Mobil yang ada di depan Daffin langsung menyadari. Langsung banting setir ke kiri, lalu Daffin pun banting setir ke kanan menabrak pohon besar. Dia menghindari tabrakan. Sayup-sayup terdengar suara teriakan Risma dan Wina bersamaan. Pandangan Daffin menjadi gelap.
Selang lima belas detik kemudian. Daffin membuka matanya perlahan-lahan. Tampak Risma melempar senyum kepadanya. Lelaki itu pun menyadari bahwa dia sudah keluar dari mobil.
"Syukurlah kau tak apa-apa." Risma mengusap dahi Daffin. Meskipun, terlihat ada darah mengering di dahi Risma. Akan tetapi, wanita itu tak peduli dengan sakitnya yang penting Daffin baik-baik saja.
Spontan Daffin pun meraba luka Risma. "Ibu, tak apa-apa?"
"Ibu baik-baik saja dan mertuamu juga baik," jawab Risma sambil melirik kepada Wina yang duduk di sampingnya.
"Iya, saya baik-baik saja. Cuma lecet sedikit," timpal Wina meyakinkan agar Daffin tak khawatir.
Lalu Daffin dengan susah payah berdiri. Lelaki itu pun tersenyum simpul melihat sekelilingnya. Ternyata sudah ramai orang di sana. Beruntung sekali mobil yang berlawanan arah dengan mereka pun selamat, yang ditumpangi oleh seorang lelaki paruh baya karena mengantuk hampir saja menimbulkan kecelakaan.
"Bu, kenapa dengan mobil Ibu?" Daffin menoleh ke arah mobil yang bagian depannya rusak.
"Nggak tahu. Ibu sudah hubungi bengkel mobil yang biasa periksa mobil Ibu."
"Kalau begitu kita pulang saja," ajak Daffin sambil celingak-celinguk mencari mobil taksi melintas.
Namun, Risma tetap ingin memberikan kejutan untuk Wina hari ini juga. Maka Daffin harus menuruti perintah sang ibu jika sudah mengatakan A harus A.
Tak berselang lama. Mobil taksi melintas di depan mereka. Maka Daffin lekas memberhentikannya. Kerumunan orang-orang yang ada di sana pun lambat-laun surut kembali ke tempat masing-masing. Daffin, Risma, dan Wina masuk ke mobil taksi tersebut.
Perjalanan menuju tempat tujuan memakan waktu sekitar dua jam kurang lebih.
Tiba di sebuah rumah sederhana. Mobil taksi tersebut berhenti sesuai alamat yang diberikan oleh Risma.
"Ayo, turun." Risma menuntun Wina keluar dari mobil. Daffin pun segera turun dan dia mengerutkan dahi saat melihat kejutan dari sang ibu untuk mertuanya.
"Ini layak untuk Bibi," ucap Risma tersenyum simpul.
"Nyonya, ini berlebihan." Wina menggelengkan kepalanya dan beringsut mundur.
"Ini tak berlebihan. Ini hadiah dari saya untuk semua kesetiaan Bibi dan juga menjaga Daffin dengan sangat baik sekali. Sampai Daffin tumbuh menjadi lelaki yang bertanggung jawab dan pekerja keras," tutur Risma dengan tatapan sayu.
Daffin tak bisa berkata apa-apa lagi. Memang pantas Wina mendapatkan hadiah besar dari Risma. Lelaki itu pun langsung merengkuh tubuh sang ibu sebagai ucapan terima kasih.
"Sebenarnya ini tak seberapa dengan pengorbanan dan kesetiaan Bibi Wina," lirih Risma.
Air mata haru keluar dari pelupuk matanya Wina. Wanita itu pun segera memeluk Risma. Usai Daffin mengurai pelukannya.
Lantas Risma menggandeng Wina masuk ke dalam rumah tersebut yang dominan warna kuning. Risma paham warna kesukaan Wina. Di dalam rumah itu pun sudah ada perlengkapan rumah tangga lengkap dari kursi hingga perlengkapan kamar tidur juga.
"Semoga kalian betah di sini. Dan Daffin kamu tak usah mengontrak lagi," ucap Risma sambil mengusap wajah sang anak.
"Terima kasih, Bu."
Mereka pun berkeliling rumah yang memiliki tiga kamar. Kamar Wina pun sudah disiapkan di bagian kamar utama. Sudah dihias sedemikian rupa oleh Risma agar Wina betah.
Lima hari kemudian. Kondisi Shakira sudah membaik. Rumah baru pun sudah ditempati oleh Daffin, Shakira, dan Wina. Mereka bertiga hidup bahagia di sana seperti membuka lembaran baru karena pasca Daffin di penjara. Nama baik lelaki itu jelek dan tak diterima bekerja lagi di toko sembako. Makanya dia kini sedang berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup sehari-hari. Meskipun demikian, Daffin masih menjalani profesinya sebagai ojol jika malam hari.
Ternyata nama mantan narapidana melekat pada Daffin. Dia tak bisa mendapatkan pekerjaan, di kantor maupun di toko-toko. Tak diterima karena alasan Daffin terkenal sebagai pencuri di keluarganya sendiri.
Seperti siang ini. Sudah ke sekian kalinya. Daffin melamar pekerjaan ditolak mentah-mentah. Dia pun berjalan dengan tatapan nanar menyelusuri jalan. Kendaraan lalu-lalang melintas, matahari sudah di atas kepala menyengat kulit. Sesekali tangannya mengusap keringat yang mulai membasahi wajahnya karena saking teriknya.
Perutnya keroncongan. Cacing sudah meronta meminta makanan, sedangkan Daffin baru makan roti saat sarapan. Dia lebih memilih menahan lapar demi memberikan makanan untuk Sang istri dan mertuanya. Daffin rela kelaparan. Asal jangan Shakira dan Wina merasa lapar. Tabungan Daffin sudah menipis. Itu pun diberi uang oleh Risma untuk membayar hutang-hutangnya kepada bos toko sembako yang menagihnya sebelum dia dikeluarkan.
Namun, Daffin tak mengenal nama menyerah. Dia terus mencari pekerjaan. Apapun itu yang penting halal. Pupil matanya menangkap ada seorang lelaki berusia kepala empat sedang mendorong gerobak membawa pasir.
Lekas Daffin mensejajarkan langkahnya dengan lelaki tersebut. Sejurus kemudian dia melontarkan tanya, "Pak, saya boleh ikut kerja?"
Lelaki itu mendadak berhenti dan tertegun melihat penampilan Daffin rapi dan berpakaian kemeja serta sepatu pentopel.
"Kamu mau kerja jadi buruh bangunan?"
"Tak apalah. Intinya itu halal. Saya mau, Pak."
"Mari ikuti saya." Lelaki itu mengukir senyum manis, dengan sumringah Daffin menguntit dari belakang.
Bekerja sebagai kuli bangunan adalah kesempatan untuk Daffin melanjutkan hidup untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Daffin tak menyerah dengan keadaan. Siang dan malam dia bekerja semata-mata ingin membuktikan bahwa Daffin bisa berdiri sendiri tanpa bantuan Kennedy.
Satu bulan berlalu. Daffin masih menjalani kehidupan sehari-harinya sebagai kuli bangunan. Pakaiannya memang tak rapi tak seperti layaknya orang kantoran. Namun, dia tetap bangga menjalani pekerjaan itu. Meskipun, banyak sebagian orang yang menilai dari sampulnya saja dan Daffin dan Shakira dikucilkan oleh tetangga sekitar mereka karena bukan dari kalangan atas.
Saat Daffin pamit berangkat kerja. Jauh berbeda dengan tetangganya yang suaminya pulang pergi memakai mobil bagus. Sudut mata Daffin melirik sekilas. "Shakira, apa kamu tak malu punya suami seperti saya?"
"Mas, jangan bilang seperti itu."
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berpakaian fashionable turun dari mobil. Betapa terkejutnya Shakira dan Daffin melihat wanita itu.
"Desi?" cetus Shakira.
Begitu pula Desi terkejut melihat Shakira dan Daffin berdiri di rumah yang sedang dia cari. "Kalian di sini ngapain?"
"Kamu ngapain datang ke sini?" tanya Daffin datar.
Desi memicingkan mata melihat penampilan Daffin memakai kaus oblong dan celana pendek yang kusam.
"Ada pengemis di sini? Apakah temanku tak membuka pintu untuk kalian?" sindir Desi terkekeh kecil sambil gontai berjalan memasuki halaman rumah Daffin.
"Teman? Kamu salah alamat," tukas Daffin.
"Ini rumah temanku."
"Maaf, ini rumah mertua saya."
"What? Kalian jangan ngarang? Mana bisa Kalina punya uang beli perumahan bagus. Temanku dulu tinggal di sini." Desi terbelalak.
"Ini rumah mertua saya." Daffin menegaskan.
"Kalian pasti bohong. Pasti kalian rampook, yah. Toloooooong ada maling!" teriak Desi.
"Desi, jaga ucapanmu!" bentak Daffin langsung memangkas jarak menghambur menutup mulut Desi.
"Mas, lepaskan dia," pinta Shakira.
"Mulut wanita ini berbisa. Bisa-bisanya dia teriak kalau kita ini maling," protes Daffin masih membungkam mulut Desi.
"Apa-apaan ini!" bentak suara bass yang ada di belakang punggung Daffin.
Spontan Daffin melepaskan tangannya dari mulut Desi dan wanita berpakaian fashionable tersebut langsung mendorong Daffin hingga terhuyung limbung jatuh.
Daffin pun menoleh ke belakang dan matanya membulat sempurna seketika itu juga saat melihat sosok lelaki yang berdiri tegak di depannya.
"Kenapa kalian di sini?! Pergi dari sini!" usir Kennedy yang tiba-tiba datang.
"Ayah, tahu dari mana kita ada di sini?" tanya Daffin sambil bangkit berdiri dengan nada suaranya terdengar panik.
"Apa? Jadi ini rumah kalian?" Desi terbelalak tak percaya bahwa rumah temannya itu sekarang milik Wina.
Kennedy melipat kedua tangannya di depan dadaa dan mendekati Daffin. "Pergiiii dari siniii ... ini pasti dari ibumu 'kan. Dia sudah keterlaluan memberikan ini tanpa izin saya."
"Oh, jadi kamu rayu ibu minta rumah. Usaha, dong. Jangan minta," sambung Desi mendelik.
Mendengar ada keributan. Wina yang ada di dapur bergegas keluar. Tampak anak dan ayah berdiri tegak saling bertatapan tajam. Sorot mata Kennedy memancarkan kekejaman dan keegoisan.
"Tuan," ucap Wina tergopoh-gopoh menghampiri.
"Wina, bawa anak lumpuhmu itu pergi dari sini! Tinggalkan Daffin. Gara-gara kalian, dia gelap mata tak mau dengar ucapan saya lagi," cetus Kennedy arogan sekali memberikan perintah kepada Wina agar membawa Shakira.
"Ayah," lirih Daffin mengepalkan kedua tangannya.
"Lihat pakaianmu Daffin. Lebih cocok jadi pengemis di jalanan!" bentak Kennedy sambil melempar uang lembaran ke muka Daffin. Lelaki itu pun terbelalak. Ayah kandungnya sungguh menghinanya terus-menerus.
"Pergi dari sini, Yah!" usir Daffin.
Kennedy memelotot. "Kamu mengusir saya? Harusnya kamu yang pergi dari sini. Ini uang dari ibumu 'kan," pungkasnya.
"Silakan Anda pergi dari sini." Daffin memalingkan wajahnya tak mau melihat wajah Kennedy.
"Daffiiiinnn! Kau tak sopan mengusir ayahmu sendiri!" bentak Desi.
"Kamu juga pergi dari sini!" Daffin melirik sekilas kepada Desi.
Brugh!
Tiba-tiba Desi mendorong kursi roda Shakira. "Istrimu lumpuh menyusahkan saja, sudah miskin, hidup pula. Pergi dari kehidupannya Daffin!"
Sontak Daffin menghambur mendekati Shakira yang telungkup jatuh. "Hentikan. Jangan menghina kami lagi. Saya akan buktikan bahwa saya pasti bisa sukses."
Lelaki tampan itu segera menolong sang istri agar duduk. Ini sudah keterlaluan Desi kerap menghina Shakira dan mengintimidasi Shakira. Bukan waktunya diam terus, di saat dihina. Lalu Daffin berdiri menatap nyalang kepada Desi dan Kennedy.
"Jangan remehkan semut. Jika kalian injak pasti kalian akan kalah," ucap Daffin.
Desi dan Kennedy tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Daffin.
"Hahahahhaha ... memangnya kamu bisa sukses?" ejek Kennedy menarik tangan Daffin.
Daffin tak mengindahkan ucapan Kennedy. Dia langsung mengurai tangan sang ayah. "Maaf, saya tak ada waktu untuk melayani Anda berdebat."
"Kau lantaaaang, Daffin!" sentak Kennedy menampar pipi Daffin.