Pelukan Yang Menenangkan

862 Kata
Jakarta, 2002 *** “Kalian bertengkar atau semacamnya??” Tanya Ardo yang sedang duduk di samping Jovan. Aku menatap Jovan. Dia duduk di depanku, sedang menikmati makan siangnya dengan santai. Yaa, kami bertengkar tapi tetap makan di meja yang sama ketika istirahat. Tidak, mungkin tidak bertengkar.. karena setahuku pertengkaran adalah pembicaraan dengan suara keras dan saling menyahuti untuk menjatuhkan satu sama lain. Masalahnya itu tidak terjadi padaku dan Jovan. Kami hanya diam. Diam.. dan terus diam. “Kalian putus, yaa??” Tanya Ardo lagi ketika pertanyaannya dia dijawab olehku ataupun Jovan. Aku menatapnya tajam. Sementara Jovan hanya diam saja. Dia ini kenapa, sih?? Selalu saja diam. Rasa-rasanya aku jadi semakin sebal padanya. “Kalau memang bertengkar, lebih baik kalian bicara baik-baik. Jangan seperti ini, masalah kalian tidak akan selesai hanya dengan saling diam” Kata Ardo. Huh, Kakak tingkatku yang satu ini memang suka terlalu mencampuri urusan orang lain. “Diam dan habiskan makananmu” Kata Jovan dengan santai. “Kalian ini, dinasehati bukannya berterimakasih tapi malah berkata tidak sopan padaku, yaa?” Aku hanya diam saja. Permasalahan kami terlalu besar. Ini rumit. Karena aku tahu segala sesuatu yang menyangkut keluarga tidak akan pernah semudah yang kita kira. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Jovan. “Kamu terlalu mengejutkan dengan berkata seperti orang waras. Jadi sebaiknya diam saja” Kataku sambil tersenyum. Ardo mengumpat lalu menertawakan kami berdua beberapa saat kemudian. Aku tahu, di beberapa situasi Ardo memang cukup berguna. Contohnya adalah saat ini. Dia tanpa sadar membuat kami berdua ikut tertawa, membuat tembok dingin di antara kami jadi meleleh sedikit demi sedikit. Ardo memperbaiki beberapa hal. “Aku kadang suka bertanya-tanya. Bagaimana kalian bisa sedemikian romantis padahal kalian belum lama saling mengenal..” Kata Ardo. Iya, itu memang yang dilihat oleh orang lain. Mereka belum tahu saja jika saat ini kami sedang saling menyembunyikan sesuatu. Oh, bukan saling. Hanya Jovan yang mencoba menyembunyikan sesuatu dariku. “Itu karena kami selalu jujur satu sama lain” Kataku. Jovan menatapku sebentar. Aku balas menatapnya. “Tapi kami tahu batasan masing-masing. Kau tahu kan, ada beberapa hal yang tidak bisa kita bagi dengan siapapun.” Kata Jovan. Ardo memutar bola matanya sambil tersenyum. Manusia satu ini pasti sedang mengejek kami berdua. “Kalian pasti sedang bertengkar. Ahh, senang rasanya mengetahui jika kalian layaknya pasangan normal yang bertengkar di beberapa situasi” Baik aku maupun Jovan terdiam ketika mendengar perkataan Ardo. Dia seperti mengatakan jika ini adalah hal yang biasa terjadi di antara dua orang yang berhubungan. Aku menatap Jovan. Kutemukan jika dia juga sedang menatapku. Cahaya matanya bersinar ketika tatapan kami bertabrakan. Jovan seperti kembali lagi seperti Jovan yang aku kenal. Lalu perlahan dia tersenyum membuat aku mau tidak mau juga jadi tersenyum karena setiap ada senyuman di bibir Jovan, maka bibirku juga akan otomatis tersenyum. Lalu aku sadar, jika kami sudah baik-baik saja saat ini. *** “Jadi kamu masih ingin menyembunyikan fakta itu??” Tanyaku pada Jovan. Jovan menghela napas sambil duduk di sampingku. “Ini bukan sesuatu yang akan menyenangkan ketika kamu dengar” Katanya. Aku terus menatap Jovan. Mencoba meyakinkan dirinya lewat tatapanku. Aku hanya ingin dia mengetahui jika, apapun yang terjadi, kita bisa melewati itu bersama. “Keluarga kita memang berseteru, Meera. Aku belum tahu pasti apa penyebabnya, tapi mungkin ini masalah persaingan bisnis dan semacamnya. Tapi entahlah, kurasa tidak pernah ada persaingan antara keluarga kita karena perusaan kita memang bergerak di bidang yang berbeda..” Aku mendengarkan penjelasan Jovan. Ini sebenarnya masuk akal, sesuai dengan yang Ardo pernah katakan padaku. Kami juga jarang menghadiri acara bisnis yang sama karena bisnis keluarga kami memang berbeda. Aku tidak terlalu tahu mengenai dunia bisnis, tapi untuk yang satu ini aku tahu persis. “Papaku sudah pernah mengatakan itu. Tapi.. apa kamu mencurigai sesuatu??” Tanyaku. “Kemungkinan memang ada perseteruan di antara keluarga kita. Karena menurutku tidak mungkin detektif Papamu mencurigai keluargaku tanpa alasan. Tapi bisa jadi ini bukan masalah bisnis” Kata Jovan. “Kalau memang benar seperti itu, artinya hubungan kita akan sulit” Kataku lagi. Jovan mengangguk lalu tersenyum. Aku cukup tahu dengan keadaan ini. Jika kedua keluarga kami berseteru maka artinya hubungan kami akan mengalami banyak kesulitan. Yaa, beginilah rumitnya terlahir di keluarga kaya yang kurang berotak. Banyak tuntutan di keluarga semacan ini. “Jangan terlalu memikirkan itu, Meera. Kita akan baik-baik saja. Masalah seperti ini memang sering terjadi. Yang pasti kita harus menyembunyikan hubungan kita untuk beberapa saat kedepan, sampai aku bisa memastikan sesuatu” Katanya sambil mengusap rambutku pelan. Aku menatapnya lalu menghela napas. Aku tahu ada banyak hal yang masih belum kami ketahui. Aku juga tahu jika hubungan kami sering kali terasa hambar. Tapi aku mencintainya.. mencintai dirinya dengan segenap hatiku. Sekalipun kami masih belum saling mengenal dengan baik, aku tetap mencintainya. Kadang juga aku merasa jika hubungan kami terlalu cepat atau mungkin ada beberapa kejadian dimana kami saling kehilangan feeling. Yaa, mungkin ini karena kami terlalu cepat mengambil keputusan untuk berpacaran. “Aku lega kita baik-baik saja, Meera” Katanya sambil memelukku dari samping. Aku merasakan detak jantung Jovan seirama dengan milikku. Berdetak kencang tapi terasa menyenangkan. Dan aku menikmati semua ini.. “Kita hanya perlu saling bicara, bukan??” Kataku. Jovan terkekeh pelan. “Setelah ini kamu pasti banyak berpikir dan menjadi tidak tenang. Aku tahu kamu, Meera. Makanya aku tidak ingin memberitahu kamu sebelumnya” Katanya. Yaa, aku jelas akan kepikiran dengan masalah ini. Tapi.. kurasa akan tetap lebih baik jika Jovan berkata jujur padaku. Aku tersenyum. Mencoba menyembunyikan wajahku di balik punggung Jovan. Menghirup aroma tubuhnya yang menenangkanku. Dan mendengar suara jantungnya. Baiklah, aku mungkin akan lebih sering gelisah nanti, tapi aku tahu pasti jika Jovan akan menenangkan diriku hanya dengan menatap matanya dan merasakan pelukannya. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN