Jakarta, 2002
***
“Aku mau Papa berhenti menyuruh orang untuk mengikuti aku” Kataku ketika menemukan Papa sedang duduk di halaman belakang rumah.
Papa jarang berada di rumah, itulah sebabnya aku tidak terlalu dekat dengannya ketika aku masih kecil. Dulu kupikir ini adalah hal yang wajar, tapi setelah aku mengetahui sifat buruknya, aku jadi mengerti. Papa memang tidak ingin dekat dengan keluarganya. Dia lebih mementingkan pekerjaan. Lalu sekarang, ketika dia memiliki seseorang anak laki-laki, dia jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumah??
Aku akui jika Papa juga bukanlah sosok yang buruk, Papa memang tidak selalu hadir dalam setiap waktuku, tapi di beberapa momen penting dalam hidupku Papa selalu menyisihkan waktunya. Dulu aku sudah bersyukur dengan keadaan itu, tapi sekarang aku mulai merasakan ketidakadilan itu.
“Maksudmu??”
“Papa tahu apa maksudku. Berhenti berpura-pura” Jawabku.
“Ini demi keamanan kamu, Meera. Kamu masih berhubungan dengan putra keluarga itu, kan?” Tanyanya.
Jika benar apa yang dikatakan Jovan tadi siang, itu artinya Papa tidak boleh tahu mengenai hubungan kami sampai Jovan mengetahui apa motif tuduhan detektif bodoh itu.
Tapi.. aku sudah pernah memberi tahu Papa jika aku berpacaran dengan Jovan. Yaa, dia orang pertama yang mengetahui aku berpacaran.
“Jauhi dia jika kamu masih ingin aman, Meera” Kata Papa lagi.
Aku menghela napas. Seingatku, sekalipun aku tidak pernah dekat dengan Papa, dia dulu bukan orang yang seperti ini. Papa tidak pernah mengancamku. Yaa, meski sejak dulu hidup di keluarga ini selalu penuh dengan aturan.
“Dia tidak bersalah, Pa. Kejadian itu murni sebuah kecelakaan” Kataku.
“Kamu tidak bisa terlalu mudah mempercayai orang lain, Meera. Hidup terlalu keras untuk orang-orang seperti kamu”
Aku tertawa sinis. Yang membuat hidup orang sepertiku terasa berat adalah manusia rendahan seperti Papa. Manusia yang tidak memikirkan keluarganya sendiri.
“Kalau begitu Papa juga tidak boleh terlalu mudah mempercayai detektif itu, Pa”
Kini Papa yang ganti tertawa.
“Kamu salah sangka ternyata. Mereka bekerja untuk Papa, Meera. Mereka tidak mungkin berbohong karena Papa sudah membayar mahal untuk hal ini”
“Baiklah, itu terserah Papa. Yang pasti aku meminta agar orang-orang bodoh itu berhenti mengikuti aku”
“Mereka akan berhenti begitu kamu juga berhenti mengunjungi putra keluarga Anderson itu. Kamu pikir selama ini Papa tidak tahu kalau kamu sering berkunjung ke apartemennya??”
Aku tidak kaget dengan fakta itu. Aku baru mengetahui beberapa hari belakangan jika aku diikuti oleh orang suruhan Papa. Itu tidak menutup kemungkinan jika sudah sejak lama mereka mengikuti aku. Lagipula, sekalipun mereka tidak bisa memasuki gedung apartemen Jovan, mereka juga pasti tahu aku mengunjungi Jovan karena setiap hari aku datang ke sana bersamanya.
“Kamu jangan berbuat yang memalukan, Meera. Kamu berasal dari keluarga terpandang, jangan membuat dirimu menjadi w************n”
Detak jantungku terasa berhenti beberapa saat. Apa dia benar Papaku??
“Papa sendiri yang membawa w************n ke rumah ini. Jangan salahkan aku jika aku juga menjadi jalang orang lain”
“Meera!”
Aku melangkah dengan cepat meninggalkan Papa yang masih terus berusaha untuk memanggilku. Entah dia ingin marah-marah atau dia menyesal telah mengatakan hal yang tidak pantas padaku.
Aku tidak mau menghentikan langkah ataupun berbalik untuk menatapnya.
Ini menyakiti kau lebih dari apapun.
Ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan hingga aku mati.
Ketika ada orang yang bertanya, siapa yang pertama kali mengatai aku w************n, maka jawabannya adalah papaku sendiri. Dia orang pertama yang mengatai aku w************n. Salah satu sebutan paling hina di muka bumi ini.
“Meera, ada apa??” Tanya Eyang sambil menggenggam tanganku. Dia menghentikan aku yang sedang berlari menaiki tangga sambil terus berusaha mengusap air mata.
Eyang menatapku dengan cemas ketika mengetahui aku sedang menangis.
“Meera” Katanya sambil memelukku.
Aku kembali menangis. Ini terlalu menyakiti hatiku.
“Aku mau pindah rumah, Eyang. Tolong belikan aku rumah..” Kataku.
Eyang diam saja. Dia menuntunku untuk kembali menuruni tangga dan membawaku masuk ke dalam kamarnya.
“Ada apa, Meera??” Tanyanya sambil mengusap air mataku. Kau benar-benar bersyukur karena masih memiliki seorang nenek. Entah apa jadinya jika tidak ada Eyang.
“Papa. Dia menyebut aku w************n”
***
Aku baru akan merebahkan punggungku ketika pintu kamarku diketuk.
Aku bangkit dengan malas dan membuka pintu. Dahiku mengernyit ketika mendapati Papa sedang berdiri dengan w************n yang berada di belakangnya. Sekalipun aku sudah tahu bagaimana sakitnya ketika disebut sebagai w************n, aku tidak akan berhenti memanggil dia sebagai w************n karena memang begitulah kenyataannya. Dia memang w************n.
“Papa ingin bicara” Kata Papa.
“Di ruangan Papa??” Tanyaku.
“Tidak. Di kamarmu..”
Aku mengangguk. Lalu sedikit menyingkir dari pintu agar Papa bisa berjalan masuk.
Mataku masih saja fokus menatap w************n itu. Dia menunduk dan terkesan berlindung di balik punggung Papa.
Aku tersenyum sinis ketika menatapnya.
“Biarkan dia masuk, Meera. Ada hal yang perlu kami ceritakan padamu” Kata Papa sambil menarik tangan wanita itu untuk bisa masuk ke dalam kamarku.
“Eh, tunggu dulu!”
Mereka berdua berhenti dan menatapku.
“Aku harus menyemprot desinfektan ke seluruh kamarku jika Papa meminta wanita ini masuk” Kataku.
Papa menatapku dengan pandangan tidak bersahabat. Sedetik kemudian aku terkekeh. Mungkin bersikap tidak peduli dan menganggap wanita ini tidak ada adalah tindakan yang paling tepat.
“Tidak. Aku hanya bercanda. Seluruh tempat ini adalah milik Papa, aku tentu tidak memiliki wewenang untuk melarangnya” Kataku sambil berjalan menjauhi mereka berdua.
“Kami hanya ingin berbicara dengan kamu, Meera” Kata Papa dengan suara yang lembut.
“Papa sudah banyak bicara sejak tadi. Bahkan ucapan Papa cenderung menyakitiku sore tadi” Kataku samabil tersenyum.
“Jangan mendekati keluarga Hernandez. Papa melarangmu berhubungan dengan Jovan” Kata Papa.
Aku mengernyitkan dahiku. Jadi pembicaraan ini lagi?? Tidak puaskah Papa sudah marah dan mengataiku tadi sore?? Dia terlalu mengatur hidupku padahal sebenarnya dia tidak peduli.
“Papa terlalu banyak mengaturku” Kataku.
“Ada sebuah kisah. Dulu, di mana seorang laki-laki dewasa jatuh cinta pada wanita remaja. Kamu mau mendengarkan kisah itu??” Tanyanya.
“Aku bukan anak kecil yang menyukai dongeng menjijikkan semacam itu, Pa. Simpan saja kisah itu untuk putra Papa” Kataku sambil tersenyum sinis.
Rasa dendamku karena kejadian tadi sore masih benar-benar membakar hatiku. Papa amat snagat keterlaluan dengan menyebutku seperti itu. Tidak pantas seorang ayah mengatakan hal yang buruk pada putrinya sendiri.
Aku tahu.. dia pasti akan menceritakan kisahnya dengan w************n itu padaku. Sungguh menjijikkan. Papa membelanya dengan mengatakan kisah mereka yang sudah terjalin sejak lama. Bukannya dia malu, tapi dia malah dengan bangga bercerita pada putrinya sendiri.
“Papa hanya ingin kamu tahu cerita kami dan berhenti berbicara buruk tentang istri Papa” Katanya.
Jika diperhatikan, wanita itu memang terlihat jauh lebih muda dibanding Papa. Jelas sekali, dia pasti w************n yang menggoda Papa hanya untuk mendapatkan keuntungan.
“Sampai aku mati pun, satu-satunya istri Papa yang aku akui adalah Mamaku. Terserah jika Papa tidak menerima fakta itu” Ucapku.
Apa aku salah jika aku berucap seperti itu??
Anak yang baru berusia 15 tahun tentu belum mengerti banyak hal menjijikkan yang dilakukan oleh orang dewasa. Aku hanya mengerti jika dia Papaku, aku menerima kekurangannya karena memang seorang anak tidak bisa memilih siapa yang menjadi ayahnya. Tidak, aku tidak bisa melakukan itu. Andai bisa, aku pasti lebih memilih dillahirkan di keluarga sederhana tapi memiliki cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Bukan yang suka berhianat seperti Papa.
“Meera”
“Apa Tuhan juga mengakui dia?? Jika iya, aku baru akan mengakui keberadaannya”
Papa bungkam dengan pertanyaanku. Huh, aku mulai bicara tentang kebenaran dan aturan Tuhan, padahal aku saja jarang melakukannya.
“Mama tahu kamu marah pada keadaan. Tapi kami juga sama, kami juga marah pada keadaan”
“Kamu bukan Mamaku! Jangan sok dekat dengan aku” Kataku sambil menatap dia sinis.
Aku, anak remaja yang masih berusia 15 tahun.. aku berada di ruangan ini bersama Papaku dan gundiknya. Sungguh menjijikkan ketika mengetahui fakta itu. Aku sama sekali tidak menemukan didikan yang baik di rumah ini.
“tenanglah, Alina. Biar aku yang bicara dengan dia” Kata Papa.
“Dulu Papa jatuh cinta dengan dia. Saat itu dia masih SMA sementara Papa sudah berusia dewasa. Semuanya menentang kami, Meera. Mereka tidak menyetujui hubungan kami karena status sosial dan juga perbedaan usia kami..”
Dia pikir dengan menceritakan kisah menjijikkan ini, kau akan luluh dan jadi merestui hubungan mereka?? Sampai aku mati pun aku tetap tidak setuju.
Memangnya ada anak yang rela Papanya menikah lagi sementara keluarga mereka awalnya baik-baik saja. Ini sungguh tidak masuk akal.
Setelah memaksa aku membiarkan mereka menikah, haruskan aku juga dipaksa untuk menerima pernikahan mereka??
“Saat itu Papa diminta untuk menikahi Mamamu. Papa menerima begitu saja karena Papa pikir, Mamamu orang yang tepat. Dia sempurna..”
“Tidak. Dia tidak sempurna. Jika dia sempurna, Tuhan pasti tidak membiarkan Mama menikah dengan laki-laki b******k seperti Papa” Kataku sambil tersenyum sinis.
Untuk seorang anak, tidak seharusnya aku mengatakan hal sekasar itu. Aku tentu benar-benar kehilangan akal karena telah memaki orang tuaku sendiri.
“Mungkin dia melakukan kesalahan di masa lalu sehingga dia berakhir bersama Papa” Kata Papa.
“Iya. Kesalahan terbesar Mama adalah menerima pernikahan itu. Pernikahan yang malah membawa dia ke dalam kehancuran”
***