1. Kecelakaan Tragis
Seorang anak kecil menghela langkah ceria menuruni setiap anak tangga yang akan membawanya ke lantai bawah. Saat kakinya berhasil memijak lantai dasar, segera dia berlarian kecil menghampiri seorang pria yang masih mengenakan setelan kantoran. Senyumnya merekah dengan mata yang berbinar seterang bulan di langit. Wajah imut yang nampak bersinar itu semakin cantik dengan kedua lesung pipinya.
Melihat putrinya berlarian kecil kepadanya, pria itu berjongkok. Merentangkan kedua tangan siap membawa anaknya ke dalam pelukan hangat. "Sayang, Papa!" sapanya penuh kasih, mengusap punggung anak itu pelan.
Alesha Damiswary, putri dari seorang pengusaha sukses dalam bidang properti--Damiswary's group, milik Julian Damiswary. "Papa kapan kembali? Sudah lama, kah?" tanyanya masih menyandarkan kepala damai pada bahu Julian. Senyumnya masih terulas manis, menutup mata menikmati pelukan dan elusan dari papanya yang sudah seminggu ini pergi keluar kota mengurus pekerjaan.
Julian membalas senyum Alesha. Mengusap dan merapikan helaian rambutnya, menyelipkan di belakang telinga. "Papa kembali tadi siang. Tapi langsung menuju proyek, baru saja tiba di rumah."
Mata bulat dengan iris cokelat itu kelihatan begitu menenangkan--dapat menyihir siapa saja yang menatapnya, nampak sangat pas dipadukan dengan bulu mata yang lentik sekali. Usianya tujuh tahun, tapi sudah sangat cantik sekali. Wajah Alesha perpaduan antara Julian dan sang istri--Mutiara Damiswary, Indonesia dan Belanda. Terbayang bukan bagaimana cantiknya anak satu ini?
Kulit Alesha ikut sang Mama, putih bersih bahkan kadang terlihat pucat--sering dibilang seperti mayat hidup oleh Mamang sayur komplek. Bibirnya yang tipis itu berwarna kemerahan. Alesha mengenakan kalung liontin batu giok biru, sangat indah melingkah di lehernya. "Apa Papa sudah makan? Mama di mana? Kenapa Mama tidak menyambut kedatangan Papa?" cecar Alesha menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok Mutiara. Biasanya wanita itu akan lebih dulu menyambut sang suami ketika pulang bekerja, kali ini nampak tidak terlihat keberadaannya.
Julian tertawa kecil, gemas kemudian mencubit pipi Alesha. "Mama baru saja ke dapur, Sayang. Katanya bikinkan Papa teh hijau seperti biasa. Alesha sudah mandi, Nak?" Julian tahu jika putrinya sudah mandi, sudah cantik dan wangi sekali. Hanya ingin mendengar jawaban ceriwis gadis kecilnya.
"Tentu saja sudah. Apa Papa tidak melihatnya? Aku sudah sangat cantik dan wangi." Kemudian memperlihatnya senyum setengah lingkaran, berputar di hadapan Julian dengan dress pink muda miliknya. Persis seorang putri kerajaan.
Julian tertawa pelan. Kembali membawa Alesha ke dalam pelukan. Mengecup puncak kepala anak itu beberapa kali, sangat menyayanginya. "Heum, sangat cantik sekali putri Papa. Tidak ada yang bisa mengalahkan Alesha."
Alesha menutup mulutnya tertawa senang dan malu. "Apakah aku lebih cantik dari Mama, Pa?" tanyanya dengan senyum tertahan, pipinya sedikit merona.
Mendengar pertanyaan Alesha, Mutiara yang baru saja dari dapur berdehem, lalu mengulas tersenyum. "Wah sepertinya ada yang ngomongin Mama. Siapa ya?" celetuk Mutiara berpura-pura tidak melihat keberadaan Alesha.
Alesha tertawa, dia melangkah pada Mutiara dan memeluk wanita itu. "Tidak ada. Aku hanya bercanda, Mama memang yang paling cantik." Melingkarkan kedua lengan pada leher, kemudian mengecupi berkali-kali pipi Mutiara.
"Anak Mama satu ini jauh lebih-lebih cantik. Iya 'kan, Pa?" tanya Mutiara pada suaminya.
Julian mengangguk mantap. Alesha nampak senang, dia kembali memeluk Mutiara. "Terima kasih, Mama. Alesha cantik karena Mamanya juga cantik. Bukankah begitu?" Saat di sekolah pun banyak teman sebaya maupun orang tua dari temannya yang mengatakan jika Alesha begitu cantik, dia berbeda dari anak cewek yang lain--mempunyai warna kulit dan kecantikan wajah khas orang Belanda.
"Benar sekali. Pinternya anak Papa!" Julian mencubit gemas hidung Alesha. Membuat anak itu kembali tertawa malu-malu.
"Apakah malam ini kita jadi berangkat ke rumah Eyang?" Alesha teringat janji Julian minggu lalu. Sepulangnya dari mengurus kerjaan, Julian akan mengajak istri dan anaknya ke rumah Eyang di Bogor. Eyang Dayatri, ibu dari Julian yang sudah berusia sekitar enam puluh lima tahun. "Papa nggak boleh loh ingkar janji, nanti aku mogok bicara!" Alesha senang sekali mengunjungi kediaman Eyangnya, menjadi tempat kesukaan dan pilihan pertama untuk berlibur. Wajib!
Mutiara menatap ke arah Julian, mengulum senyum. Begitulah ketika membuat janji dengan Alesha, dia akan ingat dan siap menagih untuk dipenuhi. Pintar sekali anak gadis kecilnya satu ini. "Berani berjanji, berani memenuhi. Siapa suruh kamu berjanji, Mas." Lalu terkekeh pelan.
Julian mengangguk. "Baiklah. Habis makan malam nanti kita berangkat ke rumah Eyang. Oke?" Alesha mengangguk, lalu melompat-lompat kecil sambil bersorak gembira sekali. "Sini cium Papa dulu, Sayang."
Alesha menghampiri Julian, duduk di pangkuannya. "Aku sayang banget sama Papa!" ucap Alesha setelah mengecup kedua pipi dan kening Julian. "Makasih selalu buat aku bahagia ya, Pa."
Julian balas mengecup pipi Alesha. "Iya, Sayang. Sama-sama. Makasih juga sebab Alesha selalu menjadi putri kebanggaan Papa dan Mama. Cerdas, selalu mendapat nilai yang tinggi di sekolah, dan yang terpenting Alesha menjadi anak yang baik untuk semua orang."
Alesha mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali memeluk Julian.
Mutiara yang melihat keceriaan keluarga kecilnya begini selalu bersyukur pada Tuhan telah mengirimkan pria yang baik, anugerah terbesar memiliki Alesha juga di tengah-tengah mereka.
"Peluk Mama juga, Sayang!" Julian mengulurkan tangannya pada Mutiara, meminta wanita itu untuk mendekat dan saling memeluk bersama. Julian menyayangi keluarganya, apa pun yang terbaik dia lakukan agar kebahagiaan selalu menyertai mereka.
***
Sepanjang perjalanan, Alesha nampak ceria di jok belakang. Dia bernyanyi riang sambil bertepuk tangan pelan. Julian menepati janjinya, sehabis makan malam bersama mereka akhirnya berangkat menuju Bogor. Sangat tidak sabar bertemu esok pagi, Alesha akan merasa senang berkeliling melihat daerah sekitar sana yang terasa lebih sejuk daripada di Jakarta.
Kebetulan malam ini cuaca sedikit tidak mendukung, rinai hujan menemani perjalanan mereka. Untung saja tidak deras. Masih bisa dilalui dengan nyaman, meski Julian harus memelankan sedikit laju mobilnya.
Alesha menguap, matanya mulai berair. "Alesha tidak tidur siang tadi, Sayang?" tanya Julian melihat ke arah Alesha melalui spion tengah.
"Huum, enggak. Alesha sibuk membuat karangan bunga bersama Mbak Lia, Papa. Sangat menyenangkan." Mbak Lia adalah asisten rumah tangga yang biasanya setiap hari memiliki tugas menjaga dan menemani Alesha bermain. Dia masih muda, usianya dua puluh lima tahun. Mbak Lia bekerja separuh waktu saja, dari jam satu siang sampai jam lima sore. Namun jika hari libur tiba, Mbak Lia akan datang pagi dan pulang seperti biasa. Mbak Lia sudah memiliki suami, baru saja menikah sekitar setengah tahun yang lalu.
Mutiara menoleh ke belakang. "Tidurlah, Sayang. Besok pagi kita jalan-jalan keliling, oke?"
Alesha mengangguk sambil mengusap matanya. Mengacungkan jempol, mengiyakannya. "Oke, Mama. Aku tidur dulu, ngantuk banget." Lalu mengambil posisi yang sudah di sediakan di sana. Ada bantal dan selimut yang akan tetap menghangatkan Alesha sepanjang perjalanan.
"Pelan-pelan saja, Mas. Jalanan licin, takut kenapa-kenapa." Mutiara mengingatkan Julian. Meski pengguna jalan malam ini terlihat sepi, tak membenarkan jika Julian bebas mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Apalagi dalam cuaca seperti ini. Pelan-pelan pun mereka akan sampai nantinya, jadi santai saja.
Julian mengangguk. "Baik, Sayang."
Awalnya tidak ada yang nampak dari arah berlawanan sebuah mobil yang melaju cukup kencang, jadi Julian biasa-biasa saja. Tetap santai sambil bersenandung ria. Sesekali pria itu mengecup punggung tangan Mutiara, melempar senyum penuh kasih sayang.
Tidak ada sorot lampu atau pencahayaan apa pun, tiba-tiba saja sebuah mobil mengalami lepas kontrol dari pengemudinya. Mutiara membelalak, Julian berusaha menghindari dengan semampunya meski nyatanya tetap mengenai bagian mobil Julian.
Mutiara berteriak, mengkhawatirkan Alesha yang berada di jok belakang. Mobil itu menabrak bagian samping di mana Alesha tidur.
Alesha terbangun, dia kaget dan langsung menangis. Tidak ada luka apa pun, tapi suara keras dari tabrakan mobil pengemudi membuat Alesha syok. "Mama, Papa!" teriaknya dengan tubuh bergetar takut.
"Alesha, Alesha. Sayang, sini!"
Mutiara segera mengamankan Alesha, sementara Julian melihat ke arah mobil yang sudah menabrak pembatas jalan cukup keras. Mobil hitam itu hancur sebagian, lebih kagetnya pengemudinya seorang wanita yang sudah terkapar lemah tidak berdaya.
Julian menutup mulutnya tidak menyangka, kaget bukan main. Dia langsung menghubungi polisi, beberapa mobil lain juga nampak berhenti dan menelepon bagian rumah sakit untuk menyiapkan ambulan menolong korban.
Tidak tahu harus bagaimana, Julian bingung. Ingin menolong, tapi dia takut polisi akan menyeretnya ke dalam masalah ini juga--kendati dirinya tak bersalah sedikit pun. Orang-orang yang ada di sana juga tidak ada yang berani menyentuh bagian dari si korban, polisi akan mendapatkan sidik jari dan bisa saja yang tak berkaitan dalam kejadian terseret juga.
Mendengar isak tangis Alesha dalam pelukan Mutiara, menyadarkan Julian. Segera pria itu melangkah ke arah istri dan anaknya. "Sayang, kamu tidak apa?" tanya Julian pada Alesha. Pria itu berjongkok, memeluk putrinya.
"Tidak masalah, Sayang. Semua baik-baik saja." Julian menenangkan. Alesha memucat, tubuhnya bergetar hebat dengan keadaan dingin.
Tidak lama polisi dan ambulan dari pihak rumah sakit datang, mengamankan semuanya.
Wanita dengan lumuran banyak darah pada wajah dan bagian tubuh lainnya itu dibawa dengan segera ke rumah sakit. Mendapat pertolongan sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Banyak pengendara lain yang mengabadikan kejadian ini. Apalagi keluarga Damiswary cukup terkenal di kalangan masyarakat ibu kota maupun luar kota. Tidak hanya di Indonesia, usaha Julian juga sudah berkembang hingga Singapura dan Malaysia. Siapa yang tidak tahu dengan seorang pengusaha sukses satu ini?
Julian di panggil salah seorang komandan dari kepolisian, selaku pemilik mobilnya yang mengalami kerusakan dengan pihak pengemudi yang saat ini sebutannya menjadi korban itu. Padahal Julianlah harusnya yang menjadi korban.
Banyak sekali yang harus dibicarakan dan diluruskan, Julian akhirnya menyuruh Mutiara pulang ke Bogor lebih dulu bersama Alesha. Julian akan mengurus dan membereskan semuanya dengan baik, itulah janjinya pada Mutiara. Julian akan kembali secepatnya, menyusul ke kediaman Eyang.
"Papa, kenapa Papa tidak ikut dengan kita?" tanya Alesha menggelengkan kepala menolak ikut Mutiara. Kenapa Julian tidak pergi bersama mereka? Itulah pertanyaan yang memenuhi isi kepala gadis kecil itu.
Mutiara memberikan pengertian terbaik, meski nyatanya Alesha tak mengerti juga. Julian bersama dengan banyak polisi, ikut bersama dalam satu mobil yang sama.
"Tidak! Kenapa harus Papa yang dibawa oleh polisi? Papa akan dipukul dan ditembak? Bagaimana jika Papa terluka?" Alesha semakin menjadi-jadi tangisnya. "Aku mau Papa!"
Mutiara memegangi kedua bahu Alesha. "Sayang, hei ... Papa akan baik-baik saja. Tidak ada yang mau menyakiti Papa, apalagi menembaknya. Papa akan segera menyusul ke rumah Eyang. Alesha percaya sama Mama 'kan?"
Alesha menggeleng tegas. "Tidak!"
Mutiara membawa Alesha ke dalam pelukannya. "Sayang, dengarkan Mama. Tidak ada yang melukai Papa. Percayalah."
"Mama janji?"
"Ya, Mama berjanji."
"Kapan Papa akan mengusul kita ke rumah Eyang?"
"Besok pagi."
"Jika tidak?"
"Kita yang akan jemput Papa." Mutiara mengangguk yakin. Alesha akhirnya menghentikan tangis. Dia menurut, ikut bersama dengan Mutiara kembali melanjutkan perjalanan mereka yang sudah tidak jauh lagi.
Malam yang tidak pernah Alesha lupakan. Mengerikan, menyedihkan, dan begitu menakutkan.
***
Selamat datang di lapak Devano dan Alesha!
Siapkan hati kalian kuat-kuat, sebab nanti akan patah dalam setiap perjalanan mereka.