Shakira duduk tertegun dengan berderai air mata luruh membasahi pipinya. Sepanjang malam. Dia menunggu Wina bahkan tangannya terus memegangi tangan Wina. Sementara Daffin yang duduk di sofa pun sama tak tidur. Dia juga khawatir dengan keadaan Wina.
"Kita harus bawa dia ke luar negeri. Pengobatan di sana lebih bagus daripada di sini," ujar Daffin.
"Tapi, Mas. Kita punya uang dari mana?" tanya Shakira melirik ke arah Daffin.
"Saya punya uang," jawab Daffin melempar senyum. Lalu dia memangkas jarak mendekati Shakira. Daffin menyeka air mata Shakira. "Jangan menangis terus."
"Terus bagaimana keadaan ibumu?" Todong tanya Shakira.
Spontan Daffin terdiam membisu mencerna pertanyaan Shakira. Dia hanya mengendikkan bahunya.
"Jadi Mas belum melihat Ibu Risma?"
Daffin mengangguk pelan. Ada gemuruh benci menghiasi ruang hatinya kala mengingat sikap Kennedy dan Arwana yang selalu meremehkannya. Pertanyaan Shakira menggiring Daffin mengingat kejadian semalam.
Pertemuan yang tak di sengaja. Daffin yang mengantarkan Wina ke ruang gawat darurat berpapasan dengan Kennedy dan Arwana yang masih berdiri bergeming di depan ruangan UGD.
"Mau apa kamu ke sini? Tak ada yang memberitahumu," cetus Kennedy datar dengan tatapan menajam.
"Saya mau mengantar mertua saya," jawab Daffin tegas.
Tak berselang lama. Datang beberapa medis langsung menangani Wina masuk ke dalam ruang UGD, sedangkan Daffin harus menghadapi Kennedy dan Arwana yang menatapnya nyalang seolah-olah tak suka dengan kedatangan Daffin di rumah sakit.
"Pergi dari sini!" usir Kennedy.
"Ayah, ini rumah sakit umum. Semua orang bisa saja datang ke sini."
"Tapi, kamu orang miskin. Apa kamu punya biaya untuk mengobati mertuamu itu? Ini rumah sakit untuk kelas atas," ketus Kennedy sambil membusungkan dadaanya, sombong sekali, dan menganggap Daffin rendah.
"Terserah, Ayah. Saya berhak membawa mertua saya ke mana pun," timpal Daffin tenang dan tersenyum getir.
Tak berselang lama. Risma dalam keadaan tergeletak di brankar didorong oleh beberapa perawat. Tampak wajahnya pucat.
"Ayah, kita harus pergi dari sini. Bawa Ibu." Arwana melirik ke arah Risma yang hendak dipindahkan ke ruang inap.
Spontan Daffin menghambur hendak melihat keadaan sang ibu. Akan tetapi, langsung dihalangi oleh Kennedy.
"Jangan sentuh dia."
"Kenapa dengan Ibu?" tanya Daffin melirik sekilas ke arah sang ibu yang dalam keadaan tak sadar. Lalu dia kembali menatap lekat wajah Kennedy yang tampak ada raut geram.
"Kamu tak usah tahu. Saya bisa memberikan pengobatan yang bagus. Urusi saja istrimu yang lumpuh itu!" bentak Kennedy sambil menunjuk ke arah Shakira yang baru datang bersama Kakek Ilyas.
Wanita itu pun menunduk sedih. Kakek Ilyas menatap nanar Daffin yang tampak tertekan oleh Kennedy dan Arwana. Bahkan, Risma sakit gara-gara Daffin itu yang dia cerna dari ucapan Kennedy.
"Kamu itu hanya membuat ibumu sakit saja. Dia tak mau makan sama sekali. Mikirin kamu! Bisa-bisanya kamu pilih anak pembantu itu daripada keluargamu sendiri!"
"Ayah, cukup! Saya nggak mau pulang ke rumah karena ucapan Ayah juga."
"Kau itu anak yang tak tahu diri!" Kennedy menarik kerah baju Daffin.
"Masa!" pekik Shakira.
Kennedy menoleh dan menatap nyalang kepada Shakira. Lalu dia melepaskan tangannya dari kerah Daffin dan berjalan mendekati Shakira yang duduk membeku menjadi penonton perdebatan anak dan ayah.
"Kamu! Iya, ini semua gara-gara kamu. Harusnya Daffin dapat melanjutkan bisnis saya. Tapi, dia lebih baik menjadi tukang gojeg."
"Ayah! Cukup!" sentak Daffin langsung berlari kecil dan menghambur mendekati Shakira.
"Arwana, jangan biarkan orang miskin ini menginjakkan kakinya di kamar ruang ibumu," ketus Kennedy sambil balik badan dan beranjak melangkah lebar mendekati Arwana. Lalu mereka berdua pun meninggalkan Daffin, Shakira, dan Kakek Ilyas.
Suasana menjadi hening sejenak.
"Mas, ini gara-gara aku," ucap Shakira.
"Ini bukan karena kamu. Memang ayah sikapnya sombong tak pernah menghargai perasaan orang," balas Daffin tersenyum getir.
"Mas," lirih Shakira berbisik.
Suara Shakira membuyarkan lamunan Daffin. Spontan dapat membuat Daffin kembali ke dunia nyata. Dia pun buru-buru mengusap titik air mata yang hampir saja turun dari kelopak matanya. Ingin bertemu dengan Risma, tetapi dilarang oleh Kennedy.
"Eh, iya."
"Mas, Kakek Ilyas datang."
Lelaki berhidung bangir itu menoleh dan tampak Kakek Ilyas membawa makanan sembari tersenyum tipis.
"Saya tahu. Kalian pasti belum makan. Ini sarapan dulu." Kakek Ilyas menaruh dua kotak nasi di meja.
"Terima kasih, Kek," balas Daffin melangkah lebar mendekati.
Lantas Daffin mengungkapkan keinginannya yang ingin membawa anak dan mertuanya ke luar negeri untuk berobat. Namun, Kakek Ilyas tak setuju karena di perusahaan tak ada yang memimpin.
Suasana menjadi hening dan tegang. Kakek Ilyas menatap nanar Daffin yang tampak depresi.
"Daffin, bukannya Kakek tak mau kamu ke luar negeri. Tapi, kita baru merangkak. Lalu tiba-tiba kamu pergi begitu saja. Lebih baik saya yang pergi ke Singapura dan saya bisa bawa beberapa perawat atau kamu bisa bawa dokter pribadi untuk Shakira dibawa ke sana."
Daffin tertegun sejenak. Dia menunduk dan tangannya meremas-remas buku-buku jarinya sendiri. Lalu melirik ke arah Shakira yang masih setia duduk di samping Wina.
"Shakira," lirih Wina sambil membuka matanya perlahan-lahan.
"Ibu," ucap Shakira sumringah melihat Wina sudah bangun.
Pukul sepuluh malam. Derap langkah Daffin terdengar di koridor rumah sakit. Tatapannya sayu dan sesekali melirik ke kiri dan ke kanan. Memastikan bahwa hari ini tak ada Kennedy maupun Arwana yang menjaga Risma.
Tiba di depan ruang inap Risma. Daffin berhenti dan mengintip dari kaca bulat yang menempel di pintu. Kosong. Iya, di sana tak ada siapa pun. Sontak Daffin terbelalak dan langsung masuk ke dalam ruangan itu.
"Ibu!"
"Ibu, di mana?"
"Daffin?" Suara lembut itu membuat Daffin merasa tenang. Dia pun menoleh ke belakang. Tampak Camelia dan Risma berdiri di depan pintu kamar mandi. Ternyata tadi Camelia mengantar Risma ke kamar mandi sambil memegangi tiang infusan.
"Kakak, ngapain ke sini?" cetus Camelia judes.
"Saya mau jenguk, Ibu. Maafkan, saya baru jenguk, Bu," balas Daffin langsung merangkul tubuh Risma.
"Nak, kamu ke mana saja?" Risma mengukir senyum manis dan membelai lembut rambut Daffin. Sikap Risma penyayang seakan masih menganggap Daffin seperti anak kecil.
Camelia mendorong Daffin. "Kakak, nggak boleh di sini. Nanti Ayah marah."
"Camelia, please. Izinkan saya di sini semalam jaga Ibu," pinta Daffin sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dadaa.
"Ibu tak apa-apa," sahut Risma sambil meraup wajah Daffin.
"Ibu sakit apa?" Daffin menuntun sang ibu kembali ke ranjang pasien.
"Nggak apa-apa. Cuma kecapean."
"Ibu bohong. Dia jarang makan dan mikirin Kakak terus," timpal Camelia tegas dan di sana terdengar ada kecemburuan karena Risma masih menaruh perhatian terhadap Daffin yang jelas-jelas sudah mempermalukan keluarga.
Risma berdeham dan menggelengkan kepalanya. Dia berusaha memalingkan wajahnya saat Daffin melontarkan banyak pertanyaan tentang kondisi kesehatannya.
"Bu, jawab. Sebenarnya sakit apa?"
"Nak, Ibu mau kamu berdamai dengan ayahmu."
"Ayah yang sudah tak menganggap saya itu adalah anaknya," protes Daffin.
"Kamu tahu watak ayahmu keras. Harap dimaklumi. Jangan diambil ke hati."
"Jangan banyak pikiran, Bu. Saya ke sini mau memberikan kabar gembira," seloroh Daffin.
"Apa?" Risma menatap lamat-lamat Daffin.
"Saya sudah bekerja di kantor sebagai CEO."
"Ihk, gitu doang. Bangga, udah punya apa emangnya?" sindir Camelia mendelik.
"Jaga ucapanmu, Camelia!" sentak Risma memelotot. Lalu dia langsung merengkuh tubuh Daffin. Ibu mana yang tak bahagia jika melihat anaknya pun bahagia.
"Apa-apaan ini?!" Terdengar suara bariton membuat Daffin terhenyak dan tercengang. Dia langsung berdiri dan melepaskan pelukannya dengan Risma.
Kennedy berderap mendekati Daffin sembari mengepalkan kedua tangannya.
Brughh!
"Jangaaaan!" pekik Risma.
Lelaki separuh baya itu langsung memukul perut Daffin berulangkali dan itu membuat Daffin terhubung hampir saja jatuh limbung. Dia meringis kesakitan sambil memegangi perut. Kennedy kembali melayangkan tinju ke arah wajah Daffin.
"Anak durhakaa, miskin. Kamu tak pantas di sini! Sudah saya jelaskan jangan tunjukkan batang hidungmu di depan keluarga Kennedy Meyles!" sentak Kennedy dengan sorot mata tajam.
"Hentikan!" Risma berusaha turun dari ranjang. Namun, Camelia menahan seraya mengapit lengan Risma agar tak bisa turun.
"Bu, tenang," bisiknya.
Daffin tertegun dan tak sanggup melihat wajah Kennedy.
"Pergii dari sini!" usir Kennedy.
"Stop!!" pekik Risma memelotot kepada Kennedy.