Bertengkar

1218 Kata
Jakarta, 2002 *** Aku menatap Jovan yang sedang menikmati sepiring nasi goreng di hadapannya. Dia masih sama, tetap berlaku biasa saja. Sementara aku? Tentu saja sejak tadi aku hanya diam sambil menatap was-was ke arahnya. Entah bagaimana, sekalipun aku sudah mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Eyang kemarin karena katanya itu barulah kemungkinan yang diungkapkan oleh detektif sewaan, aku tetap saja merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang menggangguku ketika menatap Jovan. “Kamu tidak sarapan??” Tanya Jovan. Aku mengedipkan mata beberapa kali sebelum kembali fokus menatapnya. “Aku tadi sudah sarapan di rumah” Jawabku sambil tersenyum. Jovan mengernyitkan dahinya. “Kamu terlihat aneh hari ini. Apa ada masalah??” Tanyanya. Aku mengerjapkan mata karena terkejut. Apa dia melihat keanehanku? “Apa penampilanku aneh??” Tanyaku sambil menggerakkan tangan menuju kepala. Membuat gerakan seolah sedang memperbaiki tataan rambut. Jovan segera menggeleng. Setelahnya dia meminum jeruk hangat lalu mengusap bibirnya menggunakan sapu tangan sebelum menjawab pertanyaanku. “Bukan seperti itu. Kamu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Apa a da yang mengganggumu??” Tanya Jovan. “Emm.. apa kamu punya waktu?? Aku ingin bicara” *** Jovan membawaku keluar dari sekolah dengan diam-diam. Entah bagaimana aku setuju saja dengan ide gilanya ini. Kami berjalan dengan hati-hati ketika akan melewati pintu gerbang yang masih terbuka karena ini belum jam masuk. Dari kejauhan aku melihat ada beberapa orang yang berseragam hitam. Pikiranku langsung tertuju pada pembicaraanku dengan  Mama hari itu. Entah ini penguntit suruhan Mama atau penguntit suruhan Papa. Yang pasti instingku mengatakan jika aku tidak boleh tertangkap mereka. “Di sebelah kanan, kurasa ada yang mengawasi kita” Kataku pada Jovan. Jovan menengok lalu menganggukkan kepala. Lalu dia menunjuk ke sisi kiri di mana ada pepohonan yang menutupi taman pinggir sekolah. “Ada yang mencurigakan di sana, apa mereka juga mengikutimu??” Tanya Jovan. Aku mengangguk. Kurasa mereka juga adalah salah satunya “Tetap tenang dan sembunyikan wajahmu di belakangku” *** Jovan membawaku ke apartemennya. Yaa, kurasa memang tidak ada tempat  lain yang seaman tempat ini. Kami bisa berbicara tanpa takut diikuti oleh penguntit sialan itu. Mereka benar-benar merepotkanku. Aku tersenyum ketika menerima uluran gelas berisi s**u coklat yang Jovan berikan padaku. Dia duduk di dekatku dan menatapku lekat, membuat aku tanpa sadar terdiam dan menahan napas sesaat. “Kamu kenapa??” Tanyanya. Aku mengerjapkan mataku. Jovan selalu tahu apa yang kurasa tanpa sempat kukatakan sebelumnya. Dia selalu bisa membaca keadaanku dengan amat sangat mudah. “Meera, ada apa??” Tanyanya lagi sambil menyentuh tanganku. Aku menarik tanganku dengan cepat. Dari ekor mataku, aku melihat jika Jovan sedang mengernyitkan dahinya. Dia pasti bingung melihat tingkahku saat ini. Tapi bagaimana lagi? aku merasa ketakutan saat ini. Bukan takut jika Jovan akan menyakitiku, aku hanya takut jika kecurigaanku benar. Aku takut menerima fakta jika keluarga Jovan memang melakukan hal keji itu. Aku takut jika memang dia berada di balik kecelakaan Mama. “Meera??” “Kak, katakan kalau aku salah.. aku juga sulit mempercayai ini, hanya butuh satu penyengkalan darimu dan aku akan percaya. Katakan kalau keluargamu tidak ada hubungannya dengan kecelakaan Mama” Kataku. Jovan semakin mengernyitkan dahinya. Aku tahu jika perkataanku ini bisa saja melukai hatinya.. tapi, aku sungguh tidak mau mempercayai sesuatu yang memang belum pasti kebenarannya. Aku tidak mau mengambil langkah yang salah dengan langsung menjauhi Jovan. Lagipula, kami adalah pasangan. Aku tahu kalau kami harus berbicara apapun keadaannya. Apapun.. sekalipun itu bisa membahayakanku. Sebab, jika memang kecurigaan ini benar, aku pasti sedang dalam masalah besar saat ini. “Meera, apa maksudnya??” Tanya Jovan. Aku menatap matanya. Kata orang kita bisa melihat sebuah kejujuran ari tatapan mata. Dan aku sungguh tidak berbohong ketika melihat ada tatapan penuh tanya di matanya. Jovan.. dia pasti tidak mengerti maksud perkataanku. “Keluargamu.. apa mereka ada di balik kecelakaan Mamaku??” Tanyaku lagi. kali ini dengan tetap menatap lurus ke arahnya. “Tidak, Meera. Dad tidak mungkin melakukan hal kotor semacam itu, karena.. sekalipun keluarga kita tidak akur, aku mengenal ayahku dengan baik. Dia tidak seburuk yang kamu kira” Jawabnya. Satu hal yang sekarang malah menarik perhatianku. Bukan lagi mencari tahu kebenaran tapi aku malah penasaran pada sesuatu yang baru saja Jovan katakan. Tidak akur?? “Keluarga kita tidak akur??” Tanyaku. Jovan terdiam beberapa saat. Terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia sedang terkejut. Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku?? “Kak??” Tanyaku lagi. Jovan mengusap wajahnya dengan kasar. Aku tahu jika dia sedang gelisah. “Aku salah bicara. Kamu tadi sedang bertanya mengenai kecelakaan Mamamu, kan?? Aku juga sudah menjawab jika tidak ada kaitannya dengan keluargaku, apa kamu punya pertanyaan lain?” Tanya Jovan. Aku menatapnya lama. Jadi begini?? Aku dengan hati yang gelisah memaksakan diri untuk bertanya padanya agar tidak terjadi kesalahpahaman, tapi dia malah berusaha menyembunyikan sesuatu dariku?? Aku tertawa pelan. Aku tahu tawa ini mengundang perhatian Jovan. “Aku salah sangka ternyata. Terlepas dari masalah kecelakaan itu, aku percaya padamu hanya dengan mendengar penyangkalan dan melihat tatapan matamu. Kamu tahu? Aku berusaha keras agar tidak terjadi kesalahpahamaan di antara kita. Tapi ternyata kamu sendiri yang menginginkan semua itu. Kamu sendiri yang ingin membangun hubungan di atas ketidakjujuran” Kataku sambil tersenyum sinis. Jovan mengusap rambutnya pelan. Kami sedang berada di keadaan yang sulit. Aku tentu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sekalipun Jovan sudah menyangkal jika keluarganya melakukan sesuatu yang buruk, aku tentu curiga apa yang membuat detektif bodoh sewaan Papa mencurigai keluarga ini. Pasti ada alasan dibalik kecurigaan. Kita tidak mungkin mencurigai seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya, bukan?? Lalu sekarang, di sinilah kami berada. Duduk berdampingan sambil tetap berdiam diri. Jovan seperti masih ingin menyembunyikan sebuah fakta yang sampai sekarang masih terlihat buram di depanku. “Aku bukan bermaksud begitu, Meera. Tapi kamu tahu, kan? Ada beberapa hal yang memang tidak bisa kita bagi dengan siapapun, sekalipun dengan kekasih kita..” “Tapi aku juga tahu jika kamu bisa memilih mana hal yang memang kamu jaga sendiri, dan mana yang harus kamu bagi denganku. Aku yakin kamu tahu itu, Jovan.” *** Jakarta, 2020   Tanganku bergerak untuk meregangkan otot. Aku tersenyum ketika pasangan remaja yang kutatap ketika mereka memasuki cafe, kini menatapku sambil tersenyum. Mereka menggemaskan layaknya pasangan muda-mudi lainnya. Mereka muda dan berani. Mereka penuh api dan semangat. Kadang, aku sering berharap kembali ke masa di mana kakiku masih kuat berlaki sekencang yang aku bisa. Aku ingin kembali ke masa di mana aku amat sangat mencinta make up. Kudengar, ada banyak kemajuan di bidang kecantikan. Sayang sekali kini aku tidak tertarik dengan gaya hidup semacam itu. Aku lebih fokus pada beberapa hal yang baru saja terlintas di kepalaku. Aku semakin menua, kecantikan tidak akan pernah abadi. Iya, bukan?? Aku menatap ponsel berukuran 6,5 inch yang tergeletak di atas meja. Dulu, belum ada ponsel secanggih ini, tapi dulu ponselku selalu ramai berisi pesan dan panggilan dari seseorang yang istimewa di hatiku. Kini, aku punya ponsel mahal yang canggih, tapi ponsel ini jarang sekali menampilkan sebuah notifikasi. Selain karena aku tidak memiliki media sosial, aku sebenarnya juga tidak memiliki seseorang yang selalu mengabariku setiap saat. Yaa, kau sudah kehilangan orang itu. Aku kembali menatap pasangan muda itu. Bibirku tersenyum ketika melihat mereka sedang bertengkar kecil sambil menunjuk ke layar ponsel. Sepertinya perempuan itu terlibat kesalahpahaman dengan kekasihnya. Oh, aku bukan tersenyum karena senang melihat ada pasangan yang bertengkar, kau hanya tersenyum karena interaksi dia antara mereka benar-benar menggemaskan. Kesalahpahaman memang biasa dalam sebuah hubungan, bukan?? Yaa, amat sangat biasa. Pasangan kekasih akan saling diam dan melemparkan tatapan dingin penuh kerinduan ketika tidak sengaja berpapasan. Atau bahkan tersenyum canggung ketika tanpa sadar tertangkap sedang menatap satu sama lain. Atau yang paling buruk, saling membuang muka. Kejadian-kejadian kecil yang malah mendekatkan satu sama lain. Aku tahu, salah paham adalah hal yang biasa. Ketika kita bisa mengatasi hal itu, maka hubungan kita akan naik satu tingkat. Sayang sekali, sudah lama aku tidak terlibat percekcokkan kecil karena sebuah salah paham. Dan bodohnya.. aku sedang merindukan orang yang dulu sering bertengkar denganku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN