Itu Anak Siapa?

1533 Kata
Daffin merasa jika orang tersebut benar-benar membutuhkan pertolongan. Sepuluh detik di sana tak ada hal yang mencurigakan. Lalu dia pun bergegas membawa lelaki itu berambut putih masih terpejam dan tubuhnya panas. Sepanjang jalan. Daffin membopong lelaki tersebut menuju ke klinik terdekat. Tiba di klinik. Lelaki itu pun segera mendapatkan pertolongan dari tim medis. Daffin menunggu di depan ruang pemeriksaan. Setidaknya dia dapat menghela napas lega saat dokter yang menangani lelaki misterius itu keluar melempar senyum kepadanya. "Bagaimana, Dok?" "Dia mengalami dehidrasi dan meringis lapar." "Oh, kalau begitu saya beli makanan dulu," tukas Daffin langsung balik badan, dia berjalan terburu-buru beranjak pergi. Untungnya di depan klinik itu ada warung makan sederhana. Usai membeli makanan. Daffin masuk ke ruang lelaki berambut putih itu yang sudah sadar dengan sangat ramah Daffin menyodorkan makanan yang sudah ditaruh di piring. "Terima kasih," ucap lelaki berambut putih mengulum senyum tipis. "Sama-sama, Pak. Saya Daffin." "Panggil saya kakek Ilyas." "Kakek Ilyas, kenapa ada di jalan?" tanya Daffin sambil terus menyuapi. "Saya tak punya rumah. Hanya berselimut langit dan beralas bumi." Kakek Ilyas mulai menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Dia beralasan diusir oleh keluarganya ditaruh di yayasan jompo. Namun, kakek Ilyas tak mau tinggal di yayasan jompo. Itu seakan-akan dibuang secara halus karena sudah hampir satu tahun tinggal di sana. Keluarganya tak kunjung menjenguk. "Jadi saya pergi saja dan mencari keluarga saya," seloroh kakek Ilyas melanjutkan ceritanya. "Dan Kakek Ilyas seperti ini di jalanan tanpa rumah. Lebih baik tinggal bersama saya saja," tawar Daffin yang terenyuh mendengar cerita kakek Ilyas. Tangannya terulur menggenggam punggung tangan yang sudah keriput. Kakek Ilyas yang seharusnya menikmati masa tuanya dengan baik. Ini justru terlantar di jalanan sebagai pemulung botol mineral bekas dijual ke pengepul barang-barang bekas yang dapat didaur ulang. Daffin tak tega melihat kakek itu tinggal di jalanan. Lalu dia pun mengajak kakek Ilyas untuk pulang ke rumah. Setelah melakukan p********n pengobatan kakek Ilyas. Lantas Daffin menuntun kakek Ilyas keluar dari klinik. Niat baik Daffin diterima dengan senang hati oleh lelaki berambut putih tersebut. Tampak wajahnya sumringah sekali. * Kedatangan kakek Ilyas pun disambut hangat oleh Shakira dan Wina. Mereka mempersilakan kakek itu untuk tinggal bersama mereka. Setelah mereka berdua mencerna cerita dari Daffin. "Saya sangat berterima kasih sekali pada Daffin dan keluarganya yang mau menerima saya tinggal di sini. Apakah ada yang harus saya kerjakan? Misalnya mengurus tanaman hias yang ada di depan." "Kakek, tak usah ngapain-ngapain. Itu tanaman hias urusan saya," sambung Wina sembari melempar senyum. Lalu Daffin menunjukkan kamar untuk Kakek Ilyas seraya berkata, "Semoga Kakek Ilyas betah tinggal di sini." Mata kakek Ilyas berbinar. Bahkan, dia langsung merengkuh tubuh Daffin. "Terima kasih, Nak. Harus dengan cara apa saya menebus kebaikanmu." "Saya melihat Kakek seperti kakek saya," jawab Daffin yang tiba-tiba tebersit bayangan sang kakek berada di benaknya. Kemudian kakek Ilyas mengurai pelukannya dan Daffin undur diri beranjak keluar dari kamar mempersilakan kakek Ilyas untuk beristirahat. Kakek Ilyas selama tinggal di rumah Daffin. Dia sangat sumringah dan mendapatkan keluarga yang diharapkan olehnya. Apalagi Wina sangat baik dan sangat pintar memasak selalu bisa membuat Kakek Ilyas tambah makan hingga dua kali. Hidup bersama di lingkungan keluarga Daffin. Kakek Ilyas menganggap Daffin sebagai cucunya dan Wina sebagai anaknya. Apalagi Daffin sosok pekerja keras dan penyayang. Kakek Ilyas kagum dengan kegigihan Daffin yang penuh cinta dan kasih sayang serta tulus untuk menafkahi keluarga. Setiap hari siang dan malam Daffin bekerja. * Dua bulan berlalu. Tak terasa hari-hari bergulir cepat. Setiap pagi Shakira pasti merasakan mual dan Daffin mengkhawatirkan keadaan sang istri. Seperti pagi ini, Shakira muntah-muntah dan selalu mengeluh pusing serta badannya lemas. Daffin pun mengajak Shakira karena khawatir usai mereka sarapan bersama. "Hati-hati," ucap Wina dan Kakek Ilyas bersamaan mengucapkan kalimat yang sama. Mereka berdua berdiri di teras rumah sambil melambaikan tangan kepada Shakira dan Daffin. "Kalian mau jalan kaki saja? Tak naik taksi?" tanya Wina yang tiba-tiba melangkah lebar mendekati Daffin yang baru membuka pintu pagar. "Kita ke klinik terdekat saja. Masih bisa ditempuh jalan kaki. Itung-itung jalan-jalan pagi," jawab Daffin seraya tersenyum simpul. "Iya, Bu. Lagian aku sudah lama tak jalan-jalan pagi. Semenjak Mas Daffin sibuk," sindir Shakira. Terlihat sekali raut wajah wanita itu ingin dimanja. Lalu tangan Daffin terulur mencubit pipi sang istri, menggemaskan seolah-olah mencubit squishy. Lantas Daffin mendorong kursi roda Shakira mulai melanjutkan perjalanan, sedangkan Wina berdiri seraya mengulas senyum tipis. Melihat keharmonisan rumah tangga Daffin dan Shakira. Tiba di klinik. Usai melakukan pendaftaran. Lalu Shakira pun dipanggil masuk. Daffin mendorong kursi roda Shakira masuk ke dalam. Daffin harap-harap cemas saat dokter sedang periksa keadaan Shakira. Raut wajahnya tegang dan menatap nanar sang istri yang kini duduk usai diperiksa. "Wah, selamat. Istri Bapak hamil baru empat Minggu," ucap dokter itu sembari menyodorkan tangannya. Memberikan ucapan selamat kepada Daffin. Shakira pun mengukir senyum manis dan tampak sumringah, tetapi sebaliknya Daffin seperti tersambar petir. Dia terhenyak dan terkesiap diam seribu bahasa saat mendengar kenyataan bahwa Shakira hamil. "Mas, aku hamil," ucap Shakira. Dokter pun memberikan obat penguat kandungan serta vitamin untuk Shakira. Kehamilan ini membuat Shakira tampak bahagia. Dia yang kini duduk di kursi roda di samping Daffin sesekali tangannya mengusap perutnya sendiri dan melirik kepada Daffin. "Jaga baik-baik. Selamat menjadi ibu," ucap dokter. "Terima kasih, Dok," jawab Shakira. Namun, ekpresi Daffin tak mencerminkan kebahagiaan. Lelaki itu bangkit berdiri dan mendorong kursi roda sang istri beranjak keluar dari ruangan pemeriksaan. Shakira mendongak menatap nanar Daffin. "Mas, kenapa? Diam terus sedari tadi." Benar-benar diam membisu tak mau menjawab pertanyaan Shakira. Wanita itu pun mengerutkan dahinya keheranan melihat perubahan Daffin yang mendadak dingin. "Mas, ada apa?" Sekali lagi Shakira melontarkan pertanyaan. Daffin terus mendorong tanpa menjawab. Shakira pun membuang napas panjang. Dia terdiam sejenak seakan mengumpulkan keberanian untuk menyusun kalimat demi kalimat yang akan dia tuturkan. "Mas, tak mau punya anak, yah?" tanya Shakira memancing sang suami agar berbicara. Hening. Sepanjang jalan. Daffin masih diam membisu. Pandangannya kosong sambil mendorong kursi roda Shakira, sedangkan Shakira meremas-remas buku-buku jarinya sendiri yang tak paham dengan diamnya Daffin sungguh menyakiti hatinya. Bahkan, pertanyaannya pun tak mendapatkan jawaban dari Daffin. Semakin besar tanda tanya bertengger di benak Shakira. "Mas, ada apa ini? Kenapa jadi diam begini? Apakah aku salah?" tanya Shakira terdengar suaranya panik dan bergemetar. Tangannya pun menyentuh tangan Daffin yang sedang memegangi pegangan kursi rodanya. Shakira terkejut saat Daffin menepis tangannya dan tatapan lelaki itu lurus tanpa mau melihat wajah Shakira. "Mas, jawab." Namun, Daffin tetap diam. Sampai rumah, lalu lelaki tersebut membopong Shakira ke kamar. Di tengah jalan, Wina dan Kakek Ilyas yang sedang menonton televisi. Spontan tercengang saat melihat raut wajah keduanya asam dan cemberut. "Kalian kenapa?" tegur Wina. "Tak apa-apa, Bu," balas Shakira menyembunyikan masalahnya. Dia pun melempar senyum baik-baik saja. Daffin melanjutkan langkahnya yang masih membopong tubuh sang istri---menuju kamar. Tangan Shakira melingkar di leher Daffin. Wina pun menguntit dari belakang. "Bagaimana pemeriksaannya?" tanyanya. Saat Daffin merebahkan tubuh Shakira. Lelaki itu akhirnya membuka pembicaraan. "Anak siapa itu?" tanyanya lirih. "Mas, kenapa tanya seperti itu? Ini anak kita?" Balik tanya Shakira yang terkejut mendengar pertanyaan Daffin yang memojokkan dirinya. Dia pun meraih tangan Daffin yang hendak meninggalkan dirinya. "Tunggu, Mas. Kenapa bertanya seperti itu?" Wina tertegun berdiri bergeming di ambang pintu kamar. Dia menyimak percakapan Shakira dan Daffin. "Harusnya kamu bahagia melihat Shakira hamil," tukasnya menyambung ikut perdebatan Daffin dan Shakira. Lelaki jangkung itu pun menoleh ke belakang. Rahangnya mengeras dan sorot matanya menajam. Seakan melempar busur panah tepat ke bola mata mertuanya setelah mendengar ucapan Wina. "Bukankah rumah tangga itu harus ada anak sebagai pelengkap. Lantas kenapa kamu tak suka adanya anak?" cerocos Wina sambil masuk memangkas jarak mendekati Shakira yang duduk di atas kasur. "Apakah yakin kalau itu adalah anak saya?" hardik Daffin tegas. Shakira pun terbelalak dan air matanya mengalir deras berlomba-lomba keluar dari pelupuk matanya. "Apa karena kita miskin Mas jadi nggak mau punya anak? Apa karena obsesi Mas mau kaya sampai tak peduli kalau kita harus punya anak?" seloroh Shakira panjang lebar. Dia protes karena merasa kehamilannya tak dianggap. "Kerja terus. Kaya nggak?!" bentak Wina yang kesal karena ucapan Daffin seolah menganggap Shakira itu berselingkuh dengan lelaki lain. Sorot mata Daffin tajam. Dia mengepalkan kedua tangannya. Ingin rasanya langsung balik kanan dan meninggalkan ruangan itu. Namun, ada dorongan dalam dirinya untuk mencari kebenaran. "Kenapa diam? Benarkan kamu itu gila kerja. Tanpa memperhatikan kondisi Shakira," cetus Wina sambil mengusap puncak kepala Shakira. Lalu Wina mengusap air mata Shakira yang luruh. "Apa karena aku lumpuh jadi Mas nggak percaya kalau aku tak pantas menjadi ibu?" tanya Shakira. Ucapan Shakira seperti menikam jantung Daffin. Lelaki itu pun memalingkan wajahnya. Tak mau melihat wajah Shakira. Kemudian dia lekas balik badan dan beranjak pergi meninggalkan Shakira dan Wina. Tukai kaki Daffin melangkah menuju teras rumah. Dia duduk sambil mengacak-acak rambut sendiri. Bola matanya sayu dan tertegun sambil merogoh kotak rokoknya. Baru saja dia mau menyalakan batang rokok. Tangan Kakek Ilyas mendarat di bahu. Spontan Daffin menoleh dan tersenyum tipis. "Kakek." "Sebenarnya ada apa? Maaf tadi saya menguping pembicaraan kalian," jawabnya sambil duduk di samping Daffin. "Shakira hamil," balas Daffin singkat dan jelas. Tak tampak ada raut kebahagiaan di wajah lelaki itu. "Baguslah, lantas kenapa kamu sedih?" Todong pertanyaan dari Kakek Ilyas yang merasa aneh melihat Daffin yang seperti orang depresi. Tampak kacau tak ada senyum sumringah yang terbit dari bibir Daffin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN