6. Akhir Yang Penuh Luka

1807 Kata
Endric sengaja membuat sedikit keributan di bagian halaman belakang, membuat Mbok Sasy kaget. Wanita itu beranjak dari balik pantry, memeriksa ke arah sumber suara. Saat Mbok Sasy meninggalkan kerjaannya yang sedang membuat teh, Devano langsung menjalankan aksinya. Dia memasukkan sebuah bubuk ke dalam masing-masing gelas--untuk Dayatri, Julian, dan Mutiara. Sebelum Mbok Sasy kembali, Devano dengan tangkas berlalu tanpa meninggalkan jejak apa pun, bahkan bubuk yang dia taburkan ke dalam teh tadi sudah larut dengan sempurna. Di balik tempat persembunyiannya, Devano menarik senyum licik. Dia selalu begitu, jahat hingga tidak tertolong. Mbok Sasy mengira itu hanyalah tikus, lalu kembali menyiapkan minuman hangat dan camilan kering untuk keluarga Damiswary yang sedang mengobrol ringan di ruang keluarga. "Silakan di nikmati teh hangat dan camilannya." Kemudian kembali ke dapur menyiapkan menu makan malam. Sambil bersenandung pelan, Mbok Sasy mengeluarkan beberapa macam sayuran yang akan dia perlukan dari dalam lemari pendingin. Berniat mencucinya, namun dari arah belakang Devano datang tidak terduga. Pria itu langsung membekap bagian mulut dan hidung Mbok Sasy hingga beberapa saat kemudian menimbulkan hilangnya kesadaran. Devano menyerahkan Mbok Sasy kepada pengawalnya, meminta diamankan hingga semua rencana selesai. Hanya butuh waktu beberapa menit setelah keluarga utama Damiswary menikmati teh hangatnya, mereka lantas berada di ambang kesadaran yang bergoyang. Bubuk halusinasi bekerja dengan baik, dengan berwibawa Devano bergabung di dalam obrolan mereka. Awalnya Julia mengernyit bingung pada kedatangan Devano, tetapi efek sakit pada kepalanya mulai menyerang. Membuat akal sehat direnggut secara paksa, hanya terfokus pada satu titik--yaitu Devano. Wajah tegas dan terlihat begitu menghipnotis dirinya. Dia tampan, senyumnya menunjukkan banyak arti terselubung. "Selamat malam, Pak Julian." Dengan sangat ramah, Devano menyapa. Dia menunjukkan senyuman tipis, menunjukkan satu berkas yang sudah dia persiapkan dengan baik sebelumnya. "Saya datang untuk membawa berkas ini. Berisi masa depan saya dan putri kesayangan Anda. Tidak perlu membacanya, saya pikir Anda tidak dapat melakukannya dengan baik. Tinggal memberikan tanda tangan di bagian sini." Menunjukkan di mana Julian harus menyisipkan tanda tangan. Devano membantu Julian menggunakan pulpen, kemudian menyuruh menambahkan tanda tangan di sana dengan baik. Semakin lama reaksi bubuk itu menerjang tubuh Julian, semakin hilang ingatan pria itu. Dia hanya mendengarkan ucapan Devano, menuruti apa pun yang pria itu katakan tanpa membantah. Sakit kepala sudah menghilang seiring waktu, segala ucapan Devano mengisi penuh ruang kepala. "Untuk Alesha? Siapa Alesha?" gumam Julian mengerutkan kening. Meski dalam keadaan seperti bukan dirinya, Julian dapat merasakan kebingungannya. "Tidak penting. Anda hanya perlu menandatangani berkas ini. Turuti semua perintah saya, lakukanlah dengan baik." Devano menunjukkan gambar tanda tangan Julian, pria itu menggerakkan tinta hitam di atas kertas putih itu, membentuk tanda tangan dengan mudah. Devano tersenyum penuh kemenangan, berdecak kagum pada Julian. "Anda memang sangat cerdas, Tuan Damiswary." Julian mengangguk, tersenyum senang mendapatkan pujian dari Devano. "Nyonya Dayatri Damiswary, saya juga membutuhkan tanda tangan Anda. Maukah Anda membantu saya melakukannya?" Devano mengusap lengan wanita tua itu, memberikan senyum hangat untuk menyentuh perasaannya. "Boleh, Nak." Mengangguk tanpa menolak. Devano menyerahkan pulpen kepada Dayatri, memperlihatkan contoh nyata tanda tangan wanita paruh baya tersebut. "Lakukanlah dengan sempurna. Kalian akan berbahagia setelah ini." Sangat cepat, Dayatri sudah menambahkan tanda tangannya. Kini tinggal Nyonya Damiswary, Mutiara. "Malam, Nyonya Damiswary. Anda mengenal saya?" tanya Devano sambil terkekeh sumbang. Tentu saja tidak! Memberikan berkas itu di hadapan Mutiara, wanita itu sungguh cantik--persis Alesha. "Saya juga membutuhkan tanda tangan Anda. Lakukanlah di sebelah sini. Suami dan mertuamu sudah melakukannya dengan sempurna. Bisakah Anda melakukannya juga untuk saya?" Mutiara mengangguk, mengulas senyuman. "Lakukan persis seperti tanda tangan Anda dalam gambar ini. Jangan melakukan kecacatan, saya selalu senang dengan kesempurnaan." Tinta hitam tersebut bergerak bebas membentuk tanda tangan Mutiara. Persis, tanpa kecacatan. Semua berjalan sesuai rencana awalnya. "Oh, sungguh cantik. Terima kasih Nyonya Damiswary." Mutiara mengangguk mengerti, membalas dengan senyuman lagi. Devano membereskan berkas-berkasnya. Memanggil Endric untuk memberikan bubuk baru ke dalam minuman mereka. "Sudah kamu siapkan senjata untuk mereka?" tanta Devano. Endric mengangguk cepat. "Sudah, Tuan." Lantas dia mencampurkan kembali sebuah bubuk dengan kadar yang lebih sedikit, namun membuat akal mereka jauh lebih tidak terkontrol. Mereka akan semakin berhalusinasi. Semakin ada suara yang ditangkap oleh indra pendengar, semakin kacau pikiran mereka. "Silakan dinikmati." Endric menyerahkan satu persatu gelas kepada Julian, Dayatri, dan Mutiara. Senyuman terulas, Endric bersikap seramah mungkin. Suara televisi masih mengisi bagian ruang keluarga. Setelah itu Devano menyalakan sebuah audio yang membuat pikiran mereka teracuni. Sebuah acara penayangan tentang pembunuhan, lalu ketiganya saling bersitatap. Seorang wanita berbicara dengan cerdas dalam audio tersebut, dia memberitakan sebuah kasus berat yang sedang menggemparkan salah satu Ibu Kota. Ketiganya melebarkan mata, saling memegangi kepala yang terasa ingin pecah. Jantung mereka berdebar lebih cepat, semakin tidak terkontrol ketika pemikiran merajalela ke mana-mana. Semakin mereka kacau, semakin jauh halusinasi mereka bergerak. Ucapan sang pembaca acara terngiang-ngiang dalam kepala ... pembunuh, pembunuh, dan pembunuh! Melenyapkan, melenyapkan, melenyapkan! Mereka menegang, lantas mengambil pistol masing-masing yang sudah Endric persiapkan. Julian mengarahkan postol tersebut ke arah kepalanya sendiri, begitu pun dengan Dayatri dan Mutiara. Mereka berhalusinasi jika pembunuh sadis tersebut ialah diri mereka, dan harus segera dimusnahkan. Dari kejauhan, Devano menghitung jari satu sampai tiga ... setelah itu tepat angka tiga terdengarlah suara tembakan yang begitu nyaring. Keluarga utama Damiswary langsung terkapar lemah tidak berdaya di tempat asal mereka, darah mulai berlumuran hingga mengotori pakaian, sofa, dan lantai berbahan marmer yang mahal itu. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Julian terbatuk. Keluar darah segar dari mulutnya, kedua mata membelalak dengan cairan bening yang berhasil mengalir dari sudut matanya. Devano bertepuk tangan, sungguh cantik bukan rencananya? Dia membunuh bukan dari tangannya sendiri, cara yang sangat cerdas! "Endric, tinggalkan tempat ini sebelum gadis kecil itu kembali. Pantau dari kejauhan, saya ingin melihat bagaimana reaksi dia ketika pulang nanti." Devano menghela napas lega, senyum penuh kemenangan masih tercetak sangat jelas. "Lihat orang-orang munafik ini, mereka habis juga ditanganku!" Jika polisi melakukan pemeriksaan nanti, semua jejak dari Devano dan para pengawalnya tidak akan tercium. Ingat, mereka telah merencanakan dan bergerak dengan arahan yang sudah dibuat. Sungguh sempurna, tanpa meninggalkan celah kekalahan di dalamnya. Lagi pula, mereka tidak takut polisi--sebaliknya, Black Wolf-lah yang malah ditakuti semua orang. "Saya kembali ke villa, jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Besok pagi sebelum seluruh penduduk mengetahui perkara ini, kita kembali ke Jakarta." Devano melangkah cepat meninggalkan kediaman Damiswary, dengan sangat santai sambil bersiul menuju villa. Dia menang, tidak ada yang berhasil mengalahkan dirinya. **** Mimpi buruk itu sungguh nyata, kini Alesha melihat bagaimana orang-orang berusaha membersihkan sisa kejadian semalam. Air mata tidak berhenti membasahi kedua pipi, begitu pun dengan lidah yang masih kelu sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Berkali-kali Alesha mencoba menyadarkan diri jika semua ini adalah mimpi, dia sedang tidak berada di dunia nyata. Namun malang, kesedihan itu terus menerjangnya tanpa ampun. Menyakiti perasaan Alesha, membuat gadis itu mati rasa dalam sekejap mata. Tidak tahu ini berawal dari mana, semua orang tiba-tiba sudah pergi meninggalkannya. Alesha sendirian, dia tidak memiliki siapa pun lagi. Semalam ... setibanya di rumah bersama Paman Chard, Alesha memekik kaget melihat ketiga orang tersayangnya meregang nyawa secara mengenaskan di ruang keluarga. Gadis itu langsung pingsan, Paman Chard yang membawanya ke kamar lalu berusaha menghubungi pihak berwajib. Paman Chard hampir kena serangan jantung, apalagi dia sudah cukup berumur. Dengan berderai air mata, pria itu menghubungi polisi. Menceritakan kejadian secara tiba-tiba ini dengan suara bergetar, tidak sanggup. Semua terjadi tanpa ada yang mengetahui bagaimana cerita sebenarnya. Mbok Sasy pun sadarkan diri ketika nyawa keluarga utama Damiswary sudah berakhir, dia hanya memberitahu keadaan dirinya yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Saat bangun, Mbok Sasy berada di kamarnya. Terbaring dan berasa tidur dalam kenyamanan. Paman Chard mengusap bahu Alesha, menyadarkan gadis itu dari lamunannya. "Papa, Mama, dan Eyang akan segera dimakamkan. Ayo ke halaman, kita antarkan mereka dengan berusaha lapang d**a, Nak." Alesha menatap Paman Chard, sedari tadi dia duduk dalam kekosongan di ruang depan. Melihat orang-orang terus berdatangan, melakukan segala hal sebelum pemakaman. Ada banyak sekali tangis air mata, semua orang mencoba menguatkan Alesha. Nyatanya, dia tetap bersedih. Sudah tidak tertolong, Alesha kehilangan dunianya. "Bagaimana ini? B-bagaimana aku bisa baik-baik saja, Paman? Papa, Mama, dan E-eyang ... mereka meninggalkanku!" Paman Chard mengangguk, mengerti sekali dengan perasaan Alesha. Mengatakan kuat tidak semudah membalik telapak tangan. Keadaan paling buruk sedang mereka jalani, diharuskan sabar menerima semuanya--meski raga berkali-kali menolak tidak bisa. "Paman mengerti, Nak. Ayo kita antarkan mereka menuju surga. Kamu kuat, ada Paman di sini." Alesha menggeleng. "Aku tidak kuat, aku sudah lemah. Kedua kakiku ikut direnggut secara paksa, aku sudah tidak berdaya!" Menangis, hanya itu yang Alesha lakukan sejak semalam. Matanya membengkak, merah dan rasanya lelah sekali. "Kenapa tidak merenggut nyawaku sekalian, Paman? Aku akan lebih bahagia jika ikut Mama, Papa, dan Eyang." "Tuhan masih menginginkan kamu menjadi warna dalam dunia ini, Nak. Bertahanlah sedikit lagi, Paman tahu keadaan ini berat. Tapi yakin, kamu bisa melewatinya dengan baik." Hanya terdengar isak tangis, tubuh bergetar lemas tanpa mau berhenti. "Aku tidak sekuat itu, Paman. Aku tidak begitu--" "Kamu bisa melakukannya!" Paman Chard mengulurkan tangannya kepada Alesha, mengangguk yakin. Sejak tadi pria itu berusaha menahan tangis, tidak ingin menambah kesedihan di antara mereka. "Ayo, Nak." Sambil merangkul tubuh lemah Alesha, Paman Chard membawa gadis itu ke sekitar pemakaman. Menyuruh Alesha duduk pada sebuah kursi yang sudah disediakan, agar bisa menyaksikan orang-orang mengantarkan Julian, Mutiara, dan Dayatri ke tempat pengistirahatan terbaik--sisi Tuhan. Melihat orang-orang memanjatkan doa, Alesha tak kuasa menahan tangisnya. Tisu yang sedari tadi dia pegang sudah basah, tidak cukup untuk menyeka kesedihannya. Proses pemakaman dilakukan satu persatu, ketiganya dimakamkan bersisian. Nyawanya terasa melayang, mata Alesha terus berkabut tanpa henti. Hidung sudah terasa perih, berkali-kali Alesha menyeka ingusnya dengan kasar. Pipi, kedua kelopak mata, ujung hidung, dan bibir kompak berwarna kemerahan. Paman Chard setia berada di sisi Alesha, menguatkan gadis rapuh itu. "Nak, jangan lupa panjatnya doa untuk orang tua dan eyang kamu." Alesha tidak mengeluarkan suara apa pun, hanya air mata yang lagi-lagi menjawab semuanya. Di seberang sana, Devano sedang duduk santai pada kursi kebesarannya. Dia melihat dari layar benda canggih bagaimana kesedihan menyelimuti orang-orang di daerah sana. Terutama yang mencuri perhatian Devano ialah Alesha, mental gadis itu ikut terenggut. Inilah yang Devano inginkan, dia senang melihat air mata itu jatuh penuh luka. "Sudah saya bilang, hanya akan ada tangis dan kesedihan." Menghela napas panjang, bersandar sambil memutar kursinya menyerong ke kiri dan ke kanan. Dia begitu menikmati kesakitan yang tercipta, menjadi kebahagiaan tersendiri yang sulit dijelaskan. "Nikmatilah kesakitan ini, Alesha. Sampai bertemu di waktu yang sudah saya persiapkan!" **** Flashback lima tahun yang lalu berakhir di sini. Besok kita bertemu di masa sekarang. Alesha berusia 20 tahun dan Devano 35 tahun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN