Episode 3
#Kakak Ipar
Bukan dia?
"Kenapa berhenti mendadak Kak? Kita bisa ditangkap polisi."
Kak Gema menyadari kesalahannya. Buru-buru laki-laki itu menjalankan mobil dengan wajah memerah.
"Soal kejadian malam itu, kakak tidak bermaksud apa-apa. Saat itu sepertinya kau bermimpi dan tiba-tiba memeluk kakak." jelas kak Gema.
Aku menyembunyikan muka dengan melihat ke luar jendela. Ternyata kak Gema kaget soal kejadian malam kemarin bukan kejadian semalam.
"Ku pikir kau akan malu jika kakak mengatakan kebenarannya. Untuk itu kakak memilih diam dan merahasiakan kejadian itu." sambung kak Gema.
"Apa kakak merasa risih? Jika aku tidak salah ingat, aku bermimpi memeluk kakak, apa itu nyata?" tanyaku ragu-ragu.
Kak Gema menoleh sekilas sebelum akhirnya mengangguk.
"Kau juga mengatakan..."
"Stop! Aku tidak ingin mendengarnya kak."
Kak Gema tertawa melihat wajahku yang memerah. Aku menyesal menanyakan soal kejadian semalam jika ternyata kak Gema malah membahas kejadian kemarin malam. Sial! Ternyata itu bukan mimpi.
"Kau lucu sekali, Jihan. Memangnya kakak menyiksamu seperti apa?"
Aku memukul pundak kak Gema pelan, bermaksud memintanya berhenti membahas apa yang ku igaukan kemarin malam.
"Jika semalam bukan kakak, lalu siapa yang menemaniku tidur?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Kak Gema mengangkat bahu sambil menghentikan mobilnya di parkiran bandara. Aku bisa menyimpulkan kak Gema tidak tau soal kejadian semalam.
Masih terlalu pagi saat kami sampai. Aku dan kak Gema memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan lagu-lagu lawas. Momen kali ini sengaja ku nikmati tanpa ada perasaan bersalah. Lagipula kami tidak sedang selingkuh. Hanya hatiku yang tidak bisa berhenti menginginkan kak Gema.
Saat tanganku terulur untuk mengganti lagu, kak Gema pun melakukan hal yang sama. Jadilah tangan kami bersentuhan tanpa disengaja.
"Ternyata kau juga tidak menyukai lagu ini." ujar kak Gema.
Aku mengangguk dan membiarkan laki-laki itu memilih musik yang dia suka. Saat kak Gema memutar musik dengan genre rock, aku langsung mengubahnya. Lagu romantis lebih cocok untuk suasana kami saat ini, tak akan ku biarkan kak Gema merusak suasana.
Kak Gema yang tidak terima, kembali memutar lagu pilihannya. Alhasil, kami malah saling berebut hingga tanpa sadar tangan kami menggenggam erat. Kak Gema memegangi kedua tanganku agar aku tidak usil memindahkan lagu lagi.
"Kakak curang." ujarku cemberut.
"Kenapa curang?" tanyanya polos.
Ku biarkan kak Gema tetap menggenggam tanganku sambil menikmati iringan musik rock pilihannya. Sangat tidak kontras dengan suasana romantis yang tiba-tiba tercipta. Ah andai dia menggenggam tanganku karena suka, itu pasti jauh lebih menyenangkan.
"Ngomong-ngomong sampai kapan kakak akan menggenggam tanganku?"
Kak Gema tampak gelagapan. "Sorry kakak tidak sadar. Kau seperti adik yang pembangkang dan keras kepala, kakak malah tertantang untuk menjinakkan adik menggemaskan sepertimu."
Aku mendesah kecewa. Jadi bagi kak Gema aku hanya seorang adik? Kenapa kata-katanya justru terasa menyakitkan?
"Kok diam? Kau marah?" tanya kak Gema.
Aku menggeleng. "Sebaiknya kak Gema segera ke kantor. Masih terlalu lama jika harus menunggu pesawatnya berangkat." ujarku pelan.
"Kau marah ya? Kok tiba-tiba mengusir kakak?"
"Bukan mengusir kak, aku cuma takut pekerjaan kakak jadi tertunda karena menungguku." jawabku cepat.
"Jika ada pekerjaan yang akan tertunda, tentu saja kakak sudah pergi dari tadi. Kenapa? Kau tidak suka kakak temani? Apa bersama kakak tidak menyenangkan? Apa bersama kakak benar-benar menyiksamu?" tanyanya sambil menatapku lekat.
Baru kali ini kak Gema bersikap seperti itu. Seingatku kak Gema tidak pernah menampakkan keinginan untuk bercanda apalagi menggoda. Aku mengedipkan mata beberapa kali karena kaget dengan sikap kak Gema. Alih-alih menjawab, aku malah menempelkan tangan di kening laki-laki itu.
"Kakak sehat?" tanyaku pelan.
Kak Gema meraih tanganku sambil tertawa. Itu tawa yang paling manis yang pernah ku lihat.
"Apa kakak terlihat seperti orang sakit?"
Aku menggeleng. "Kalau tidak sakit, lalu..."
Aku mengurungkan bertanya setelah tidak menemukan kalimat yang tepat untuk ku lontarkan.
"Lalu apa Jihan?" tanyanya penasaran.
Ah kenapa aku jadi deg-degan? Sial! Kak Gema terlalu mempesona. Aku harus cepat-cepat meninggalkan kak Gema sebelum akal sehatku hilang kendali dan melayangkan kecupan singkat di pipinya.
"Sebaiknya aku masuk sekarang. Selamat jalan kak!" ucapku cepat sambil meraih tangannya untukku cium.
"Lalu apa Jihan?" tanya kak Gema lagi tanpa berniat melepaskan tanganku.
"Kakak tidak akan melepaskanmu sebelum kau menjawab." tegas kak Gema.
Aku melongo. Apa dia benar-benar kak Gema?
"Kau mau jawab atau terus seperti ini?" ancamnya dengan senyum tipis.
Kulirik tangan kami yang masih melekat erat. Aku sangat menikmatinya. Terlebih, aku menikmati debaran jantungku yang semakin menggila.
"Itu, please kak aku bisa ketinggalan pesawat."
Aku memelas sambil membuang muka. Kak Gema akhirnya mengalah dan membiarkanku pergi. Buru-buru ku tinggalkan kak Gema tanpa berani menoleh. gila! Ini pengalaman yang paling gila yang pernah kami alami. Astaga, jantungku masih berdebar jika mengingatnya. Malam ini aku pasti kesulitan untuk tidur tanpa dihantui kejadian-kejadian tadi.
***
Tanpa sadar aku tersenyum mengingat kebersamaan kami sebelum berangkat. Tanganku masih terasa panas membayangkan saat tangan kak Gema menggenggamnya. Astaga, aku bisa gila.
"Seharusnya saat ini kau sudah sampai. Apa kau tiba di rumah dengan selamat?"
Pesan WA dari kak Gema membuatku melempar ponsel ke sembarang arah. Sedang asyik membayangkan kak Gema, orangnya malah menghubungi tanpa diduga. Ini kali pertama kak Gema menghubungi terlebih dulu. Dengan d**a berdebar, ku raih ponsel dan mulai mengirim pesan balasan.
"Aku sudah di rumah sejak 1 jam yang lalu kak. Terimakasih sudah mengantar sampai bandara."
"Kau terdengar seperti orang lain, Jihan." balas kak Gema.
Kali ini pesan kak Gema cuma ku read tanpa berniat untuk dibalas. Kak Gema banyak berubah. Rasanya masih aneh bisa berbalas pesan dengan laki-laki dingin itu.
Kak Gema yang menikahi kak Nora 2 tahun silam, adalah laki-laki sopan nan pendiam. Selain misterius dan tertutup, kak Gema hanya banyak bicara pada istrinya. Kini laki-laki itu berubah. Atau sebenarnya sejak awal kak Gema memang punya sifat menyenangkan dan terbuka. Saat itu mungkin aku terburu-buru menyimpulkan karena tidak dekat dengannya.
Tapi bukankah kami bisa saja dekat saat beberapa kali ku coba kirim pesan padanya? Kenapa saat itu kak Gema selalu membalas seadanya tanpa mau membicarakan hal sepele seperti saat ini? Apa ada yang salah dengan laki-laki itu?
"Dari tadi pesan kakak cuma di read. Apa kakak benar-benar membuatmu tersiksa?"
Aku tersenyum geli membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselku.
"Berhenti membahas tentang mimpi sialan itu kak!." jawabku diiringi emot kesal.
" Kau lucu sekali Jihan."
Aku tersenyum sendiri membaca pesan demi pesan yang kak Gema kirim. Rasanya hatiku berbunga-bunga. Ah andai sejak dulu kak Gema bersikap seperti ini, betapa menyenangkannya.
***
Sesuai kesepakatan, akhirnya aku kembali ke Jakarta. Kali ini, aku sengaja pulang menggunakan taksi agar tidak menggangu pekerjaan kak Gema. Sejak semalam kak Gema memintaku menghubungi jika sudah sampai bandara. Tapi rasanya terlalu merepotkan jika itu ku lakukan.
"Akhirnya kau kembali nak. Rumah ini terasa sepi tanpa kehadiranmu." ujar mama terharu.
"Bukankah kak Nora sering menginap? Sepi apanya." jawabku tanpa merasa bersalah.
Jika aku tidak kembali, rumah ini hanya dihuni oleh papa, mama, dan mbak Sumi. Tapi kadang-kadang, kak Nora dan kak Gema menginap beberapa malam menemani mama dan papa.
"Kau akan mengerti seperti apa rasanya jika kau sudah punya anak, Jihan. Ngomong-ngomong papa sedang menemui pak Darmawan untuk membahas masalah kalian. Anak pak Darmawan sudah setuju untuk bertemu denganmu."
Aku mengerutkan kening. "Apa yang mesti di bahas? Kami kan cuma kencan buta bukan bertunangan."
"Sepertinya papa sudah membahas masalah pertunangan." ujar mama pelan.
Aku meradang. Tunangan? Yang benar saja.
"Kenapa kalian tidak meminta pendapatku dulu? Aku saja belum bertemu orangnya, kenapa papa sudah membahas masalah yang lebih serius seperti itu?"
Aku berdiri sambil meraih kunci motor. Mama mencoba menghalangi dan memintaku mendengarkan penjelasannya. Karena marah, ku tinggalkan mama begitu saja. Kesal? Sudah pasti. Menikah bukan perkara main-main. Harusnya hal serius seperti ini didiskusikan baik-baik.
To be continue...