3. Segera Bertemu.

1218 Kata
Lima tahun yang lalu. "Eyang ...!" Alesha berseru gembira sambil membawa keranjang berisi penuh bunga mawar merah. Sementara keranjang yang satu lagi penuh dengan buah strawberry yang juga warnanya begitu merona. "Aku datang bawain strawberry nih, mau dibuat jus habis ini," katanya ceria dengan mata berbinar terang. Gadis berusia lima belas tahun itu baru saja dari kebun Dayatri, di sana ada banyak sekali bunga yang bermekaran dan buah-buahan yang siap panen. Alesha selalu merasa senang jika berlibur ke rumah Eyangnya, suasana di sana benar-benar sejuk dan asri. Apalagi rumah Dayatri memiliki halaman yang sangat luas, rumah seorang diri yang ada di sekitar sana hingga menimbulkan kesan damai dan tenang. Sementara rumah lainnya berada di dataran yang lebih rendah. Kadang Alesha berpikir jika nanti dia akan membuka usaha dekorasi, menggunakan bunga-bunga hidup dan segar milik Eyangnya. Pasti sangat seru dan penghasilannya juga lumayan. Sejak kecil Alesha menyukai bunga, dia senang merangkai dan membuat buket dengan susunan yang begitu rapi. Tidak heran kenapa setiap kali Alesha tinggal bersama Eyangnya selama liburan, setiap hari selalu senang berada di kebun untuk mengurus berbagai macam bunga. Dayatri mengusap rambut Alesha yang lembut dan berwarna kecokelatan itu. Tidak di warnai, melainkan sudah bawaan sejak lahir. Persis seperti Mutiara, ibunya Alesha. "Cucu Eyang habis dari kebun lagi ya? Pantes Eyang cari di sekitar halaman kolam renang tadi nggak ada." Kalau tidak ke kebun, Alesha senang berlatih renang. Dia anak gadis yang selalu ingin hebat dalam segala bidangnya. Senang mencoba hal baru yang membuat Alesha penasaran hingga tertantang untuk menekuninya. Alesha mengangguk. Ketika tersenyum, dua lesung tercetak begitu indah pada kedua pipinya. Tidak hanya memiliki lesung pipi, dagu Alesha juga sedikit berbelah. Sangat cantik dan memesona."Iya, Eyang. Aku kan kemarin sore sudah latihan berenang, jadi pagi ini aku memilih menghabiskan waktu di kebun bersama Paman Chard, Bibi Maria, dan beberapa orang lainnya yang biasanya mengurus perkebunan." Dayatri menyimak baik-baik apa yang Alesha ucapkan, nampak bersemangat ketika menceritakan keseruannya beberapa waktu lalu. "Mereka begitu setia merawat kebun Eyang sejak dulu. Begitu ramah dan baik, dia memberitahu Alesha banyak hal tentang tanaman. Aku memerhatikan cara mereka memetik setiap buah-buahan, cepat dan nampak tak memiliki kesulitan sedikit pun." Alesha mengacungkan dua jempolnya, menunjukkan deretan giginya yang putih bersih. Eyang mengulas senyum hangat, ikut merasakan kegembiraan Alesha yang tiba-tiba menyelimutinya juga. "Mari, Nak, kita ke dalam. Katanya mau buat jus strawberry?" Alesha mengangguk mantap. Anak gadis itu membawa keranjang buah strawberry, sementara Dayatri membantu membawakan keranjang bunga mawarnya. Mereka langsung melangkah menuju dapur, terlebih dahulu meletakkan keranjang bunga di atas meja di ruang keluarga. Sehabis makan siang nanti mereka akan merangkai bunga bersama, untuk pajangan di setiap meja. "Neng Alesha mau roti bakar cokelat dengan extra parutan keju seperti kemarin?" tawar Mbok Sasy, dia wanita berusia setengah abad. Sangat ramah dan hangat, begitu penyayang dengan keluarga Eyang Dayatri. Mbok Sasy telah bekerja puluhan tahun bersama Dayatri, sudah dianggap seperti saudara sendiri. Alesha yang sedang sibuk memindahkan strawberry ke wadah untuk dicuci bersih sebelum diolah menjadi jus, menoleh pada Mbok Sasy. "Boleh banget, Mbok. Roti bakarnya dua ya, tambahkan lebih lebih lebih banyak kejunya. Aku suka banget, enak! Mbok Sasy jago buatnya, kalau aku balik ke Jakarta, selalu kangen roti buatan Mbok." Mbok Sasy tertawa pelan, dia mengangguk. Segera menyiapkan semuanya. "Kalau Kakak Day, mau dibuatkan teh hangat?" tanyanya kemudian pada Dayatri. Mbok Sasy sejak dulu memang memanggil Dayatri dengan sebutan 'kakak', hingga saat ini. Dayatri menggeleng. "Tidak, mungkin lain kali saja, Sasy. Aku akan meminum jus strawberry buatan Alesha." Mbok Sasy mengangguk mengerti. "Eyang duduk di sini saja, biar aku yang cuci bersih strawberry-nya." Sementara merendam strawberry untuk dibersihkan, Alesha menyiapkan es batunya yang sudah dihaluskan melalui lemari pendingin canggih milik Eyang Dayatri. Hanya dengan memencet satu bagian tombolnya, keluarlah es batu dengan ukuran kecil-kecil--siap di buat jus. "Punya Eyang nggak usah pakai gula ya, nanti ketahuan Papa kita dimarahi." Alesha cekikikan geli. Eyang Dayatri memang kurang sehat akhir-akhir ini, dilarang mengonsumsi makanan dan minuman sembarangan. Gula adalah salah satunya, sebab itu Alesha juga membantu ingatkan agar Eyang Dayatri tak perlu menggunakan gula terlalu banyak. Alesha membilas strawberry, kembali mencucinya sekali lagi. Biasanya kalau Alesha sendiri, dia akan menambahkan sedikit madu dan s**u untuk menambah varian rasa lebih pekat pada jusnya. Tidak hanya stawberry, Alesha juga senang memakan buah-buahan lain. Sayuran dan buah adalah makanan wajib yang begitu Alesha sukai, sebab itu dia selalu sehat dan kulitnya terawat dengan baik. *** Di dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam, duduknya seorang pria bercambang dengan rahang kokohnya. Kacamata berwarna senada bertengker di hidung bangirnya, menyandarkan kepala sebentar sambil memejam untuk melepaskan penat. Dia baru saja tiba dari Kalimantan mengurus pekerjaan di sana, kemudian langsung melakukan perjalanan menuju Bogor--tanpa istirahat sedikit pun hanya untuk sebuah misi yang sudah dia atur sedemikian rupa. Inilah waktu yang tepat, waktu yang sudah pria itu tunggu-tunggu sejak kemarin. "Tuan Dev, kita sudah sampai di villa. Tuan bisa beristirahat sebentar, sore nanti kita cek lokasi ke sana." Seorang bodyguard atau yang biasa disebut tangan kanan pria bernama Devano Axelleyc itu memberitahu dengan tegas. Menunjukkan sebuah tablet kepada Devano agar dia dapat melihat kawasan yang akan menjadi target mereka. Devano melepaskan kacamatanya, mengamati layar tabletnya dengan melihat daerah sekitar sana melalui sebuah potret yang diambil dari jalur udara oleh Endric--tangan kanan Devano bersama dua bodyguard lainnya. "Mereka beneran sedang berlibur ke Bogor bukan sekarang?" tanya Devano datar. Wajah tegas itu jarang menunjukkan ekspresi, sekali dia mengeringai langsung mampu menompak lawan tatapnya hingga merasa takut dan terintimidasi. Endric mengangguk. "Benar, Tuan. Mereka baru saja sampai kemarin sore. Bahkan tadi pagi saya sudah mengambil beberapa foto anak gadis itu sedang berada di perkebunan bersama para pekerja di sana." Lantas memberikan amplop cokelat berisikan beberapa lembar foto yang Endric maksud. Devano mengamati satu persatu hasil bidikan Endric, mengangguk kecil setelahnya menunjukkan jika Devano paham. "Baguslah. Segera lakukan rencana yang sudah diatur, ratakan keluarga mereka--kecuali anak gadis ini." Lalu Devano beranjak dari mobilnya. Mengenakan kembali kacamata hitamnya menambah kesan gagah berani, melangkah memasuki villa dengan langkah tegas dan tubuh kokoh tegapnya terlihat berotot. Setiap Devano menapak terdengar derap langkah dari pentopelnya, berirama dan indah di dengar. Villa yang saat ini Devano kunjungi adalah miliknya, sengaja dia beli agar lebih leluasa melihat bagaimana perkembangan keluarga sang musuh. Menggunakan sebuah teropong canggih, Devano dapat langsung menyorot ke kamar anak gadis dan ruang keluarga--tempat biasanya mereka berkumpul untuk saling mengobrol dan bertukar canda. Sesampainya di kamar pribadi, Devano melepaskan jas dan kemejanya. Menampilkan tubuh bagian atas yang dipenuhi otot dan urat-urat, badannya yang besar itu terlihat memesona. Apalagi dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di bagian d**a, lengan, dan kakinya. Sebelum membersihkan diri, Devano lebih dulu melakukan ritual wajib--melihat keadaan sekitar rumah sang musuh. Siang ini nampak sepi, mungkin orang-orang sedang beristirahat di kamar masing-masing. Berpindah dari ruang keluarga, Devano mengarahkan teropongnya pada kamar seseorang. Namun siial, gorden tertutup rapat. Devano mendesah sebab tak menemukan apa pun siang ini. "Sampai bertemu nanti sore gadis manis!" gumam Devano dengan menarik senyum jahat khas dirinya. Dia jelmaan ibliss, tidak punya hati dan rasa kasihan. Siapa pun yang berani ikut campur urusannya, siap lenyap dalam genggaman. Tidak ada ampun, Devano bukanlah malaikat yang sudi hati memaafkan kesalahan orang lain dengan mudah. Hatinya sudah terlanjur mengeras, akan sulit rasanya dilunakkan kembali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN