tempat yang lebih privasi”   ***   Disinilah aku sekarang, di ruang OSIS. Jovan memang benar-benar gila sehingga dia membawaku ke tempat ini. Orang luar sepertiku seharusnya tidak boleh masuk ke tempat ini.   “Apakah aman??” Tanyaku pelan-pelan.   “Santai saja, sekalipun ada guru yang lewat, mereka tidak akan curiga. Ruangan ini amat sangat aman..” Jawab Jovan dengan santai. Jovan bahkan sempat memberiku segelas air mineral kemasan milik OSIS.   “Ada apa, Meera?? Kamu memerlukan sesuatu??”  Tanya Jovan yang malah duduk tepat di depanku. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa tatapannya jauh lebih bersahabat kali ini.   “Jangan mengatakan apapun pada orang-orang” Ucapku pelan.   Jovan tersenyum, duduknya semakin mendekat ke arahku.   Aku masih terdiam sambil menatapnya. Kuharap dia mudah diajak bicara.   “Tentang apa??” Tanyanya.   Aku menghela napas, kumohon jangan sampai dia mempersulit keadaanku yang sudah kacau. Tubuhku sudah lelah karena semalam tidak mendapat tidur yang cukup.   “Aku mohon..” Ucapku.   Aku merasakan tangan Jovan bergerak untuk menyantuh tanganku. Aku terisap, apa yang dia lakukan??   “Kak??”   “Meera?? Kenapa??” Tanya Jovan.   Aku mengernyitkan dahinya.   “Jangan khawatir. Kenapa kamu sampai seperti ini?? Ini aku, Jovan..” Katanya.   Aku seperti tenggelam pada cahaya mata Jovan yang tampak jelas dari tempatku duduk. Ada apa dengan matanya?? Mengapa bisa sedemikian indah??   Aku termangu dari tempatku duduk. Masih terus tenggelam dalma cahaya yang terasa dekat denganku. Aku sudah menyimpan pertanyaan ini sejak pertama aku melihat matanya, haruskah kembali kutanyakan??   “Ada apa dengan matamu, Kak??” Tanyaku.   Tanganku bergerak dengan spontan untuk menyentuh wajahnya. Rahangnya yang kokoh sekalipun dia masih pelajar SMA. Hidungnya yang mancung sempurna. Alisnya yang mengagumkan. Bibir merahnya yang tebal. Dan matanya yang selalu bercahaya. Ada apa dengan wajahnya??   Aku menarik tanganku ketika sadar bahwa aku sudah berbuat diluar kendali.   “Meera..” Katanya sambil memegang tanganku untuk tetap berada di wajahnya. “Lakukan apapun yang kamu suka padaku”   Aku kembali terisap. Tapi tanganku tetap bergerak untuk menelusuri wajahnya, terus bergerak sambil tetap menatapnya.   “Lakukan, Meera.. sentuh sesukamu..” Kata Jovan.   “Bagaimana dia bisa bercahaya begini??” Tanyaku sambil terus menatap Jovan.   “Mereka akan selalu bercahaya setiap menatapmu..” Jawabnya.   Aku tidak tahu apa yang kurasakan. Hatiku terasa bergetar tapi aku menikmati setiap getarannya. Aku merasakan ada sesuatu yang bertumbuh dalam diriku, tapi aku embiarkan mereka tetap bertumbuh.   Aku, Almeera, gadis berusia 15 tahun, hari ini kukatan pada dunia jika aku merasakan sesuatu yang asing bernama cinta. Entah bagamana aku bisa yakin jika ini adalah cinta, tapi sungguh merasakan hal yang nyata. Aku menggelengkan kepalu dengan cepat. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada orang yang baru kukenal??   “Ada apa, Meera??” Tanya Jovan.   Aku tidak mungkin memberi tahu apa yang kurasakan pada Jovan. Itu akan sangat memalukan.   “Kamu sudah terlalu banyak menyentuhku, apa aku juga bisa menyentuh mereka??” Tanya Jovan sambil mulai menyentuh pipiku.   Aku tidak tahu harus menjawab apa. Taoi tubuhku memberi respon lain. Kepalaku mengangguk tanpa bisa kucegah.   Jari-jari Jovan terus bergerak ke seluruh permukaan wajahku. Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Darahku seperti berdesir, jantungku juga bedetak semakin cepat, rasa aneh yang baru pertama kali kudapatkan, tapi aku menikmati semua ini.   Perlahan aku melihat cahaya mata Jovan terus mendekat. Aku pernah melihat adegan ini di suatu film, tapi aku sama sekali tidak pernah merasakan hal senyata ini sebelumnya. Jovan membuat aku tidak sadar.   Selanjutnya, kurasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Aku masih bisa melihat cahaya coklat itu dalam jarak yang teramat dekat ini.   Jovan meluluh lantakan seriap diriku.   Aku merasakan bibir Jovan bergerak, aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Pikiranku kosong tapi hatiku terasa penuh.   Lidahnya mulai bergerak dengan pelan, sesaat kemudian Jovan berhenti. Dia hanya diam sambil terus menatapku.   “Biarkan aku masuk, Meera..” Ucapnya pelan.   Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi ketika kurasakan Jovan kembali menggerakkan lidahnya, maka aku membuka bibirku perlahan.   Aku belum pernsh merasakn ini. Karena itulah mataku secara spontan jaditertutup. Aku merasakan setiap sentuhan Jovan di dalam mulutku. Setiap lidah kami bertemu, atau setiap bibir kami saling menyecap rasa satu sama lain.   Aku kehilangan kendali atas diriku sendiri.   Oh, aku benar-benar berciuman dengan orang yang baru kukenal beberapa hari?? Apa ini bercanda??   Beberapa saat berlalu ciuman kami akhirnya terlepas.   Aku terengah sambil terus menatap ke bawah. Aku masih merasakan jari-jari Jovan yang tersu menari di leher dan tengkukku.   Aku tidak berani menatapnya sama sekali. Ini adalah saat yang paling mengerikan seumur hidupku.   “Meera??” Panggil Jovan sambil berusaha membuatku menatap ke arahnya.   Aku tetap menahan leherku, tidak kubiarkan dia menatap mataku sama sekali.   “Lihat aku, Meera..” Kata Jovan lagi.   Entah bagaimana aku menuruti kata-katanya.   Kuangkat kepalaku untuk menatap cahaya coklatnya yang bersinar semakin indah.   “Kamu milikku mulai hari ini..” Ucapnya.   Aku tergugu sambil terus menatap matanya.   “Jangan khawatir pada apapun, Meera. Aku akan menjagamu..”   ***   Kami keluar dari ruangan OSIS dua jam kemudian. Kami tidak melakukan apapun, Jovan hanya menyuruhku tidur setelah kejadian itu. Ohh, tidak, mau ditaru mana mukaku setelah ini??   Jovan bahkan menggenggam tanganku dengan erat ketika kami berjalan keluar dari ruangan. Sejujurnya aku ingin melepas genggamannya, tapi entah bagaimana aku malah merasa amat sangat nyaman ketika dia menggenggam tanganku. Rasanya seperti bagian dari diriku telah kembali. Aku tahu ini amat sangat menggelikan, tapi memang itu yang kurasakan saat ini.   Lorong sekolah ini masih amat sangat sepi karena beberapa kelas masih ada pelajaran. Untungnya baik kelasku maupun kelasnya Jovan sedang ada pergantian guru di jam ini. Jadi kami bisa masuk kelas setelah  guru keluar.   Ruang OSIS berada di sudut belakang sekolah sehingga untuk kembali ke ruang kelas kami perlu melewati beberapa lorong terlebih dahulu.   Aku terus berjalan sambil membiarkan Jovan menggenggam tanganku. Beberapa kali Jovan melihat sekeliling untuk memastika keadaan. Kami takut ada guru yang memergoki.   Tinggal beberapa langkah lagi kami akan sampai ke kelasku, akubahkan sudah bisa melihat pintu kelaku terbuka yang menandakan tidak ada guru di dalam. Tapi naas, di persimpangan lorong kami melihat ada guru yang berjalan kearah kami.   Jovan segera menarikku untuk berbalik arah, tapi kami terlambat. Alhasil guru itu berteriak dan jadi mengejar kami.   Jovan membawaku lari dengan cepat. Dia tetap menggenggam tanganku agar aku tidak tertinggal darinya.   Ini mungkin mudah bagi Jovan, tapi bagiku?? Aku selalu payah di bidang olangraga. Aku tidak pernah latihan lari sebelumya, jadi napasku terasa semakin memburu. Jika kami tidak segera berhenti maka bisa dipapstika kakiku akan kram dan aku pasti terjatuh.   “Kak!” Panggilku.   “Lari dulu, Meera!”   Aku terus berlari. Mencoba untuk tetap menyamakan langkah dengan Jovan yang berlari semakin cepat.   Jovan membiarkan aku berhenti berlari ketika kami tiba di belakang kamar mandi sekolah. Aku tidak pernah tahu jika ada kamar mandi di tempat ini. Biasanya bukan toilet ini yang sering kugunakan.   “Panjat tembok ini jika kamu ingin kita berdua selamat” Kata Jovan sambil menunjuk tembok setinggi tiga meter dihadapanku.   Aku mengernyitkan dahiku.   Memanjat pohon saja aku tidak pernah, bagaimana mungkin aku bisa memanjat sebuah tembok yang tinggi??   “Naiklah, Meera” Kata Jovan sambil berjongkok di depanku.   Aku mendengar suara gaduh yang mendekat. Itu pasti suara langkah guru tadi.   Tanpa berpikir panjang aku langsung menaiki punggung Jovan. Jovan segera berdiri, untuk sesaat aku hampir kehilangan keseimbangan. Untunglah Jovan langsung memegang kakiku.   Tangaku meraih ujung tembok dengan susah payah, sekalipun Jovan sudah menggengdongku dengan tubuh tingginya, aku tetap kesusahan jika diminta memanjat sebuah pohon.   Tangaku dapat meraihnya. Entah bagaimana, tapi sekarang aku sudah duduk dua atas tembok tinggi ini. Kakiku menjuntai di antara dua sisi.   Jovan segera bersiap untuk ikut naik bersamaku.   Setelah diatas Jovan semapat tersenyum sebelum dia melompat dari tembok ini. Aku melototkan mataku, apa kakinya tidak patah?? Tembok ini amat sangat tinggi.   Aku mendengar ada suara langkah kaki yang semakin mendekat.   “Kak??” Panggilku pelan sambil menunjuk ke arah sekolah.   “Lompat! Aku akan menangkapmu”   Aku baru ingin protes ketika tiba-tiba kudengar suara yang lebih jelas lagi. Mereka akan sampai dalam hitungan detik. Jadi, setelah aku memejamkan mata aku segera lompat seperti arahan Jovan.   Jovan menagkapku sekalipun kami berdua tetap tejatuh.   Pantatku terasa sakit tapi katena aku mendengar tawa Jovan, mau tidak mau aku jadi ikut tertawa juga.   “Menyebalkan sekali. Ini hari pertamaku jadian dengan seorang gadis, tapi guru itu malah mengacaukan segalanya” Kata Jovan sambil terus tertawa.   *** Jakarta, 2020   Itu adalah kali pertama aku memiliki seorang pacar. Jovan namanya.   Jika mengingat kejadian hari itu maka pipiku akan tetap mmerah hingga saat ini.   Ini adalah bagian yang paling sulit kuceritakan. Aku takut bahasa yang kugunakan malah merusak suasana indah hari itu.   Untuk yang pertama kalinya seorang Almeera jatuh cinta, berciuman, dan juga berpacaran. Aku mendapatkan ketiganya dalam satu hari. Dan itu semua karena Jovan.   Hah, entahlah.. hari itu rasanya seperti terbang ke atas awan. Apa semua orang memang begitu ketika merasakan cinta pertamanya??   Aku seperti tidak sadarkan diri. Jovan membuat aku hilang kendali.   Hingga saat ini, kejadian hari itu selalu berbekas di ingatanku. Ciuman kami selalu memiliki tempat tersendiri di dalam hatiku.   Jovan memberikan sesuatu yamg selama ini sibuk kucari. Dia juga melengkapi hidupku yang tanpa aku sadar, selama ini ada bagian yang kurang.   Aku bahkan belum lupa bagaimana hari itu berakhir. Dibawah senja yang indah, bersama dengan cahaya matanya, aku kembali merasakan manisnya bibirnya. Bibir yang sama seperti diriku, kami remaja naif yang sama-sama  mencari tahu apa artinya semua ini. Kami yang baru tahu bagaimana menikmati dunia dengan dengan cara yang menakjubkan. Oh, aku ingin tertawa jika mengingat bagaimana kelakuan kami saat itu.   Kami yang sama-sama tidak mampu mengendalikan diri. Kami yang susah payah menghentikan kenikmatan yang kami ciptakan sendiri.   Kadang, tenggelam dalam cinta juga akan membawa luka. Jika sudah menyerahkan segalanya seperti diriku ini, aku sudah tidak memiliki apapun. Kami saling memiliki. Miliknya adalah milikku, dan diriku adalah dirinya.   Aku tahu aku mencintainya sekalipun aku masih berusia muda. Beberapa orang mungkin akan tertawa ketika mendengar pengakuanku. Terkadang orang suka meremehkan cinta anak muda, padahal cinta seperti inilah yang memiliki kekuatan luar biasa, kami yang masih naif dan penuh kenekatan. Kami, anak muda yang berani mengenal cinta.   Huh, bagian-bagian inilah yang terkadang sulit aku jelaskan. Bahasan tentang cinta sebenarnya tidak bisa diungkapkan lewat bahasa sehari-hari. Di dunia ini, tidak pernah ada kata yang benar-benar tepat jika digunakan untuk mendefinisikan cinta. Tapi aku aku akan berusaha, akan kujelaskan dengan bahasa sebaik mungkin agar kalian juga bisa mengerti betapa indah cinta anak muda yang kujalani.   Mataku bergerak untuk melihat sekeliling cafe. Hari sudah hampir sore ternyata.   Ting!   Lonceng cafe kembali berbunyi menandakan ada pengunjung yang baru datang.   Mataku melihat ada seorang gadis muda yang terus tersenyum dalam pelukan pemuda yang seusia dengannya. Tampak sekali jika mereka sedang bahagia.   Yaaa, begitulah. Pasangan muda yang sedang dimabuk cinta.   Aku tersenyum melihat mereka berdua.   Andai waktu itu sudah ada cafe semacam ini, Jovan pasti sering mengajakku  menghabiskan waktu di temapt semenarik ini.   Ah, aku jadi semakin suka berandai-andai.    ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN