"Kau lantaaaang, Daffin!" sentak Kennedy menampar pipi Daffin.
Daffin tersenyum lebar. Dia bersikap tenang. Meskipun, tamparan Kennedy mendarat di pipinya. Daffin membopong Shakira masuk ke dalam rumah dan juga meminta agar Wina pun masuk ke dalam rumah.
Kennedy dan Desi merasa tak dianggap berada di sana. Saling melempar pandangan karena Daffin tak mengindahkan ucapan Kennedy. Iya, Daffin memilih bertahan di rumah itu. Meskipun, sang ayah mengusirnya dan memakinya.
Pintu ditutup rapat oleh Daffin. Usai dia menaruh Shakira ke dalam kamar. Sebelum menutup pintu. Daffin menyorot tajam kepada Kennedy seraya berkata, "Silakan pergi. Ini rumah mertua saya. Dan Anda tak bisa mengusir kami!"
"Daffin, lancang kamu!" bentak Kennedy. Lalu dia pun berbalik badan merasa kecewa karena dengan apa yang dilakukan oleh Daffin seakan-akan merendahkan harga diri seorang Kennedy.
Kennedy pun masuk ke dalam mobil dan meminta supir pribadinya agar cepat meninggalkan rumah Daffin. Sementara itu Desi masih bergeming berdiri menatap tajam ke arah rumah Daffin. Lalu tangannya terulur merogoh ponsel yang ada di dalam tas. Dia hanya ingin memastikan saja jika rumah itu memang sudah menjadi milik Wina.
"Halo, aku mau bicara. Apakah rumahmu dijual kepada mertuaku?"
"Kamu mau mencari kebenaran apalagi?" tanya Daffin yang tiba-tiba datang sudah berdiri di depan Desi dan mendengarkan pembicaraan Desi.
Tanpa sepengetahuan Desi. Daffin keluar rumah dan berhasil membuat jantung Desi seolah mencelos dari tempatnya. Wanita itu pun segera menutup teleponnya dan memicingkan mata.
"Kamu nguping?"
"Sudah saya jelaskan bahwa ini rumah milik mertua saya dan Ibu yang berikan ini sebagai hadiah kesetiaannya. Jadi jangan buat ini menjadi runyam," urai Daffin. Lalu dia berjalan melewati Desi begitu saja. Ini waktunya dia berangkat dinas untuk bekerja. Makanya Daffin tak mau lama-lama berbicara dengan Desi.
Mencerna ucapan Daffin. Membuat Desi berdengkus kesal. Dia pun bergegas masuk ke dalam mobil.
"Sial, enak sekali diberikan rumah," protes Desi sambil menyetir meninggalkan rumah Daffin.
Desi mengulum senyum tipis saat melihat sosok Daffin sedang berjalan. Lalu dia pun dengan sengaja mempercepat mobil dan juga sengaja agar genangan air yang ada di jalan menciprat ke baju Daffin yang tepat berjalan di trotoar.
Air genangan hujan sisa semalam itu kini menghiasi baju dan celana Daffin. Iya. Lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa selain diam karena mobil Desi sudah menjauh dari pandangannya.
Daffin hanya bisa mengelus dadaanya. Kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat di mana dia sedang mencari uang untuk menafkahi Shakira. Mau marah percuma karena Desi tak ada di depannya.
Kabar Risma membeli rumah memang sudah sampai di telinga Kennedy. Bahkan lelaki itu marah kepada Risma karena telah memberikan rumah untuk keluarga Wina.
Namun, Risma tetap tenang duduk sambil menatap lekat Kennedy yang saat ini masih marah-marah. "Kamu itu ngapain beliin rumah untuk Wina?!"
"Sudahlah, kamu apa tak capek marah-marah terus? Nanti darahmu tinggi."
"Saya nggak peduli!" tukas Kennedy.
"Itu sudah menjadi hak Wina. Jadi jangan ganggu mereka." Risma mengingatkan.
"Apa? Harus seperti itu kamu memberikan hadiah mewah, saya pantau kamu dari orang-orang yang memataimu," protes Kennedy.
Risma menutup telinganya. Dia tak menyangka bahwa memberikan rumah kepada Wina akan nyaris rumah tangganya berantakan.
"Ada Daffin juga tinggal di sana. Apa kamu tega membiarkan anak kita miskin tak punya rumah?" tandas Risma.
"Dia lelaki. Bisa cari uang. Jangan terlalu manjakan Daffin," keluh Kennedy. Lalu dia pun beranjak pergi meninggalkan Risma yang terduduk membeku.
Tak berselang lama. Arwana pun datang bersama Desi. Lelaki itu tiba-tiba protes karena mendengar cerita Desi dengan apa yang dilihatnya dan didengar tadi pagi.
"Bu, kenapa berikan rumah untuk Daffin?"
"Kamu saja halnya dengan ayahmu. Egois," ucap Risma bangkit berdiri dan berjalan gontai tanpa mengindahkan panggilan dan ucapan Arwana yang iri kepada Daffin karena mendapatkan rumah.
"Enak banget, si Daffin. Udah keluar dari rumah ini. Tetap diperhatikan oleh Ibu," imbuh Arwana menyindir dengan kasih sayang Risma.
"Dia itu kakakmu. Hormati dia," tukas Risma mengingatkan kepada Arwana.
Lantas Risma bergegas meninggalkan Arwana dan Desi yang berdiri di tengah ruangan keluarga. Lelaki itu mengepalkan tangannya karena tak terima jika Daffin mendapatkan rumah cuma-cuma dari sang ibu.
"Daffin itu sebenarnya mau apa, sih? Awalnya minta rumah nanti minta hotel," hasut Desi berbisik lirih mendekatkan bibirnya ke telinga Arwana. Wanita itu memang benar menyulut emosi Arwana.
Tampak sekali jika raut wajah Arwana marah dan dia pun balik badan meninggalkan rumah dengan diikuti oleh Desi, sedangkan Kennedy duduk tertegun sejenak di ruang kerja. Tatapannya menajam ke arah laptop yang menampilkan barisan gigi putihnya Daffin saat dia berdiri memakai toga wisuda.
"Daffin, kenapa kamu sia-sia 'kan kepintaranmu hanya menjadi tukang ojeg?" lirih Kennedy sambil mengusap gambar yang ada di layar laptop.
Menjelang sore. Di rumah tingkat dua yang menjadi tempat kerja Daffin dari pagi. Kini tinggal tiga puluh persen lagi selesai, dia bersyukur menjadi bagian cara membuat membuat rumah. Daffin duduk selonjoran sambil menyesap es teh manis yang dipegangnya. Lalu menatap nanar uang yang ada di amplop putih.
"Wah, alhamdulillah. Kita gajian," ucap teman sebaya Daffin sambil menepuk pundak Daffin.
"Iya, saya mau beli obat untuk mertua," jawab Daffin sumringah sekali. Lalu dia bergegas memasukkan uangnya ke saku celana. Daffin pamit pulang terlebih dahulu karena berniat hendak pergi ke toko obat.
Daffin berjalan di trotoar dengan sumringah. Senja sudah berganti menjadi rembulan yang kini berada di atas kepala Daffin. Lelaki tersebut baru tiba di depan apotek.
Dia langsung membeli obat untuk Wina dan untuk Shakira. Daffin pun mengambil uang dari amplop putih. Saat melakukan transaksi p********n. Tiba-tiba amplop putih yang masih dipegang oleh Daffin ada seorang preman yang hendak merampasnya. Untungnya, Daffin langsung menangkis tangan lelaki itu.
"Pencuriii!" bentaknya.
Lelaki rambut kriwil dengan memakai jaket Levis dan celana panjang robek bagian lututnya. Mendadak gugup saat Daffin meneriakinya dengan sebutan maling. Lekas dia lari terbirit-b***t meninggalkan apotek.
Sementara itu Daffin segera mengamankannya uang gajiannya kembali ke dalam saku.
"Hati-hati di sini rawan maling dan preman pasarnya juga banyak," ucap pemilik toko apotek.
"Iya, Bu." Daffin mengukir senyum. Lalu dia undur diri pulang.
Saat di tengah perjalanan. Daffin yang memutuskan untuk berjalan kaki untuk menghemat uang. Lagipula jarak dari apotek ke rumahnya masih bisa ditempuh berjalan kaki tak begitu jauh. Dia menjinjing keresek putih yang berisi obat.
Namun, tukai kakinya mendadak berhenti. Saat melihat siluet tubuh lelaki yang tergerak. Daffin menatap nyalang kepada sosok yang terpejam itu seperti polisi tidur di tengah jalan.
Daffin beringsut mundur. Dia takut jika itu adalah jebakan. Daffin mengedarkan pandangannya berkeliling. Sunyi dan sepi tak ada seorang pun serta tak ada kendaraan yang lalu-lalang melintas.
"Siapa dia?" gumam Daffin.
Dalam pergulatan batin. Daffin ingin melanjutkan perjalanan karena saking penasarannya dengan apa yang dilihatnya di depannya adalah seorang lelaki berusia senja yang sedang terpejam.
"Lelaki misterius? Apakah dia salah satu teman lelaki yang tadi saya pukul," imbuh Daffin sambil berjalan perlahan-lahan mendekati lebih dekat lagi. Dia benar-benar ingin tahu.