Dengan langkahan lebar dan buru-buru seorang pria mendatangi ruangan di mana istrinya sedang kritis dengan berbagai macam alat pembantu yang diberikan oleh tim medis untuk menyelamatkannya agar bertahan hidup. Ibaratnya kematiann sudah di hadapan mata, hanya saja berusaha bertahan sebentar hingga sang suami tiba kepadanya.
Tidak peduli berapa banyak pasang mata yang menatap aneh dirinya yang nampak tergesa-gesa, bahkan beberapa kali menabrak bahu orang lain. Keringat dingin membanjiri daerah pelipis dan lehernya. Pekerjaan masih banyak, dia tinggalkan begitu saja demi mengunjungi sang istri.
"Sayang!" lirih lemah pria itu sambil meraih tangan istrinya. Berusaha menggenggam, tapi dia juga sangat lemas sekali. Berita yang dia terima beberapa saat lalu benar-benar mengagetkan, mengguncang kesadarannya hingga jantung saja bahkan terasa sudah turun ke perut saking syoknya.
Air mata meluncur melalui sudut mata wanita yang dia panggil sayang tersebut. "M-maafkan a-ku, m-maafkan aku!" katanya tersendat-sendat tidak sampai lagi untuk berbicara dengan benar.
"Bertahanlah. Aku yakin kamu bisa. Kita pasti berjuang bersama melewati semua ini." Mengecup tangan istrinya. Ikut menangis sesak. Pernikahan mereka baru saja dilakukan dua bulan yang lalu, masih dalam keadaan hangat-hangatnya pengantin baru. Tidakkah hal ini adil untuknya yang baru saja berbahagia? Mereka masih memiliki banyak rencana menuju masa depan, sangat tidak adil jika salah seorang di antara mereka pergi duluan ke pangkuan sang Maha Kuasa.
Devano Axelleyc, pria berusia dua puluh dua tahun yang saat ini bekerja di sebuah swalayan besar, lumayan terkenal di ibu kota Jakarta. Devano sudah bekerja di sana selama tiga tahun belakangan. Pulang pergi Jakarta-Bogor tanpa lelah saat akhir minggu untuk menemui sang Paman tercinta. Devano yatim piatu sejak kecil, Pamannya itulah yang menjadi sosok seorang ayah. Merawat, membesarkan dan menjaga Devano dengan baik hingga seperti sekarang.
"D-dev, Dam ... D-damis-wary!" Dalam genggaman yang erat bersama Devano, wanita itu menyebut lirih Damiswary. Seperti memberitahu sesuatu mengenai kecelakaannya ini berkaitan dengan keluarga Damiswary.
Devano melebarkan mata, mencoba mencangkul akal sehatnya mencerna satu kata yang keluar itu. "Damiswary," ucapnya berulang kali dalam hati. Saat mulai menyadari sesuatu, barulah Devano melebarkan matanya dengan rahang mengeras. Pria itu telah mengambil kesimpulan sendiri dari ucapan wanitanya. "Dinda, Sayang. Bertahanlah ...!" Seketika semua telah hilang, mata yang tadinya masih terbuka kini mulai tertutup seiring detik jarum jam dilalui. Tubuhnya yang masih hangat itu terkulai lemah. Wanita yang memiliki nama Dinda itu pergi, Tuhan telah merangkulnya menuju tempat yang lebih baik.
"Dinda ...! Hei, bangunlah! Aku tahu ini hanya bercanda kan? Kamu tidak mungkin meninggalkanku. Masih banyak impian kita yang belum sempat diraih, jangan pergi dulu!" Devano memeluk dan sedikit mengguncang tubuh Dinda. Tidak sama sekali ada jawaban atau pergerakan darinya.
Selang beberapa menit, dokter dan beberapa orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Dinda. Devano mundur, bersandar pada tembok dengan isi kepala mulai mengosong. Tatapan nanar dia berikan pada Dinda, tim medis masih mengupayakan dengan semaksimal mungkin agar pasiennya kembali bertahan hidup.
Tidak berhasil, semua sudah hilang. Dinda sudah pergi.
Devano membekap mulutnya, merosot ke lantai dengan perasaan amat hancur. Menangis dengan matanya yang memerah. Dadanya bertaluan kencang, kabar ini begitu memukulnya. Membuat Devano mengalami beberapa waktu masa tersulit dalam hidup.
Tidak bersemangat, sebab telah hilang bersama istri tercinta.
***
"Papa!" teriak Alesha ketika melihat Julian datang. Anak itu sedang duduk di pangkuan sang Eyang di teras rumah. Menikmati teh hangat dan camilan ringan sambil membagikan cerita lucu dan indah untuk menghibur hati cucunya. Mutiara menceritakan semuanya kepada Dayatri--Eyang--mengenai kejadian semalam. Wanita tua itu terkejut, bahkan sangat begitu khawatir.
Alesha berlarian kecil menghampiri Julian, berhambur ke pelukan pria yang telah berjanji semalam untuk kembali. Julian menepati janjinya lagi, tidak pernah ingkar sekali pun. "Papa kembali. Terima kasih sudah datang dengan cepat dan dalam keadaan yang baik-baik aja. Aku sangat menyayangi Papa!" Alesha memeluk erat Julian. Senyumnya mengembang sempurna. Merasa amat sangat lega sekarang!
Julian menangkup wajah kecil Alesha. Mengangguk dengan senyuman hangat. "Tentu saja Papa akan kembali dengan baik. Ada Alesha, Mama, dan Eyang yang menunggu sejak tadi, kan?" Alesha mengangguk cepat. "Papa tidak pa-pa, Sayang. Jangan takut lagi ya, kita lupakan masalah semalam. Alesha, Papa, maupun Mama akan tetap baik-baik saja. Tidak ada yang bisa menyakiti kita semua. Papa janji untuk itu." Mengusap lembut puncak kepala Alesha. Julian akan mengusahakan yang terbaik untuk melindungi orang-orang tercintanya.
"Alesha main dulu sini sama Eyang, biar Papa istirahat dulu di kamar sama Mama ya?" Dayatri angkat bicara. Dia mengulurkan tangannya pada Alesha yang sudah kembali bersinar wajahnya.
Alesha mengangguk. "Karena Papa sudah kembali, aku akan bermain sama Eyang dulu. Papa istirahat saja, Papa juga ngantuk banget kelihatannya."
Julian mengecup pipi Alesha, begitu pun sebaliknya. "Papa sangat menyayangi Alesha. Yang pinter bareng Eyang ya, Sayang?"
"Oke, Papa!" Alesha mendongak, menatap Eyangnya. "Ayo Eyang, kita ke halaman belakang. Aku mau ngasih makan ikan dulu." Dayatri mengiyakannya.
"Nak, istirahatlah bersama istrimu. Nanti kita bicarakan lagi." Dayatri menepuk-nepuk lengan putranya. Tersenyum hangat penuh kelegaan juga.
Mutiara memeluk Julian ketika melihat pria itu datang dengan keadaan baik-baik saja. "Bagaimana? Apa semua sudah aman?" tanyanya masih cemas.
Julian mengangguk. "Orangku sudah menyelesaikan semuanya. Menutup kejadian ini dengan tidak ada yang mengambil atau menjadikan berita di stasiun televisi dan surat kabar lainnya." Mengecup kening Mutiara. "Tenang saja, semua sudah baik-baik saja. Kita tidak bersalah sejak awal, tidak perlu takut, Sayang."
Mutiara mengangguk dengan menyunggingkan senyum lebar. "Alesha bersama Mami, Sayang?" Julian mengangguk. "Kamu ke kamar saja duluan, aku buatkan teh sebentar sebelum kamu mandi."
"Terima kasih, Sayang!"
***
Setelah pemakaman Dinda kemarin, Devano memilih mengurung diri di kamarnya dengan tangis air mata yang masih membanjir ketika kembali mengingat kenangan yang telah mereka lalui bersama. Dadaanya sangat sesak, dialah yang mengantar istrinya ke kediaman terakhir. Sungguh tragis kejadian ini, apalagi ketika Devano mendengar kabar jika kecelakaan istrinya ditutup habis begitu saja oleh keluarga Damiswary. Tidak ada media yang berani menguak kejadian sebenarnya bagaimana, benar-benar selesai sampai di sini.
Devano juga mendapat sejumlah uang yang sangat besar, untuk biaya penanganan istrinya kemarin di rumah sakit dan uang untuk pihak keluarga yang ditinggalkan. Melihat hal ini, Devano semakin menguatkan kesimpulannya mengenai keluarga Damiswary. Melekat, membuat murka dan dendam semakin membumbung tinggi.
Semua bermula dan berlalu begitu saja sejak kejadian ini. Devano menjalani hari panjang dengan masa paling sulit dan terbawah, namun berjanji pada dirinya sendiri jika takkan mundur dan jatuh ke lubang kesakitan yang sama. Bagaimana pun caranya Devano harus menjadi seseorang yang mempunyai kedudukan penting, agar kiranya orang lain tak berani melawan perintahnya.
Memulai usaha dari modal seadanya, mengalami gulung tikar berkali-kali, bahkan untuk sekadar membayar sewa rumah dan biaya makan sehari-hari harus mencari hutangan ke sana ke mari. Pilu, sadis, tapi tetap Devano jalani demi sebuah tekat untuk membalaskan semuanya.
Tiga belas tahun berlalu, semua nampak membuahkan hasil. Devano sukses dengan usahanya yang berkembang pesat, mampu bersaing dengan lawan tanpa takut kalah lagi. Dia mempunyai segalanya, kekuasaan dan kedudukan yang tidak kalah tinggi. Devano Axelleyc, nama yang dulu tidak pernah dikenali banyak orang ... kini begitu di perbincangkan. Pengusaha sukses di bidang pertambangan paling besar di Kalimantan. Telah memiliki beberapa cabang perusahaan di sejumlah kota besar yang mampu merekrut banyak orang untuk bekerja padanya dengan jatah gaji setiap bulannya lumayan menjajikan.
Devano yang dulu hanya tinggal di rumah kontrakan sempit kini kediamannya bak istana kerajaan. Dulu dia hanya memiliki sang Paman sebagai teman paling setia dan berusaha selalu melindungi--sayangnya pria itu telah berpulang ke pangkuan sang Maha Kuasa sepuluh tahun yang lalu, saat Devano baru memulai usahanya. Namun kini, Devano telah memiliki banyak bodyguard kepercayaan yang setia mengabdikan diri padanya. Melindungi dan membereskan semuanya tanpa Devano harus capek turun tangan sendiri.
Usaha Devano tidak hanya dalam bidang pertambangan, dia juga merambat ke bidang lain yaitu properti. Telah berdiri perusahaan besar di ibu Kota Jakarta Axelleyc's group. Dengan kekayaannya yang berlimbah itu, Devano memiliki apa saja yang dia inginkan. Mendapatkannya dengan semudah membalik telapak tangan.
Pulang pergi Jakarta-Kalimantan, Devano tak pernah menaiki alat transfortasi udara orang lain. Dia memiliki jet pribadi sendiri yang begitu mewah dan nyaman. Siap mengantarkan pria itu keliling Indonesia maupun luar negeri.
Kesakitan, kesedihan, dan kehancurannya ... semua harus dibayar lunas. Tidak Devano biarkan mereka bahagia di atas penderitaannya. Dia akan datang, dalam masa dan keadaan yang jauh lebih baik--itu janjinya. Memperkenalkan diri dengan membawa sebuah permainan yang begitu membinasakan. Siapa saja yang ikut campur tangan pada kejadian tiga belas tahun lalu akan masuk dalam ruang yang sama. Kehancuran, itulah akhir dari rencananya.
Dengan senyuman tipis menyirat banyak arti kejahatan, Devano berhasil menyelesaikan misi pertamanya sangat mulus. Ternyata meratakan keluarga lawannya begitu mudah.
Tidak hanya Devano yang mengalami masa sulit dan menyedihkan, anak gadis yang malang itu pun telah merasakannya.
Lima tahun belakangan, dia besar dan tumbuh di sebuah panti asuhan. Meratapi nasib dan keadaan yang begitu mengenaskan. Tidak lepas dari pengawasan Devino.
Devano senang, tidak sama sekali dia menyesal telah melakukannya. Tidak ada yang boleh menghancurkan seluruh anggota keluarga Damiswary kecuali dirinya. Dan sekarang tertinggal gadis kecil yang kini sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Sasaran empuk untuk melanjutkan balas dendam, memberikan banyak luka yang akan membuatnya menderita.
Permainan akan segera dimulai. Bersiaplah!
***