Pagi-pagi sekali, saat embun masih kabut menutupi area perkebunan keluarga Damiswary, Alesha sudah jalan-jalan mengelilingi kebun teh. Dia mengenakan celana leging panjang, dipadukan dengan crewneck putih kebesaran, syal, dan topi kupluk senada. Rambut Alesha dikepang rapi, sesekali keluar asap dari mulutnya ketika menghela napas--cuaca sekitar yang masih sangat dingin, tidak menyurutkan semangat gadis itu untuk melihat hal-hal yang memanjakan matanya. Sejak semalam Alesha berniat joging, sembari melihat pemandangan alam sebelum munculnya matahari.
Jemari lentik yang terlihat semakin memucat itu menyentuh permukaan daun teh yang basah akibat embun, menghirup dalam-dalam udara segar di daerah sana. Senyum Alesha merekah, dia seperti berada di surga. Begitu tenang dan damai, membuat perasaan jauh lebih baik.
"Astaga, ngapain Paman berdiri di sana? Kabut embun bikin Paman kayak hantu!" desis Alesha kembali kaget melihat kedatangan Devano secara tiba-tiba. Tadi dia sedang berusaha rileks, menutup mata, sembari menarik napas. Kedua tangannya direntangkan, menengadah ke langit. Udara dingin membelai kulit wajah mulus Alesha, membuat kantuk cepat hilang.
Tubuh tinggi tegap dengan bisep otot terukir apik membentuk perawakan sangat sempurna bagi seorang Devano. Rahang tegasnya, semakin tampan jika dia menarik senyum. Sayangnya, sangat jarang hal itu terlihat darinya. Dingin, kejam, dan tidak memiliki perasaan adalah milik Devano. Aura jahat dari dendam masalalu menyelimuti sosok Devano yang hangat dan penyayang. Sorot matanya pun jarang terlihat berbinar indah penuh kebahagiaan, selalu terkesan menukik setajam belati. Siap menguliti siapa saja yang berani berurusan dengannya. Tidak ada ampun, Devano tidak memiliki rasa iba kepada musuh-musuhnya. Ketika dia katakan, "Habisi mereka!" Maka ratalah bagian keluarga itu, tanpa tersisa sedikit pun.
"Selalu berpakaian serba hitam, Paman juga memperlihatkan tampang yang menyeramkan. Paman benar-benar seperti seorang penjahat, seperti penculik di dalam film!" Lantas bergidik, dia mulai was-was. Alesha takut jika pria tampan di hadapannya ini beneran berubah menjadi hantu atau penculik kelas kakap seperti di film yang pernah dia nikmati. Tapi Alesha lihat dengan baik, kedua kakinya menapak di tanah, tidak melayang--jelas bukan hantu. Sementara kemarin sore, pria itu juga terlihat tidak terlalu buruk. Masih bingung, siapa sebenarnya dia?
Devano memijat pelipisnya, kemudian kembali memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket tebalnya. Devano juga mengenakan syal, hanya saja semua yang dia kenakan serba hitam. "Harusnya saya yang bertanya. Kenapa setiap kali saya berkeliling, selalu bertemu bocah seperti kamu!" Menggertakkan gigi, rahangnya ikut bermain semakin mempertegas wajah datarnya.
Alesha berdecak. Kedua tangannya terlipat di depan dadà. "Paman ini omongannya sangat kejam! Paman berasal dari mana, hem ... neraka bagian mana maksudku?" Sambil terkekeh geli, dia hanya bercanda. Selain cantik dan cerdas, Alesha juga pembaca keceriaan bagi orang-orang sekitar.
Devano terkesiap, tidak menyangka jika gadis kecil di hadapannya itu begitu berani. Aura dari seorang Devano memang mengerikan, dia bukan orang sembarangan yang bisa diajak membuat lelucon. Tapi lihat saja, hanya Alesha yang berani melakukannya. Malah ucapan tegas Devano dijadikan bahan candaan. "Mau saya jemput kamu ke neraka?" balas Devano sarkasme. Tidak peduli saat ini Alesha sedang melebarkan matanya, Devano hanya menunjukkan senyuman miring. "Jangan bermain-main sama saya, kamu akan menyesal."
Awalnya takut sekali, namun Alesha berusaha memahamu situasi. "Siapa yang mengajak Paman bermain? Aku hanya bertanya sedikit lebih sopan agar Paman tidak tersinggung. Jangan terlalu serius, dunia itu kejam, perlu hiburan sedikit sebagai warna biar tidak monoton."
"Cih! Kamu masih terlalu kecil untuk memberitahu saya." Sebelum Alesha menyahut, Devano lebih dulu menyelanya. "Stss! Tidak usah banyak omong, saya pusing. Pulanglah ke rumah, ciptakan banyak kebahagiaan sebelum semua saya rebut secara paksa!" Devano bergumam kecil di akhir kalimatnya. Pria itu sungguh misterius di mata Alesha, baru pertama kali dia bertemu orang seperti Devano.
Alesha menaikkan sebelah bahunya ketika tidak mengerti dengan baik apa yang sedang Devano bicarakan. "Nama Paman siapa? Paman juga tinggal di mana? Kok bisa-bisanya selalu memasuki perkebunan teh milik Eyang!" cecar Alesha tidak lelah. Dia masih penasaran, keningnya mengerucut bingung.
"Saya tidak berminat berkenalan dengan bocah seperti kamu!" Mengangkat kedua bahunya, lalu balik kanan. Devano melangkah lebar meninggalkan Alesha yang masih terdiam penuh tanda tanya.
"Hei, Paman. Jangan memanggilku bocah lagi, aku punya nama. Namaku Alesha!" teriaknya berharap Devano mendengar. "Salam kenal ya, kamu terlihat menyebalkan. T-tapi ... lumayan tampan!" Alesha mengantup bibirnya, memikirkan kembali kalimat terakhirnya. Syukurlah Devano sudah jauh, mungkin pria itu tidak mendengar kalimat konyolnya tadi.
"Hidup Paman itu seperti memiliki beban yang besar. Dia sama sekali tidak memiliki keceriaan, tampangnya penuh dengan kesedihan." Alesha berspekulasi sendiri dengan apa yang dia lihat. Ini pertemuan kedua, dan ekspresi Devano masih sama seperti kemarin sore. Seperti bukan manusia, apa seperti itu Malaikat pencabut nyawa?
Seseorang menyentuh bahu Alesha, mengagetkan gadis itu hingga memekik kaget. "Ya Tuhan, jantungku dua kali ingin lompat dari tempatnya!" ringis Alesha mencoba mengusap-usap permukaan dadànya. "Papa, ngapain di sini?" Alesha menghela napas lega, ternyata orang itu Julian.
"Kenapa bisa kaget gitu, Sayang? Kamu sedang apa diam di sini sendirian? Apa terjadi sesuatu dengan kamu?" Julian mengusap pipi Alesha, terlihat memucat sebab terlalu putih kulitnya. Untung saja kedua bibir Alesha berwarna kemerahan, biasanya semakin fresh jika ditambah pelembab.
Alesha menggeleng cepat. Dia tidak akan memberitahukan soal Devano kepada Julian. Papanya pasti tidak akan tinggal diam, dia akan menangkap Devano dan menjadi masalah nantinya. Selagi Devano tidak membahayakan Alesha, gadis itu tidak akan cerita apa pun. "Nggak ada apa-apa, Pa. Aku hanya berkeliling sambil menunggu matahari terbit. Di sini tenang, damai, sejuk juga. Aku senang, moodku seketika membaik." Alesha memeluk lengan Julian, memberitahukan jika dirinya sedang baik-baik saja.
Julia mengangguk, dua mengusap puncak kepala Alesha yang tertutup topi kupluk. "Sekarang putri paling cantik Papa ini mau ke mana?" tanya Julian begitu gemas. Pagi-pagi Eyang Dayatri mencari keberadaan cucunya, rupanya Alesha keluar rumah hanya meminta izin pada Mbok Sasy. "Eyang panik nyariin kamu loh, Sayang, Mama juga."
Alesha terkekeh. "Mbok Sasy nggak bilang apa pun? Padahal aku udah izin sama dia. Habisnya aku liat kamar Papa sama Mama masih tertutup rapat, kamar Eyang juga. Aku takut ganggu pagi-pagi, jadi izinnya ke Mbok Sasy aja."
"Ada kok Mbok bilang, tadi sehabis bersihin halaman belakang. Keburu Eyang sama Mama panik duluan." Julian terkekeh. Kedua wanita itu memang begitu menyayangi Alesha, hingga jika Alesha menghilang, semua orang khawatir.
"Lihat, Pa, banyak burung berkeliling di sini ketika pagi. Mereka mengeluarkan suara merdu seolah membentuk alunan lagu, belum lagi awan yang sudah mulai terang. Indah banget, surga duniawi." Alesha kembali menghirup udara, senyumnya merekah. "Ayah sendirian nyusul Alesha ke sini?"
Julian mengangguk. "Tapi nanti Papa mau bertemu Paman Chard di kebun apel. Kamu kalau udah capek kelilingnya, pulang saja. Mandi, baru sarapan sama Mama dan Eyang di rumah."
"Ya sudah, matahari juga udah mau naik, aku pulang deh." Alesha mengusap perutnya yang kebetulan juga sedang lapar. Pagi-pagi dalam udara sejuk begini enak sekali meminum cokelat hangat. "Papa udah sarapan?" Sebelum Alesha berpisah dengan Julian, gadis itu memusatkan tatap pada Papanya.
"Sudah, Sayang. Sebelum ke sini tadi Mama udah siapin sarapan buat Papa. Tadi Mbok Sasy buatkan roti bakar cokelat, katanya khusus buat kamu."
Mata Alesha berbinar, dia mengangguk mantap. Cacing-cacing di perutnya sudah melakukan demo ingin segera diberi asupan makanan. "Baiklah. Aku akan segera pulang. Perutku sudah lapar sekali, Papa hati-hati ya. Nanti kalau sudah mandi, aku mau ke kebun bunga. Aku mau merangkai bunga lagi hari ini."
"Duh, Sayang, kapan istirahatnya kalau jalan-jalan terus?" Julian tersenyum, dia mencubit pipi Alesha.
Alesha terkikik geli. "Nggak masalah, Pa, aku senang melakukannya. Ya sudah, Papa segeralah temuin Paman Chard, aku mau pulang. Dadah, Papa!" Sebelum dia beranjak, Alesha mengecup singkat pipi Julian. "Alesha sayang Papa." Lalu melambaikan tangannya menuju kediaman utama. Pasti Eyang Dayatri, Mutiara, dan Mbok Sasy sudah menunggu kedatangan Alesha.
****
Devano duduk di sebuah sofa single berwarna hitam. Semua diambil dari warna gelap yang satu ini, semakin menunjukkan jika sang empunya benar-benar tidak tersentuh. Hidupnya tidak jauh-jauh dari sepi, mematikan, dan penuh kegelapan. Beberapa senjata tajam terselip di tempat rahasia dalam ruangan itu, jika ada penyusup dijamin tidak akan bisa kembali lagi dengan nyawa yang utuh. Berurusan dengan gangster satu ini--black wolf--siap habis tanpa tersisa, tidak pandang bulu dia dari keluarga siapa dan kedudukannya bagaimana. Tidak ada rasa iba, mereka bahkan tak kenal yang namanya hati.
Asap rokok menyembul dari mulut Devano, kemudian terdengar menghela napas sambil memijat pangkal hidup. Dia sedang fokus mengecek beberapa berkas penting yang akan membawanya kepada kemenangan hingga masa depan. Itu berkas yang sengaja diatur oleh tangan kanannya, kemudian tinggal memasukkan coretan tanda tangan ketiga pihak yang terkait.
"Apa semua yang saya pinta sudah termuat ke dalam berkas ini?" Devano hanya membaca bagian inti, ada beberapa poin yang memang sudah sesuai dengan kemauannya. Jangan sampai ada yang terlewat, ini bisa menyebabkan kekacauan di masa akan datang, rencananya akan gagal total. "Saya tidak ingin menerima kecacatan dalam segi mana pun!" Lalu menutup berkasnya, menyerahkan kepada Endric. "Jam tujuh nanti kita pergi ke kediaman Damiswary. Pastikan gadis kecil itu tidak berada di rumah, saya tidak ingin dia melihat kejadian mengenaskan ini."
Endric menautkan alis. Dia sedikit terkejut, ini di luar daripada rencana awal. Ada apa dengan gadis bersepeda itu? Baru kali ini ada seseorang yang mengubah perhatian seorang Devano. Bahkan diloloskan dari rencana yang seharusnya.
"Tidak usah banyak berpikir, ini perintah dari saya. Amankan gadis kecil itu, ajak dia keluar hingga semua masalah dibereskan." Devano menyesap rokoknya lagi, kaki sebelah kanan terlipat ke atas kaki sebelah kiri, sungguh santai. Dia bersandar di sofa, mengulas senyum licik. "Jika gadis itu menolak, buat dia tidak sadarkan diri. Pokoknya jangan sampai dia melihat apa yang akan terjadi pada orang-orang tersayangnya."
Endric mengangguk patuh. Sebelum berlalu dari ruangan tersebut, bodyguard sekaligus orang kepercayaan Devano mengutarkan lagi satu pertanyaannya. "Apa pembantaian nanti masih sesuai dengan rencan awal, Tuan?"
"Tentu saja. Saya hanya melakukan pengecualian pada gadis kecil itu. Dia akan saya hukum dengan cara yang lebih cantik. Akan saya biarkan dia bernapas lebih panjang, merasakan bagaimana hidup seorang diri dalam sepi." Sorot mata Devano tertuju pada satu titik, ke arah lukisan Alesha yang berhasil dia buat. Terbentuk sangat apik oleh jemarinya, selesai hanya dalam satu malam pengerjaan. Sangat niat sekali, bahkan Devano tidak tahu lukisan itu menunjukkan arti apa. Tidak bertujuan, sekadar hanya ingin.
"Saya sudah menyiapkan semuanya tanpa terkecuali, tinggal ke tempat utama Damiswary."
Devano mengangguk kecil, dua jarinya digerakkan menyuruh Endric meninggalkan Devano tanpa suara. Saat sendirian, Devano bangkit dari sofa, melangkah pelan mendekati lukisan Alesha.
Senyuman jahat terulas nyata pada wajah tegas pria itu. Jari telunjuk bergerak mengusap dagu secara perlahan--entah memikirkan hal apa, merasakan sensasi bulu-bulu halus menumpuhi bagian rahang.
Lukisan itu seolah nyata, sangat mirip dengan Alesha yang sedang tersenyum bahagia, menunjukkan deretan giginya yang rapi. Bulu mata lentik dipadukan dengan iris cokelat yang menenangkan, terbentuk sempurna di permukaan canvas. Yang tak kalah mencuri perhatian ialah bagian leher jenjang Alesha. Kalung dengan liontin batu giok biru melingkar indah, bersinar pada kulitnya yang bersih.
"Saya akan mengubah senyum dan binar penuh bahagia ini menjadi tangis." Tidak ada ekspresi apa pun, hanya tatapan mata yang bergerak secara teliti menelisik setiap celah wajah Alesha bak seorang Dewi Yunani. Tidak bosan dipandang, menarik perhatian untuk penikmat wajah cantiknya. Tetapi Devano bukan salah satunya, dia bahkan tidak tertarik dengan gadis kecil itu.
Devano mengambil kuas paling kecil, menambahkan ukiran nama pada bagian bawah sebelah kanan--Alesha Damiswary. "Saya akan menghancurkan semuanya tanpa tersisa, ucapkan selamat datang pada tangis dan air mata." Suaranya berubah berat, lalu kembali menegakkan tubuh. Sekali lagi, Devano mengamati lukisannya.
Tidak ada lagi suara. Tidak ada lagi yang ingin Devano sampaikan. Kesabarannya telah habis, kini waktunya kehancuran yang mempertemukan mereka dalam hitungan jam.
****
Besok akan update lagi! Damian juga update di jam seperti biasa 16.00 wib ya.