Episode 5
#Kakak Ipar
Rindu yang salah
Menyakitkan itu adalah, saat kita menyukai seseorang tapi orang yang kita sukai tidak pernah mengetahuinya. Aku mengalami sakit itu berkali-kali dan bertambah parah akhir-akhir ini. Ada perasaan bahagia ketika bisa berada dalam jarak yang sedekat ini dengan kak Gema. Dengan tubuh yang saling melekat dan dengan harum parfumnya yang memenuhi aroma penciuman. Tapi bahagia itu tak pernah bertahan lama. Jika kembali ke rumah, aku dihadapkan pada kenyataan kalau kak Gema adalah suami kak Nora.
"Mau sampai kapan kita seperti ini?" bisik kak Gema.
Aku gelagapan. Buru-buru ku benahi tubuhku hingga berdiri dengan benar. Tanpa berani menoleh ke belakang, ku tinggalkan kak Gema dengan langkah cepat. Entah seperti apa ekspresi kak Gema saat ini. Yang pasti, wajahku merah padam karena malu. Apa kak Gema sadar jika aku menikmati kejadian tadi?
"Apa masih ada tempat yang ingin kau kunjungi?" tanya kak Gema setelah kami berada di dalam mobil.
"Kita pulang saja kak." Jawabku cepat.
Kak Gema tersenyum melihatku yang salah tingkah. Bagaimana tidak salah tingkah? Jika ingat kejadian tadi, jantungku masih memompa dengan durasi yang sangat cepat.
"Oke kita pulang. Tapi ingat janjimu Jihan. Setelah hari ini, turuti apa yang papa mau. Jika kau memang tidak menyukai laki-laki pilihan papa, maka kakak akan mencari cara untuk membujuk papa agar melepaskanmu." ujar kak Gema serius.
Aku mengangguk malas. Jika sudah membahas masalah kencan buta dan perjodohan, lagi-lagi perasaan muak itu kembali. Memangnya ini zaman Siti Nurbaya? Ku tatap kak Gema yang tengah menyetir dengan serius. Betapa tampannya dia. Kak Gema laki-laki yang bijaksana dan luar biasa. Setidaknya seperti itulah hal yang bisa ku gambarkan tentang laki-laki yang kusukai ini.
***
"Kamu ini belum apa-apa sudah main lari saja. Papa dan pak Darmawan memang berencana menjodohkan kau dan putranya, Haris. Tapi itupun kalau kalian saling suka. Kalau setelah bertemu kalian tidak menemukan kecocokan, tidak mungkin kami memaksa kalian untuk menikah." jelas papa.
Aku menghela napas lega. Setidaknya kebebasan itu masih dapat ku rengkuh sampai aku benar-benar siap untuk menikah.
"Lain kali cari tau dulu kejelasannya baru melarikan diri. Mama sampai khawatir dan menangis karena menghawatirkan keselamatanmu." celetuk kak Nora.
"Maaf, aku memang salah. Aku janji akan menemui laki-laki pilihan papa dan bersikap baik." ucapku pelan.
"Papa sudah memberikan nomor ponselmu pada Haris. Dia bilang akan menghubungimu jika sudah punya waktu luang. Ingat! Jangan bersikap aneh. Kalaupun kau tidak menyukainya, jangan tunjukkan itu di depan Haris. Cukup katakan pada papa. Papa yang akan bicara pada pak Darmawan."
"Begitu lebih baik. Kita tidak bisa memaksa Jihan jika hatinya tidak menyukai laki-laki itu. Menikah bukan perkara sehari dua hari. Tapi menikah untuk sekali seumur hidup." bela kak Gema.
Aku terharu mendengar pembelaan kak Gema. Mama dan papa mengangguk setuju, pertanda mereka juga menyadari kalau cinta tak bisa dipaksakan.
Setelah kesalahpahaman diselesaikan, kak Gema dan kak Nora pamit pulang. Diam-diam aku masih tidak rela berpisah dengan kak Gema. Rasanya rindu ini terlalu berat. Merindukan seseorang tanpa bisa mengatakannya, adalah penyiksaan yang paling sakit.
***
Beberapa hari kemudian, Fandy datang dan mengajak jalan-jalan. Aku setuju saja karena memang belum bekerja. Sudah 3 hari kak Gema dan kak Nora tidak datang. Laki-laki itu juga tidak berkirim kabar. Sepertinya kak Gema kembali menjadi laki-laki dingin yang membosankan. Cih padahal dulu kak Gema berjanji akan mencarikan pekerjaan untukku. Sekarang, laki-laki itu bahkan tidak menghubungi.
"Ku dengar kau akan mengikuti kencan buta, apa itu benar?" tanya Fandy penasaran.
"Benar sekali, dan itu terdengar sangat memuakkan."
Fandy tertawa sambil menyentil keningku.
"Ngomong-ngomong, apa kau masih menyukai kak Gema?" tanya Fandy hati-hati.
Aku mengangguk singkat. "Hal yang satu itu bahkan jauh lebih memuakkan. Entah aku harus apa agar bisa melupakannya."
Kali ini Fandy tidak tertawa. Laki-laki itu menatapku serius sambil menikmati kopi.
"Jadi apa saja yang kau lakukan 2 tahun ini di Cirebon? Bukankah kau ke sana untuk melupakan kak Gema?"
"Ternyata melupakan laki-laki itu tidak semudah mengucapkannya, Fandy." jawabku jujur.
"Mungkin karena kau tidak berusaha dengan keras. Ingat Jihan, kak Gema itu adalah suami kak Nora. Apa yang akan keluargamu pikirkan jika mereka tau soal perasaanmu."
Aku menghela napas berat. "Kau benar. Ku rasa aku harus lebih serius untuk melupakan laki-laki itu."
"Kali ini aku setuju kau ikut kencan buta. Jika bertemu laki-laki lain, lambat laun kau akan punya hati untuknya. Dengan begitu, kau bisa melupakan kak Gema." ujar Fandy serius.
"Tadi kau tertawa, kenapa sekarang malah mendukung? Kau ini plin-plan sekali."
Fandy terkekeh sambil mengacak rambutku. "Aku ikut yang benar dan masuk akal. Kau sudah di luar jalur, sudah saatnya untuk disadarkan."
"Memangnya aku kesurupan."
Tawa Fandy pecah. Fandy satu-satunya orang yang tau soal perasaanku. Itulah kenapa aku nyaman bersamanya. Fandy juga orang yang mengusulkan agar aku menjauh. Waktu 2 tahun ternyata tidak merubah apa-apa. Aku malah kembali ke Jakarta dengan perasaan rindu yang semakin menggila.
***
"Nah itu orangnya pulang. Kalau sudah jalan sama Fandy, Jihan memang suka lupa waktu." ujar mama menyambut kedatanganku.
Aku tersenyum singkat pada kak Gema dan kak Nora. Begitu sampai, mama langsung memintaku duduk disampingnya.
"Karena kau belum kunjung mengajukan lamaran pekerjaan, kakakmu meminta agar kau bekerja di perusahaan mereka saja. Bagaimana?" tanya mama menjelaskan.
"Ini permintaan kak Nora atau kak Gema?" tanyaku hati-hati.
Bisa jadi itu kemauan kak Nora tanpa meminta pendapat kak Gema.
"Apa pertanyaan itu penting? Yang penting kau bisa kerja, Jihan." celetuk kak Nora.
Kak Nora itu tipe wanita yang kalau bicara suka membuat perasaan orang lain tidak nyaman.
"Kalau itu permintaan kakak, artinya kak Gema belum tentu membutuhkan karyawan di perusahaannya. Akan sangat memalukan jika aku hanya jadi pajangan karena tidak jelas kerja di bagian mana. Tapi kalau itu kemauan kak Gema, akan lain ceritanya." jawabku mantap.
"Siapa yang peduli kau kerja dibagian mana dan kerja apa. Yang penting kau di gaji dan tidak menganggur. Apa yang akan kau katakan pada Haris jika sampai waktunya tiba tapi kau masih saja belum bekerja juga?" omel kak Nora.
Aku mulai jengah berdebat dengan kak Nora. Pekerjaan bukan hanya soal jabatan dan gaji. Tapi aku punya tanggung jawab dan loyalitas untuk hal itu.
"Sudah jangan berdebat. Kakak sudah menyiapkan posisi yang cocok untukmu. Kau akan jadi asisten sekretaris kakak di kantor. Selama jadi asisten, kau bisa belajar banyak hal dari Jimmy, sekretaris kakak." ujar kak Gema menengahi.
Aku manggut-manggut, antara masih ragu atau menerima tawaran menarik itu.
"Jangan cuma manggut-manggut Jihan. Kakakmu butuh kepastian." ujar mama.
"Oke. Jadi kapan harus mulai bekerja? Apa aku harus memasukkan lamaran?" tanyaku serius.
"Besok kau datang dulu ke kantor. Kau bisa melihat-lihat dan mengenal suasana kantor." tawar kak Gema.
"Tapi, soal status hubungan kita, apa boleh dirahasiakan? Aku tidak suka diremehkan karena masuk lewat jalur belakang."
Kak Gema tersenyum kecil. "Itu soal gampang."
"Nah gitu dong. Kan enak kalau kamu sudah mau kerja. Nanti, saat bertemu Haris, katakan saja kalau kau sudah lama kerja di perusahaan kakakmu." usul kak Nora.
Aku mendengus. Jadi pekerjaan ini diberikan padaku agar aku tidak terlihat memalukan di depan laki-laki itu? Memangnya apa istimewanya Haris? Apa karena dia PNS? Sukses juga tidak harus PNS kan? Toh banyak yang lebih kaya dan hidup enak meski tidak jadi PNS. Contohnya kak Gema. Duh pikiran orang tua memang sering kolot.
"Sayang, kita menginap saja ya?" ajak kak Nora manja.
Sayang? Cih panggilan yang sangat memuakkan. Aku mencibir tanpa disadari yang lainnya.
"Boleh juga. Sudah cukup malam untuk pulang." jawab kak Gema.
Diam-diam aku senang karena kak Gema akan menginap. Apa aku harus tidur di beranda lagi? Ku rasa itu ide yang bagus. Jika kak Gema ikut-ikutan ke beranda, aku bisa tanya-tanya soal pekerjaan padanya.
"Mandi dulu Jihan. Tidak baik anak gadis mandi malam-malam." perintah Mama.
Aku mengangguk malas sambil meninggalkan ruang tamu. Kita lihat saja, apa malam ini kak Gema akan bertindak sesuai skenario yang sedang ku susun dalam kepala.
Jika kak Gema datang, artinya laki-laki itu sedikit banyak punya perasaan padaku. Entah itu perasaan khawatir atau sayang, yang pasti akan ku nikmati semua momen yang terjadi. Ah aku bisa gila. Padahal baru tadi sore aku bertekad untuk lebih serius melupakan kak Gema, kenapa sekarang malah berpikir untuk menggodanya?
To be continue...