"Beruntung sekali istri Anda cepat dibawa ke sini. Dia selamat. Saat ini mau kami pindahkan ke ruang inap," ujar dokter itu sembari tersenyum simpul.
"Dok, sesuai yang saya pinta, yah," seloroh Risma.
"Oh, baik, Bu."
"Jadi istri saya tak apa-apa. Dok?" Daffin terdengar sangat panik. Sesekali tangannya mengusap meremas rambutnya sendiri untuk menilimisir perasaan tegang.
"Tak apa-apa. Sudah melewati masa kritis." Lalu dokter itu pun pamit dan beranjak pergi meninggalkan Daffin dan Risma.
"Tuh, yang penting kamu tenang dulu," sambung Risma.
Daffin pun menoleh dan merengkuh tubuh sang ibu dengan erat sekali. "Bu, tahu dari mana saya di penjara?" tanyanya.
"Dari si bungsu. Makanya Ibu langsung tegur Arwana," jawab Risma mengulum senyum.
Kemudian keduanya berjalan bersisian menuju kamar di mana tempat Shakira dirawat.
Ketika tiba di dalam. Shakira masih tergeletak lemah. Pandangannya langsung berbinar saat melihat sosok lelaki yang dicintainya kini sudah berdiri di depan Shakira.
"Shakira," sapa Daffin.
"Mas," lirih Shakira.
Daffin lalu mengecup puncak kepala sang istri. "Kamu kenapa melakukan hal ini?"
"Aku takut Mas tak pulang-pulang," jawab Shakira parau.
"Saya ada di sini selalu bersamamu," balas Daffin sambil tersenyum lebar. Mereka berdua berpelukan dan Risma sangat bahagia melihat Daffin juga bahagia hidup bersama Shakira. Meskipun, dimusuhi oleh Kennedy tak membuat Daffin menyerah untuk menjalani hidup sebagai orang biasa saja tanpa harta yang berlimpah dimiliki oleh kedua orangtuanya.
Derit pintu terdengar. Tampak Wina masuk sembari melempar senyum kepada Shakira, Risma, dan Daffin.
"Ibu? Ada di sini?" tanya Shakira sambil melirik kepada Daffin. Dia terkejut melihat sang ibu yang sedang berdiri seolah-olah sedang tak sakit.
"Iya, Shakira. Ibu sudah mendingan dan nggak nyaman lama-lama di rumah sakit," keluh Wina sambil memangkas jarak mendekati Shakira.
"Ibu."
Wina pun memeluk Shakira. Hampir lima detik berpelukan. Lalu Wina mengurai pelukannya dan melirik kepada Daffin dan Risma.
"Ibu, kenapa bisa tahu aku ada di sini?"
"Daffin yang balas pesan Ibu. Pantas saja Daffin tak angkat telepon karena ponselmu di silent," jawab Wina sembari menatap sendu manik mata Shakira.
"Iya, Bu. Maaf," sambung Daffin yang tak menyadari bahwa ibu mertuanya menghubungi nomor telepon Shakira, sedangan ponsel Daffin teronggok di laci meja karena pasca Daffin di penjara. Ponsel lelaki itu dipegang oleh Shakira yang dititipkan melalui Lisa saat menjenguk Daffin.
Wina mendekati Risma. Mereka bertatapan dan keduanya saling berpelukan melepaskan rindu. Lolos kalimat permintaan maaf dari mulut Wina kepada Risma. Air mata Wina luruh membasahi pipinya sendiri yang tenggelam di pundak Risma lebih tepatnya mantan majikan.
"Bibi Wina, sehat?" tanya Risma sambil tersenyum manis.
"Sehat," jawab Wina singkat. Lalu mereka pun menguraikan pelukannya. Bahkan mereka asyik berbincang hangat di kursi.
Shakira dan Daffin melihat dua wanita itu yang sudah sekian lama tak bertemu saling melepaskan rindu. Terharu juga karena Wina adalah pembantu yang setia dan jujur, makanya Risma sangat sayang kepada Wina layaknya kepada keluarga.
"Mas, maafkanku," lirih Shakira.
Daffin segera menutup mulut sang istri. "Jangan minta maaf terus. Lebarannya masih lama," jawabnya menggoda Shakira terdengar sangat menghibur sampai wanita yang duduk di sampingnya terkekeh kecil.
"Daffin, Ibu mau memberikan kejutan untuk mertuamu," ucap Risma melirik kepada Wina.
Wina tercengang. "Nyonya, jangan repot-repot. Saya tak ulang tahun."
"Bibi Wina, ini pantas saya berikan untuk Bibi."
"Wah, memangnya Ibu mau beri apa?" Selidik Daffin.
"Ada dech," balas Risma mengerlingkan mata. Lalu dia kembali melanjutkan ucapannya, "Intinya sekarang Shakira sembuh dulu.'
"Terima kasih, Bu. Sudah ada di sini di waktu yang tepat," cetus Daffin melempar senyum kepada sang ibu. Risma mengangguk pelan dan dia pun dengan senang hati membantu Daffin dan Shakira.
Di ruangan itu pun terdapat kehangatan dan bercengkrama layaknya seorang keluarga yang utuh. Daffin tak henti-hentinya meremas punggung tangan Shakira sambil mendengarkan masa lalu Daffin saat kecil yang sering diasuh oleh Wina.
Lalu perawat datang yang memberikan makanan dan obat kepada Shakira seraya menegur Risma dan Wina yang masih berada di dalam ruang VIP karena peraturan rumah sakit ini sudah habis jam membesuk. Meskipun, Shakira berada di kamar VIP yang di dalamnya serba ada dari televisi, kursi, kulkas mini, serta meja. Bahkan ada pula lemari untuk menyimpan pakaian pasien dan untuk yang menjaga pasien. Tetap saja jika jam besuk habis, maka yang menjenguk pun harus pulang.
Risma dan Wina pamit pulang. Baru saja dua wanita itu berada di ambang pintu, ternyata Daffin pun diusir oleh perawat itu agar keluar karena Shakira harus beristirahat.
"Tapi, Sus. Istri saya tak mungkin saya tinggal sendirian."
"Pak, tenang saja. Ada saya yang akan menjaganya. Ini waktunya istirahat. Jadi biarkan saja istri Bapak tidur," jawab perawat itu sembari tersenyum tipis dan melirik kepada Shakira yang masih tergeletak lemah.
"Mas, tenang saja. Aku di sini nggak apa-apa," timpal Shakira sembari tersenyum tipis. Lalu Daffin mengecup bibir Shakira dan pamit keluar dari ruangan tersebut.
Risma menggandeng tangan Daffin. "Kalau begitu. Bagaimana jika kamu temani Ibu dan Bi Wina?"
"Ke mana, Bu?" Daffin mengerutkan dahi.
"Nanti juga kamu tahu," balas Risma sembari mengerlingkan mata.
Mereka bertiga berjalan bersisian di koridor rumah sakit. Wina pun tanda tanya besar yang bertengger di benak karena tak tahu mau dibawa ke mana oleh Risma.
"Nyonya, kita mau ke mana?"
"Ayolah, namanya juga kejutan!" ajak Risma sambil menggandeng tangan Wina.
Risma meminta Daffin agar menyetir mobil, dengan senang hati diterima oleh Daffin. Lelaki tersebut melajukan mobil dengan kecepatan sedang dan mengikuti alamat yang diberikan oleh Risma.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel berbunyi nyaring memekak telinga. Risma merogoh ponsel dari tas. Tatapannya memicing kala melihat nomor telepon yang menghubunginya.
"Bu, kenapa tak diangkat?" tanya Daffin yang keheranan melihat sang ibu yang tertegun menatap nanar panggilan telepon itu.
"Tak apa-apa. Biasa ayahmu. Pasti dia mau tahu Ibu di mana?" keluh Risma membiarkan dering ponsel berbunyi.
"Angkat saja, Bu," pinta Daffin.
"Iya, Nyonya. Angkat saja. Mungkin ada yang penting," sambung Wina.
Risma menoleh ke belakang. Dia hanya tersenyum tanpa menjawab. Hingga dering ponsel mati. Wanita itu tampak menghela napas lega.
"Daffin, percepat."
"Bu, nggak usah cepat-cepat."
"Kita harus kejar waktu. Sebelum ayahmu mencari Ibu," tukas Risma yang mendadak wajahnya mendadak berubah gelisah. Sangat terdengar dari suaranya panik.
"Baiklah, Bu." Daffin menuruti permintaan sang ibu. Dia bergegas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menembus jalanan yang menjelang sore.
"Bu, kenapa? Wajahnya pucat. Apa bertengkar dengan Ayah?" tanya Daffin yang berusaha mencari tahu.
"Daffin, awasssss!" pekik Risma langsung menepuk pundak Daffin.
Lelaki tersebut terbelalak saat hendak mengerem. Tiba-tiba remnya tak berfungsi, sedangkan di depannya ada mobil berwarna hitam yang melaju cepat berlawanan arah.
"Daffin, berhentii!" Risma berteriak.
Wajah Wina dan Risma tegang. Meneriaki nama Daffin secara bersamaan saking takutnya.
"Bu, mobilnya nggak bisa berhenti!"
"Apaaaa? Kenapa Daffin? Kayaknya mobil di depan kita juga ada masalah." Risma terbelalak. Tangannya meremas pundak Daffin. Bibir wanita itu menganga lebar seketika itu juga di saat mobil yang ada di depannya sudah ada di depan mata.
"Daffiiiiiinnnnnnnnnnn!!" pekik Risma memejamkan mata.