Daffin Mengamuk

1535 Kata
"Minumlah dulu," ucap Daffin sembari menyodorkan botol mineral kepada Camelia. "Terima kasih, Kak Daffin," jawab Camelia parau sembari menerima air minum itu. Air mata masih basah di pipi. Mereka berdua duduk di tengah taman di bawah pohon besar nan rindang. Semilir angin sore membelai rambut Camelia yang dikucir satu. Jaket dari Daffin menghangatkan badan wanita itu. Awal bertemu dengan Camelia, sungguh berantakan sekali baju atasannya robek di bagian kedua lengannya dan bagian kancingnya pun sebagian hilang. Tangan kekar Daffin melingkar di pinggang si wanita itu, sementara Camelia merebahkan kepalanya di bahu Daffin sambil menangis tersedu-sedu. "Katakan apa yang terjadi? Kenapa kamu seperti ini?" tanya Daffin sembari melirik wajah Camelia yang sendu. "Kak, ak-u di-jebak," jawab Camelia terbata-bata. "Dijebak bagaimana? Katakan siapa yang membuatmu seperti ini?" Daffin geram. Meskipun, Camelia kerap menghinanya, tetapi di hati Daffin tak ada rasa benci kepada adik perempuannya satu-satunya itu. Bahkan, dia sangat menyayangi Camelia. Bukannya menjawab Camelia malah menangis pecah dan dia beringsut mundur sambil melerai tangan Daffin. "Aku takut, Kak. Ayah pasti marah." "Memangnya kenapa? Kenapa Ayah marah?" Camelia tahu watak Kennedy yang tegas dan keras. Jika salah satu anaknya tak dapat mematuhi keinginannya, maka nasibnya akan seperti Daffin dibuang tak dianggap menjadi bagian keluarga Meyles lagi. "Ayah mau aku harus menjadi dokter. Tapi, aku bohong. Aku nggak mau jadi dokter, aku mau menjadi penari balet yang terkenal," jawab Camelia terdengar panik. Sesekali pandangannya mengedar berkeliling. Berharap tak ada yang mendengarkan pembicaraannya dengan Daffin. Sejurus kemudian dia kembali berucap, "Aku dijebak agar mengikuti kontes balet, tetapi bukan kontes balet yang aku ikuti. Tapi, dia memaksaku untuk melayaninya." "Lantas siapa yang membuatmu seperti ini? Siapa yang sudah merenggut mahkotamu?!" tanya Daffin geram dan dia mulai tak sabar menunggu jawaban dari Camelia. Camelia menundukkan wajahnya dan mengembuskan napas berat. Ada ketakutan yang menjalar ketika Daffin menanyakan hal itu. "Jawab, Camelia. Saya akan bikin perhitungan." "Kakak, jangan. Nanti ayah bisa tahu. Nanti akan tambah runyam masalahnya," balas Camelia. "Memangnya kenapa?" Daffin tertegun sejenak menatap lamat-lamat Camelia yang badannya bergemetar. Lalu dia langsung mendekap erat tubuh sang adik. Kakak mana yang akan tega melihat adik kandungnya sendiri seperti ini? Apalagi mahkotanya direnggut paksa oleh lelaki yang tak bertanggung jawab. Senja menyapa menjadi saksi bisu. Kesedihan Camelia. Iya, wanita itu mulai bercerita semuanya kepada Daffin. . Di rumah bertingkat dua bercat putih tulang. Pada pukul tujuh malam. Usai mengantar Camelia pulang ke rumah, lalu kali ini Daffin justru berdiri di depan gerbang rumah mewah tersebut. Satpam rumah datang menghampiri dan membukakan pintu gerbang lebar untuk Daffin. "Ada Amar, Bi?" tanya Daffin datar. Saat pintu dibuka oleh salah satu pembantu rumah itu. Pembantu tersebut melempar senyum sambil mengangguk pelan. "Sudah lama tak bertemu, Fin. Apa kabar?" tanya pembantu itu. Usianya berkisar empat puluh lima tahun. "Bi, Amar ada? Baik, Bi," jawab Daffin sembari tersenyum simpul. "Ada, baru pulang," balas pembantu itu yang kerap dipanggil oleh bibi oleh Daffin. Lekas Daffin masuk ke rumah tersebut. Dia sudah hafal letak kamar Amar di rumah itu. Hampir lima tahun, Daffin tak menginjakkan kakinya di rumah Amar. Sorot mata Daffin seperti macan yang mencari mangsa. Derap langkah kaki lebar mendekati kamar Amar yang terletak di lantai atas. Brakk! Pintu kamar ditendang kasar oleh Daffin sembari memelotot. Sontak terdengar suara teriakan seorang wanita memecah keheningan. Tampak dua insan manusia berada di atas ranjang. Tubuh polos keduanya ditutupi oleh selimut. Bahkan, butiran keringat masih membasahi wajah lelaki berwajah manis dan kulitnya sawo matang. Siapa lagi jika bukan Amar. Lelaki itu terbelalak langsung menegur Daffin yang kini berdiri di ambang pintu. "Lu nggak sopan. Ngapain lu di sini?!" bentak Amar sambil meraih baju dan celana pendek yang tercecer di lantai. "Bajiingaaan, breeengsekk!" Daffin berlari kecil dan langsung melayangkan tinju ke arah Amar, tetapi Amar langsung menghindari dan menangkis serangan dari Daffin. "Nikahi adik gue, breeengsekk!" sentak Daffin. "Apa sih lu? Nggak mungkin. Gue udah punya pacar," protes Amar. "Lalu ini siapa pacar luh? Atau dia hanya pelampiasan nafsu bejaat luh." Daffin menunjuk kepada wanita yang duduk ketakutan masih memegangi selimut untuk menutupi sebagian badan. "Diam, lu. Nggak usah ikut campur urusan gue!" balas Amar geram. Dia pun menyerang Daffin. Keduanya adu jotos saling mengadu kekuatan. Mereka berguling-gulingan di lantai. Kini Daffin pun berada di atas tubuh Amar. Tangannya melayang, lalu meninju bertubi-tubi ke area wajah Amar. Kejadian lima tahun seperti terulang lagi pertengkaran mereka, yang dulu sahabat kini menjadi orang asing. Wanita yang duduk di atas tempat tidur. Lekas berpakaian saat dua lelaki itu saling menyerang. Lalu wanita tersebut beranjak keluar dari kamar sambil berlari kecil, sedangkan Daffin masih memberikan pelajaran kepada Amar yang telah menjebak Camelia. Gara-gara Amar Camelia terjebak masuk ke dekapan Amar. Menjamaah tubuh Camelia dengan paksa. Amar terhuyung limbung jatuh babak belur. Daffin masih mengepalkan tangannya. "Nikahi adik gue, breeengsekk!" "Ogaaah, gue nggak akan nikah sama adik lu." "Lu jebak dia, seetaaan!" Daffin memelotot. "Dia yang mau jadi penari balet terkenal. Kita saling menikmati," tukas Amar membela diri. "Gue lihat kondisinya. Nggak mungkin adik gue rela disetubuhi sama lelaki penjahat kelamin kayak lu!" bentak Daffin mendekati Amar dan mencengkram erat leher lelaki yang sudah merusak masa depan adiknya. "Daffin, apa-apaan ini!" bentak suara bariton. Spontan Daffin menoleh dan langsung melepaskan cengkeramannya dari leher Amar, lalu mendorong lelaki yang ada di depannya. Amar pun otomatis terjungkal jatuh sambil meringis kesakitan. . Plakk! Plakk! Tamparan mendarat kembali di pipi kiri dan kanan Daffin berulangkali. "Ngapain di sini! Kenapa kamu menyerang Amar seperti anak yang nggak pernah disekolahkan?!" bentak Kennedy memelotot. Tangannya masih melayang di depan muka Daffin. "Ayah, dia itu udah----" "Kakak Daffin, jangaaaan," potong Camelia sambil menangkupkan kedua tangannya yang tiba-tiba menghampiri sembari menangis. "Kennedy, ini sudah dua kali. Anakmu menghajar anak saya. Amar adalah anak semata wayang saya. Jika terjadi apa-apa, maka saya tak akan tinggal diam. Kerja sama kita putus!" geram lelaki berjas putih yang memakai kemeja hitam dan memakai dasi biru dongker. Usianya sama dengan Kennedy, beliau kerap dipanggil Pak Ajat Sudrajat. Pak Ajat membawa Daffin ke rumah Kennedy memperlihatkan perilaku Daffin yang sudah membogem mentah Amar dengan buas dan liar. Amar masih mendesis kesakitan sambil memegangi luka-lukanya. Mencari perhatian. "Bawa dia ke klinik. Ngapain bawa ke sini?" ucap Daffin sambil menyeringai. "Diaaaam, Daffin. Saya itu nggak habis pikir. Kamu itu bukan anak saya lagi. Tapi, gara-gara kamu Pak Ajat marah." Kennedy mendorong Daffin hingga lelaki itu menabrak Camelia yang berdiri di belakangnya. Lalu Kennedy meraup bingkai wajah Amar dengan tatapan sendu. Dia meminta maaf. Bahkan, Kennedy mengapit Amar untuk berdiri. "Mari saya antar, ke klinik. Saya akan tanggung jawab," ucapnya. "Tak usah, Pak Kennedy. Saya masih sanggup bayar pengobatan anak saya. Saya hanya ingin meminta keadilan. Mau bawa ini ke jalan hukum," pungkas Pak Ajat sembari matanya mendelik tajam. "Pak Ajat, silakan saja. Penjarakan Daffin. Saya tak peduli." "Ayah, jangaaaan!" pekik Camelia sambil menghambur memeluk punggung Kennedy. "Saya justru yang akan mempenjarakan anak Anda," timpal Daffin tenang. Dia berderap memangkas jarak mendekati Pak Ajat. Dengan demikian, Daffin dapat melihat dengan jelas luka-luka yang sudah dia ukir di wajah Amar. Pak Ajat berdiri di samping Amar segera merentangkan kedua tangannya takut jika Daffin akan kembali menyerang. "Diaaamm Daffin. Jangan banyak bicara. Kamu yang salah," tukas Kennedy. "Kamu berani melawan saya?!" bentak Pak Ajat. "Saya tak takut, Pak. Selagi saya benar tak pernah merugikan orang lain." Kennedy tampak kesal. Dia pun melepaskan pelukan Camelia dan langsung menarik tangan Daffin. Namun, Daffin tak bergeming. Tatapan tajamnya masih menjurus ke arah Amar. Luka masa lalu, seperti terbuka kembali lebar. Dendamnya kembali berkobar. "Amar, luh yang kembali menyalakan api dendam gue!" "Lapor polisi saja, Pak Ajat. Atau perlu saya saja yang menghubungi polisi," tandas Kennedy. "Tunggu, Pak Kennedy yang terhormat. Sebenarnya di sini anaknya siapa? Saya atau lelaki breeengsekk ini?" hardik Daffin sambil menunjuk ke muka Amar. "Kakak Daffin, jangaaaan. Camelia nggak mau ini berkelanjutan," timpal Camelia sambil menarik tangan Daffin terdengar panik dan ketakutan. "Apa yang kamu takutkan, Camelia? Ini saatnya kamu bongkar kejahatan si Amar," balas Daffin sambil meraup bingkai wajah sang adik yang matanya sembab. "Tapi, Kak." Camelia menundukkan kepalanya. Dia tak berani menatap lawan bicaranya, saat ini berdiri tegak di depannya. Lelaki berhidung bangir itu berusaha keras untuk membuat Camelia bercerita tentang perbuatan Amar. Akan tetapi, Camelia memilih diam membisu saat Kennedy menodongkan banyak pertanyaan. Bahkan, Camelia langsung berlari kecil naik ke lantai dua sambil menangis sedu-sedan. Sementara itu Daffin masih bersidekap. Dia tak mempunyai rasa takut kala Kennedy dan Pak Ajat mengancamnya untuk melaporkan ini ke polisi. "Silakan kalian lapor polisi dan saya akan menjurumuskan Amar juga masuk ke polisi," jawab Daffin tenang dan tersenyum getir. "Sial, diaaam lu, Fin!" protes Amar yang merasa takut. Jika kejahatannya tercium oleh Pak Ajat karena di mata ayahnya Amar adalah anak yang baik dan tak pernah macam-macam. "Apakah harus gue bongkar kejahatan Luh di masa lalu, breeengsekk!" bentak Daffin sambil mengepalkan tinju melayang seakan ingin kembali menyerang Amar. Tak berselang lama datang satpam tergopoh-gopoh menghampiri Kennedy. "Pak, ada seseorang yang mau bertemu. Katanya ini penting." "Siapa?" Kennedy mengerutkan dahinya keheranan. "Saya tak mau terima tamu. Ini sudah malam," lanjutnya arogan sekali sambil menggelengkan kepala. Daffin pun menoleh ke belakang. Pintu ruang tamu memang terbuka lebar, makanya dia mampu melihat dengan jelas siluet wanita yang berdiri memunggungi. Masih di depan pintu pagar. 'Siapa wanita itu?' batin Daffin bergumam lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN