"Mas, kenapa?" tanya Shakira saat melihat Daffin tampak sedih. Lelaki itu pun segera merebahkan tubuhnya di sofa.
"Saya tak apa-apa," balas Daffin sembari mengulum senyum tipis.
"Mas, dari kamar Ibu Risma?" Selidik Shakira.
Daffin mengangguk pelan. Lelaki itu pun menghela napas panjang dan memegangi perutnya yang terasa sakit, tetapi dia tak menunjukkan rasa sakitnya kepada Shakira.
"Mas, lebih baik pikir baik-baik. Jangan bawa Ibu ke Singapura."
"Shakira, ini sudah keputusan bulat saya. Bahkan, saya pun sudah menunjuk dokter agar kamu juga cepat sembuh," sahut Daffin. Lantas dia berdiri dan memangkas jarak mendekati Shakira yang masih duduk di samping brankar pasien Wina.
Wina sudah tertidur pulas. Pengaruh efek obat. Kemudian Daffin duduk berlutut di depan Shakira. Menatap lamat-lamat manik mata Shakira yang terlihat matanya mengembun.
"Kamu kenapa?" tanya Daffin.
"Mas, aku tak mau menghabiskan waktu dan uangmu."
"Saya bekerja untuk keluarga. Jadi jangan pikirkan kayak gitu."
Lantas Daffin merengkuh tubuh Shakira. Dia mengusap punggung sang istri. Berusaha menenangkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kemudian Daffin membopong Shakira. Merebahkan tubuh sang istri di sofa panjang. Malam sudah semakin larut. Waktunya Shakira beristirahat.
Sementara itu. Daffin duduk di samping Wina. Dia memilih tidur sambil duduk meski pikirannya berkecamuk marah jika mengingat ucapan Kennedy yang seolah tak mau melihat lagi Daffin.
Keesokan harinya. Kakek Ilyas datang dan memberikan tiket pesawat untuk Wina. Shakira masih memeluk erat Wina. Rasanya berat berjauhan dengan sang ibu.
Ini saatnya Wina berangkat ke Singapura bersama Kakek Ilyas dan perawat pribadi Wina yang ditunjuk oleh Daffin untuk menemani Wina selama di Singapura bersama Kakek Ilyas.
"Semoga Ibu cepat sembuh," ucap Shakira sambil meremas punggung tangan sang ibu, lalu menciuum telapak tangan Wina.
"Terima kasih, Shakira. Terima kasih, Daffin. Jaga anak saya baik-baik," urai Wina sembari melirik kepada Daffin.
Kemudian perawat pribadi Wina mendorong kursi roda Wina. Kakek Ilyas pun mengekori dari belakang, sedangkan Shakira dan Daffin bergeming di tempat, mereka di lobby rumah sakit sambil menatap mobil Kakek Ilyas yang membawa Wina.
Mobil Kakek Ilyas menghilang dari pandangan mereka berdua. Lalu Daffin pun mengusap air mata Shakira. Lelaki itu mengajak Shakira untuk pulang.
"Mulai besok kamu latihan berjalan. Saya akan memanggil dokter pribadi untukmu," ucap Daffin.
"Mas, nggak usah."
"Kamu keluar negeri tak mau. Jadi izinkan saya untuk memberikan yang terbaik agar kamu cepat sembuh," tukas Daffin sambil membopong tubuh Shakira masuk ke dalam mobil berwarna hitam.
"Jalan, Pak," ucap Daffin singkat. Setelah dia dan Shakira duduk di belakang.
Maka mobil yang membawa keduanya pun mulai membelah kemacetan jalan raya yang padat merayap. Gedung-gedung tinggi pencakar langit menghiasi pemandangan Daffin. Sesekali sudut mata Daffin melirik ke arah ponselnya karena suara pesan dan dering ponsel berbunyi nyaring memekak telinga.
"Siapa, Mas?" tanya Shakira.
"Ini dari sekretaris. Saya sudah beberapa hari ini tak masuk ke kantor," balas Daffin sembari menaruh kembali ponselnya dan dimasukkan ke dalam saku.
Shakira terdiam sejenak dan menatap nyalang kepada Daffin. Entah kenapa ada rasa curiga bertengger di benaknya melihat sikap Daffin yang sangat aneh? Dari awal Daffin meminta Shakira agar berobat di Singapura. Makanya wanita itu memalingkan wajahnya dan tak mau melihat wajah Daffin.
Perjalanan memakan waktu hampir satu jam. Tiba di rumah. Shakira diam membisu benar-benar tak mau membuka percakapan. Meskipun, Daffin mengajaknya mengobrol. Wanita itu hanya menggeleng dan mengangguk perlahan.
Tiba di tempat tidur. Saat Daffin merebahkan Shakira di kasur dan kaki si wanita itu diselonjorkan. Lalu Daffin memijat-mijat kaki Shakira.
"Mau makan apa?"
Hening.
Tak ada respon dari Shakira. Membuat kedua alis Daffin mengerutkan dahi karena sedari tadi tak ada jawaban dari Shakira.
"Kamu kenapa?" tanya Daffin sambil mengusap kaki Shakira.
"Mas, nggak ke kantor?" jawab Shakira ketus.
"Sebentar lagi. Saya tunggu perawat yang akan mengurusimu."
Tak berselang lama. Suara bel berbunyi nyaring. Lekas Daffin berdiri dan beranjak keluar dari kamar. Lelaki itu melangkah lebar lalu membuka pintu. Betapa terkejutnya saat dia melihat siluet tubuh wanita berambut cokelat melempar senyum kepadanya.
"Daffin!" seru wanita itu sembari tersenyum tipis.
"Nadeera? Kamu ke sini mau apa?" tanya Daffin datar.
"Tunggu. Aku mendapatkan pekerjaan. Katanya di sini membutuhkan dokter pribadi. Saya dikirim datang ke sini dari rumah sakit Mitra," jawab Nadeera seraya menunjukkan surat tugasnya kepada Daffin yang dia keluarkan dari tas.
"Kamu dokter?" Daffin terbelalak.
"Iya dan siapa yang harus saya jaga?" Nadeera antusias 45.
Daffin berdiri bergeming. Lalu dia pun mempersilakan Nadeera masuk ke dalam. Daffin menceritakan riwayat Shakira sebabnya lumpuh sementara itu karena kecelakaan. Nadeera pun menyimak cerita Daffin dengan sangat baik. Bahkan, wanita itu membuat Daffin sedikit grogi dan gugup karena tatapan Nadeera membuat Daffin merasa tak tenang.
"Istrimu mana?" tanya Nadeera.
"Mari ikuti saya."
Nadeera menguntit dari belakang mengikuti Daffin sampai di kamar Shakira.
Sementara Shakira menatap lekat Nadeera yang masuk bersama Daffin. Wanita itu pun langsung mengusir Nadeera.
"Pergi, kenapa dia ada di sini?" tanya Shakira ketus.
"Aku tak mau dia," lanjutnya mengomel.
"Tenang, Shakira. Saya datang ke sini untuk menolongmu. Supaya kamu cepat berjalan," jawab Nadeera sambil melempar senyum dan dia duduk tepi ranjang serta tangannya terulur ingin bersalaman dengan Shakira.
Namun, Shakira tak mau terima uluran tangan Nadeera. Bahkan, wanita itu masih memalingkan wajahnya, tak mau melihat Nadeera.
"Mas, cepat bawa dia pergi!" sentak Shakira.
"Shakira, saya benar-benar meminta maaf. Saya akan menembus kesalahan masa lalu," balas Nadeera sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dadaa, memohon.
"Mas, biarkan aku sendiri."
Daffin tertegun sejenak. Sejurus kemudian dia berucap, "Nadeera, lebih baik kamu pergi dulu dari sini. Nanti saya akan hubungimu lagi."
"Saya beneran tak tahu. Kalau yang bernama Daffin itu adalah kamu. Saya tak bermaksud untuk membuka luka Shakira," seloroh Nadeera.
"Oh, ini maksudnya? Mas, panggil perawat itu karena kalian mau menjadi dekat gitu."
Nadeera langsung undur diri. Dia pun merasa tak enak karena melihat Daffin dan Shakira ribut.
Lelaki berhidung bangir itu pun menutup pintu dan kepalanya mengantuk di daun pintu. Bayangan masa lalu, seakan membayanginya, tetapi lekas dia tepis.
Tukai kakinya mengayun lebar menuju kamar. Namun, tiba di dalam kamar. Shakira mengusirnya.
"Baiklah, saya mau ke kantor. Kamu tak apa-apa 'kan di rumah sendirian?"
"Aku bisa."
"Beneran bisa. Kalau begitu saya panggil mbak Lisa untuk menemanimu.
"Mas, jangan. Mbak Lisa datang ke sini jauh sekali."
"Daripada kamu sendirian dan kamu pun tak mau dijagain oleh Nadeera," tandas Daffin berdengkus kesal. Tak paham jalan pikiran Shakira yang kali ini lebih banyak marah.
"Pergiiii!" usir Shakira sambil melempar bantal ke arah Daffin.
Spontan Daffin terkesiap. Tak menyangka Shakira akan mendadak marah seperti itu pasca bertemu Nadeera. Lelaki itu pun lekas beranjak keluar dari kamar singgasana mereka.
"Kamu kenapa, Shakira?" gumam Daffin sambil melangkah lebar menuju keluar rumah. Dia kali ini membutuhkan ketenangan. Daffin sengaja membawa motor dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Masalah dengan Kennedy seperti menghiasi benak pikiran Daffin. Dia pun dilema karena diminta Kakek Ilyas agar datang menghadiri rapat kolega pertemuan dengan orang-orang penting.
"Apa yang harus saya lakukan? Apakah harus datang? Sedangkan ayah tak mau melihat wajah saya," lirih Daffin masih sambil terus melajukan motornya.
Tiba-tiba motor Daffin mendadak berhenti. Saat siluet wanita menghentikannya tiba-tiba.
"Tolooong, Kak," ucap wanita itu sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dadaa.
"Camelia, ada apa?" Daffin segera turun dari motor. Dia pun segera merangkul bahu Camelia yang terlihat tampak ketakutan sekali. Tubuh wanita itu bergemetaran dan giginya gemeletuk bukan karena kedinginan.
"Ada apa, Camelia?" Daffin pun meraup bingkai wajah sang adik yang pucat pasi.
"Kak," lirih Camelia sambil memeluk tubuh Daffin dan menangis terisak.