Episode 4

1330 Kata
Episode 4 #Kakak Ipar Bukan keinginanku Aku meninggalkan rumah tanpa tau arah tujuan. Sebenarnya tubuh ini masih sangat lelah setelah beres-beres setibanya dari Cirebon. Tapi mendengar kabar papa akan menjodohkan ku dengan anak sahabatnya, tiba-tiba hatiku jauh lebih lelah. Kenapa tak seorangpun mengerti kalau aku masih ingin sendiri? Persetan dengan penyakit mama, persetan dengan usia yang sudah 28 tahun, aku tidak peduli. Jodoh akan datang jika sudah tiba saatnya. Kenapa harus dipaksakan dengan perjodohan yang belum tentu membahagiakan? Ku parkir motor di sebuah cafe ternama. Untunglah aku masih sempat meraih dompet dan ponsel sebelum pergi. Sengaja ku ambil tempat duduk di arah pojokan. Belum juga memesan sesuatu, dering ponselku berbunyi. Kak Nora memanggil, pasti mama yang memintanya. "Ada apa kak?" jawabku ogah-ogahan. "Kau dimana Jihan?" tanyanya di ujung telepon. "Kakak tidak perlu tau dimana aku saat ini. Yang pasti aku baik-baik saja. Katakan itu pada mama dan papa. Jika hatiku sudah tenang, aku pasti pulang dengan sendirinya." jawabku sambil mematikan ponsel. Sengaja ku abaikan panggilan kak Nora saat wanita itu menghubungi lagi dan lagi. Biarkan saja, toh aku sudah mengatakan apa yang ingin ku katakan. Ku pesan cemilan ringan beserta secangkir coklat panas. Ku lirik ponselku yang terus berbunyi. Kali ini kak Gema yang memanggil. Aku tidak bisa mengabaikan panggilan laki-laki pujaan hatiku itu. "Kau dimana? Sejak tadi kakak menghubungimu tapi kau abaikan semua panggilan kakak." ujar kak Gema di ujung telepon. Aku tersenyum kecil. Meski nada suaranya sedikit keras, entah mengapa hatiku tetap nyaman mendengarnya. "Sorry kak. Aku lupa kasih kabar. Sebenarnya aku sudah sampai 1 jam yang lalu. Karena takut mengganggu kesibukan kakak, aku sengaja pulang naik taksi." jawabku menjelaskan. "Lalu sekarang kau dimana? Kenapa mama meminta kakak mencarimu?" tanya kak Gema. Aku diam sejenak, berpikir keras apakah aku harus memberitahukan posisiku saat ini pada kak Gema. Setelah menimbang-nimbang dan memperhatikan penampilan, akhirnya aku mengalah juga. "Aku di kafetaria Flower 2, kakak pasti tau tempat ini." ujarku yakin. "Jangan kemana-mana, kakak segera berangkat." Kak Gema mematikan ponsel tepat setelah aku menjawab iya. Sepertinya mama dan kak Nora meminta bantuan laki-laki itu untuk membujukku. Cukup lama menunggu, kak Gema datang masih dengan setelan kerja. Laki-laki itu terlihat berkali-kali lebih tampan dari biasanya. Aku menyembunyikan wajahku yang memerah saat kak Gema menghampiri dan langsung melepaskan jas yang dia pakai. "Kenapa dandananmu seperti ini?" tanyanya sambil meletakkan jas diatas pangkuanku. "Memangnya saat marah seseorang masih bisa menghawatirkan soal penampilan?" jawabku kesal. Kak Gema duduk tepat dihadapan sambil melonggarkan dasinya. Laki-laki itu juga menggulung kemeja sampai ke siku. Aku memperhatikan kak Gema tanpa berkedip. "Jadi sebenarnya kau kenapa? Mama menangis saat menelpon dan meminta kakak mencarimu." Aku mendesah malas. "Seharusnya aku yang menangis. Baru juga sampai ke Jakarta, ternyata papa sudah merencanakan perjodohan dengan sahabatnya itu. Memangnya aku ini boneka? Apa mereka tidak tenang jika aku berlama-lama melajang? Salahnya melajang itu apa sih kak?" Kak Gema meraih coklat panas milikku dan menyesapnya perlahan. "Melajang memang tidak salah Jihan. Yang salah itu jika kau tidak punya keinginan untuk menikah. Jika kau punya pacar, mereka pasti tidak akan mengatur kencan buta untukmu. Memangnya sekarang umurmu berapa?" tanya kak Gema. "28." jawabku singkat. Kak Gema manggut-manggut, seolah mengerti atas apa yang ku alami. "Lihat dirimu? Apa pantas wanita berusia 28 tahun keluar rumah dengan celana pendek, kaos oblong kedodoran, dengan rambut berantakan? Kau masih terlihat seperti remaja labil Jihan." "Salah siapa coba? Itu karena mama dan papa membuat kesepakatan tanpa meminta pertimbangan dariku terlebih dulu. Aku bahkan tidak punya malu ke kafetaria sebesar ini pakai sandal jepit dan muka kusam." omelku pelan. Ku lirik kak Gema yang sedang menahan tawa. Aku ingin marah tapi tak bisa. Dia terlalu mempesona untuk dimaki-maki. "Jadi kau kesini naik apa? Taksi?" tanya kak Gema mengalihkan pembicaraan. Aku tak langsung menjawab saat kak Gema sibuk memesan secangkir kopi dan kue pengganjal perut. Hari memang sudah cukup siang untuk makan. "Motor." "Motor?" tanya kak Gema tidak yakin. "Iya, aku bawa motor kak. Bahkan aku lupa memakai helm. Untung saja tidak ditilang." "Astaga Jihan, kau cari mati?" bentaknya. Aku menggeleng. "Aku membangkang karena belum ingin mati kak. Kalau mau mati, aku pasti langsung menyetujui perjodohan yang diatur papa." Kak Gema tampak prihatin melihat wajahku yang memelas. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan seperti ini. Tapi, dihadapan kak Gema, aku tidak berhasil menyembunyikannya. "Begini saja, temui dulu laki-laki pilihan papa. Jika kau tidak suka, kakak akan membantumu keluar dari perjodohan itu." usul kak Gema. "Benarkah? Jangan-jangan kakak dan papa sekongkol untuk mengusirku dari rumah." ucapku penuh selidik. "Jangan berpikir buruk pada keputusan orang tua, Jihan. Mereka begitu karena mereka ingin membahagiakanmu." Aku bersungut-sungut marah. Jika mereka ingin melihatku bahagia, biarkan saja aku jadi istri kedua kak Gema. Itu lebih masuk akal daripada mencari laki-laki lain. Ah tapi, jika mereka tau aku menyukai kak Gema, mereka pasti menguburku hidup-hidup. "Dari tadi kau terus menatap kakak, sedang memikirkan apa?" Pertanyaan kak Gema, sontak membuatku kembali ke alam nyata. Segera ku alihkan pandangan ke luar jendela, mencoba mengusir perasaan nyeri karena menginginkan kakak ipar sendiri. "Aku sedang menyesali keputusanku kembali ke kota ini." jawabku pelan. Tanpa di duga, kak Gema meraih tanganku. Menggenggamnya lembut seraya berucap pelan. "Apa kau tau bagaimana cara menikmati penyesalan?" Aku menggeleng. "Hiduplah dengan bahagia, Jihan. Jika kau berusaha hidup bahagia, tidak ada yang perlu kau sesali." lanjut kak Gema. Laki-laki itu menarik tangannya dan mulai menyesap kopi. Ku ambil minumanku dan ikut menyesapnya. Apa yang akan kak Gema pikirkan jika dia tau aku menyukainya? *** "Aku akan pulang jika kakak mengajakku nonton." tiba-tiba ide itu muncul saat kami dalam perjalanan. Kak Gema meminta sopirnya membawa motorku pulang. Diam-diam aku senang dengan keputusannya itu. "Nonton? Itu gampang. Kakak akan turuti jika kau mengikuti kemauan papa, bagaimana?" Aku menggerutu sambil memalingkan wajah ke luar jendela. "Kakak benar-benar sudah sekongkol dengan papa. Seharusnya aku tidak mempercayai kakak." Kak Gema tertawa pelan. "Jangan membuat kesimpulan sendiri Jihan. Kakak memintamu seperti itu agar kau tidak menyakiti hati papa dan mama. Mereka sudah tua, mama sudah sakit..." "Alasan itu lagi." ucapku malas. "Sudahlah, kakak tidak ingin berdebat. Apa masih ada tempat yang ingin kau kunjungi?" Aku mendesah malas. "Nonton, itu saja." Kak Gema kembali tertawa. Entah dalam sadar atau dibawah alam tidak sadar, tangan kak Gema terulur mengacak rambutku. Sekarang kak Gema benar-benar berubah menjadi laki-laki yang sangat menyenangkan. Jika tau kejadiannya akan seperti ini, seharusnya aku sudah kembali sejak lama. "Baiklah kakak akan menemanimu." ujarnya mengalah. Aku tersenyum simpul. Kak Gema benar-benar dewasa. Dia tidak menyudutkan seperti orangtuaku sendiri. Kak Gema tidak mendorong secara terang-terangan. Mungkin kak Gema sedang dalam proses membujukku. Tapi caranya yang lembut, membuatku nyaman berada didekatnya. *** Kami menonton film barat yang kebetulan ada adegan dewasanya. Diam-diam ku lirik kak Gema. Laki-laki itu tetap fokus, sama sekali tidak risih meskipun layar mempertontonkan hal yang menggugah iman. Tanpa diduga, kak Gema menoleh ke arahku yang tengah asyik menatap wajahnya. "Ternyata kau suka menonton film yang seperti ini." bisik kak Gema sambil mendekatkan diri. Wajahku merah padam. Jika suasana di bioskop tidak gelap, sudah pasti kak Gema akan menyadarinya. "Aku tidak tau kak. Aku memilih film ini karena aku suka genre romantis." ujarku membela diri. "Kakak tidak melarang karena kau sudah dewasa." ujarnya pelan. Aku mengangguk patuh. Saat ingin mengambil cemilan, tak sengaja tangan kami bersentuhan. Kak Gema kembali menoleh dan tersenyum singkat. Tak lama laki-laki itu memindahkan cemilan ke atas pangkuanku. Begitu lebih baik. Mungkin kak Gema tidak mau bersentuhan terus-menerus denganku. Sepanjang film diputar, kami menonton dalam diam. Pun sampai film selesai, kak Gema tak lagi banyak bicara. Saat hendak keluar, tak sengaja kakiku terpeleset. Aku hampir terjatuh kebelakang jika kak Gema tidak sigap memegangi. Tubuhku yang kehilangan kendali, melekat erat di d**a bidang kak Gema dalam posisi membelakangi. Satu tangan kak Gema melingkar di pinggang untuk menahan bobot tubuhku agar tidak jatuh. Posisi ini membuat jantungku berdebar tidak karuan. Entah apa yang dirasakan kak Gema. Yang pasti wangi tubuhnya yang seksi, membuatku betah di peluk seperti ini. Ah andai ini bukanlah sebuah kecelakaan. Pasti rasanya akan jauh lebih manis. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN