The Scientist 1

1856 Kata
Semua kandidat calon pemeran utama laki - laki di teater musikal akhir tahun, dikumpulkan hari ini sepulang sekolah. Sebagai pembekalan untuk audisi selanjutnya, panitia teater musikal bekerja sama dengan salah satu guru yang memiliki kemampuan dalam bidang olah suara, untuk melatih teknik menyanyi para kandidat. Yongki adalah kandidat yang datang paling awal. Mengingat minatnya dalam mengikuti teater musikal yang sudah lama terpendam. Satu per satu kandidat lain juga mulai berdatangan. Begitu mereka masuk ke lab bahasa — tempat di mana latihan vokal dilaksanakan — mereka dengan kompak saling melirik dan berbisik. Mereka tidak senang dengan keberadaan Yongki di sini. Tentu saja karena anak itu tidak datang saat seleksi, tapi ia berhasil lolos hanya dengan bermodalkan video yang dibawa oleh panitia. Mereka menganggap keikut sertaan Yongki tidak adil. Yongki telah melakukan kecurangan. Mereka ingin protes, tapi tak berani. Karena semua yang terjadi ditentukan oleh para juri yang terhormat. Yongki bukannya sok tahu. Ia merasakan aura kebencian dari pada kandidat lain padanya. Yongki bisa mengerti. Pasti karena kasus audisinya. Tapi ia berusaha berusaha tak peduli, berusaha menebalkan muka. Toh kelolosannya adalah hal yang legal. Dan ia sama sekali tidak curang. Lab bahasa yang biasanya dipenuhi oleh kursi yang tertata rapi, siang ini sudah disiapkan secara khusus. Semua kursi sudah dipinggirkan. Para peserta duduk lesehan di karpet. Karena dengan lesehan seperti itu, mereka akan leluasa melakukan apapun. Lagipula selain untuk berlatih vokal, lab ini akan digunakan untuk latihan menari nanti — saat seleksi kedua sudah dilakukan. Sekolah tak keberatan jika lab bahasa digunakan untuk tempat latihan seperti ini. Selain karena sekolah mereka belum memiliki tempat khusus untuk latihan persiapan teater, juga karena ekstrakurikuler teater musikal telah banyak berkontribusi dalam mengharumkan nama sekolah.  Setiap tahunnya, teater selalu diminati dan ditonton oleh banyak sekali warga sekitar Kediri. Teater musikal sekolah ini sudah menjadi tontonan yang dinanti - nanti setiap tahunnya. Jika sewaktu - waktu ada kelas yang membutuhkan lab bahasa untuk praktik atau kelas listening, kursi - kursi yang ada akan ditata kembali seperlunya. Sebagian besar kandidat sudah datang. Mereka berkumpul di bagian tengah ruangan. Saling duduk berdekatan. Kecuali Yongki. Ia terkucilkan, sendirian. Guru vokal akhirnya datang. Bu Anjani nama guru itu. Sehari - hari ia mengajar pelajaran matematika. Seluruh sekolah sudah tahu tentang kemampuan menyanyinya yang luar biasa. Sampai - sampai ia langganan dijadikan guru vokal untuk teater musikal setiap tahunnya. Ia juga merupakan pembimbing tetap ekstrakurikuler paduan suara. Karena dulu Yongki sempat tergabung dalam tim paduan suara sekolah — meskipun hanya sebentar, karena tidak diizinkan oleh sang Ayah — Bu Anjani tetap hapal dengan dirinya dan mengenalinya dalam sekali melihat. Karena ia tahu benar dengan kemampuan menyanyi anak keturunan Jepang itu. Rambut pirang Yongki sempat membuatnya silau. Tapi bukan hanya itu yang membuatnya gemas ingin segera buka suara. "Saya dengar tentang kamu yang mewarnai rambut jadi pirang, juga sudah tahu tentang keikutsertaan kamu dalam teater musikal tahun ini. Tapi ...." Bu Anjani menggeleng. "Kamu sudah kelas dua belas, Yongki. Pasti Pak Sultan nggak ngasih izin." "Sepertinya meminta izin beliau memang sulit, tapi sudah diusahakan oleh para panitia," jawab Yongki. "Tapi Ibu dengar, bukan cuman kamu anak kelas dua belas yang ikut. Satu saja sudah sulit dapat izin, bagaimana dua?" tanya Bu Anjani lagi. "Sudah diusahakan oleh para panitia, Bu. Jika hanya salah satu dari kami yang boleh ikut, maka kami harus bersaing untuk menyingkirkan satu sama lain saat seleksi kedua nanti. Toh artinya memang hanya salah satu dari kami yang akan jadi pemain, kan?" Bu Anjani memikirkan jawaban Yongki. Anak ini sepertinya memiliki keinginan besar dalam merebut posisi sebagai pemeran utama. Bu Anjani tak pernah mengetahui, jika Yongki ternyata bisa memiliki kegigihan seperti ini dalam melakukan sesuatu.  'Jadi, sekarang ayahnya sudah tidak sedisiplin dulu? Ayahnya sudah membebaskan Yongki untuk melakukan apa yang ia suka?' Kurang lebih seperti itu isi pikiran Bu Anjani. "Baik lah." Bu Anjani melanjutkan. "Siapa di antara kalian yang berasal dari kelas dua belas juga seperti Yongki?" Semua kandidat saling berpandangan. Tapi Kian tidak ada di antara mereka. "Dia belum datang, Bu," jawab salah satu anak. "Astaga, niat ikut beneran apa nggak, baru latihan pertama kok udah telat?" ketus Bu Anjani. "DATENG, BU. KIAN DATENG!" Sebuah suara cempreng terdengar. Seseorang itu tiba - tiba saja masuk tanpa mengetuk pintu. Tapi itu bukan Kian. Itu adalah si Murid Ajaib, Mina. "Ayo cepat masuk!" Mina berbicara dengan seseorang di luar. Tak lama kemudian orang itu sudah masuk. Nah ... itu dia baru Kian. "Aduh, maaf ya, Bu!" Lagi-lagi Mina yang bicara, bukan Kian. Ia seperti sengaja menjadi representatif dari Kian. "Maaf banget, Bu Anjani. Kian telat karena tadi masih ngajarin saya matematika. Biar saya lulus ulangan harian Ibu, tanpa harus ikut remedial. Jadi, sekali lagi, maaf, ya!" "Ya sudah, ya sudah, silakan duduk, Kian!" Bu Anjani memijat pelipisnya. Hari sudah siang dan udara panas sekali. Dengan suara cempreng Mina membahana seperti ini, membuat kepalanya jadi pusing. "Oalah, jadi ternyata kamu yang ikut. Peserta tahun ini benar - benar nggak terduga ternyata, ya." Sesuai perintah Bu Anjani, Kian segera ikut duduk bergabung bersama peserta lain. Mina yang merupakan tamu tak diundang, dengan percaya diri ikut bergabung. Mina tak peduli dengan tatapan aneh para adik kelas. Siapa juga yang peduli? Ia hanya ingin melihat mereka latihan. Mina duduk di antara Kian dan Yongki. Merasa harus memenuhi asas kesopanan, Mina - pun menyapa Yongki. Sesama teman sekelas, tidak boleh saling sombong, bukan? "Hai!" Mina menyeru seraya melambaikan jemarinya. Mina juga tersenyum manis pada Yongki. Wajah Yongki memanas seketika. Kehadiran Mina sudah menjadi pemacu detakan jantung sejak tadi. Dengan Mina menyapanya seperti ini, bisa - bisa degup jantungnya menyembul keluar dari d**a. Apalagi jarak duduk mereka cukup dekat sekarang. Dengan kaku Yongki membalas senyuman Mina. Berharap senyumnya tidak terlihat aneh di mata sang Gebetan. "Mbak Kaca Mata, boleh lihat latihan, tapi jangan ganggu, ya!" peringat Bu Anjani pada Mina. Guru itu tidak ingat siapa nama si Murid Ajaib. Tapi di benak, ia mengingat bagaimana ajaibnya tingkah laku Mina di kelas. Siswi yang rajin belajar, namun nilainya tak pernah bagus. "Oke, Bu Anjani. Saya anaknya penurut, kok!" Mina mengacungkan jempolnya. "Dan ada satu hal, ini sebenarnya rahasia, yang hanya boleh diketahui oleh panitia teater dan pihak - pihak penyelenggara yang terlibat. Para kandidat saja tidak ada yang tahu tentang rahasia ini." Keterangan Bu Anjani segera membuat para kandidat mengernyit heran. Rahasia macam apa itu? "Saya akan menjelaskan rahasia ini. Tapi ...." Bu Anjani menunjuk Mina. "Mbak Kaca Mata harus berjanji bisa jaga rahasia, dan tidak heboh. Jika Mbak Kaca Mata tidak sanggup berjanji, silakan keluar dari sini!" "Sanggup, Bu, sanggup! Saya bukan ember bocor, kok!" "Beneran sanggup?" "Sanggup, Bu!" Bu Anjani memicingkan mata, berusaha melihat keraguan di wajah Mina. Tapi anak itu seratus persen terlihat yakin. "Oke lah. Jadi ...." Semua murid mengantisipasi penjelasan Bu Anjani. "Jadi ... sebenarnya selain latihan vokal, seleksi kedua akan dilaksanakan hari ini. Saya tetap bertindak sebagai guru vokal. Namun, latihan hari ini akan direkam, dan dikirim pada juri - juri yang berwenang. Pengumuman siapa yang lolos, akan dilaksanakan minggu depan." Lab bahasa yang tadinya hening, mendadak riuh dengan reaksi para calon kandidat. "Para kandidat wanita juga akan diberikan pengumuman mendadak seperti ini besok. Jadi, kalian semua harus bisa menjaga rahasia. Terutama kamu, Mbak Kaca mata!" Mina segera menanggapi. "J - jujur saya kaget banget, Bu! Tapi ... ya, seperti yang saya katakan tadi, saya bukan ember bocor!" "Ya ... ya ... ya .... Tahu, nggak, apa alasan saya membiarkan kamu tetap ada di sini, Mbak Kaca mata?" "Apa, Bu?" "Tolong bantuin saya pegang kamera nanti, ya, biar saya bisa fokus ngajarin mereka tanpa riweuh sama kamera!" Semua murid laki - laki di sana tertawa. Tak terkecuali Kian dan Yongki. Mina sendiri rasanya seperti baru saja ketiban bedug masjid. Pantas saja perasaannya tak enak dari tadi. Ternyata ada udang di balik batu. "Iya, Bu, iya!" Mina bergegas berdiri. "Mana kameranya, Bu?" Bu Anjani terkikik. Merasa bersalah, tapi juga geli. "Ini!" Ia memberikan sebuah handycam pada Mina. Gadis itu segera mengaktifkan handycam, mengarahkannya pada seluruh peserta dan Bu Anjani. "Oke, kita mulai! Teater tahun ini diangkat dari kisah lagu 'Trees Do Grow High'. Adakah di antara kalian yang tahu lagu itu?" Bu Anjani menatap para kandidat satu per satu. Dan ia melihat Yongki adalah satu - satunya yang mengangkat tangan. "Oh, hanya Yongki yang tahu, ya." Komentar berkonotasi pujian itu mengundang perhatian para kandidat lain. Mereka bersama - sama menatap tajam pada Yongki. Semakin membenci keikutsertaannya di sini. Terlebih Kian. "Baiklah. Sebenarnya Ibu ingin menjadikan lagu itu sebagai pemasanan latihan hari ini. Tapi sepertinya tidak adil jika hanya Yongki yang tahu. Kalau begitu ... uhm ... lagu ini beda genre dari lagu yang pertama. Tapi, lagu ini juga akan dinyanyikan dalam versi klasik pada teater nanti. Lagunya Coldplay, The Scientist. Ada yang tahu?" Beberapa kandidat langsung terlihat gusar. Lagi - lagi sebagian besar dari mereka tidak tahu menahu tentang lagu yang akan digunakan. "Lagu apaan, sih, dari tadi kok pada aneh semua judulnya?" "Gue juga nggak tahu. Gue cuman tahu lagu band - band Indonesia." "Gue lebih suka dangdut!" "Kalo gue suka Asia Timur, J - POP atau K - POP gue suka." "Kalo Coldplay, cuman pernah denger nama band - nya. Lagunya, mah, kagak tahu!" Di antara gerutuan - gerutuan yang ada, Bu Anjani tersenyum kala melihat dua orang murid yang mengacungkan tangan. Lagi - lagi Yongki. Dan ... Kian. Sebenarnya tak hanya Yongki dan Kian yang mengangkat tangan. Tapi ada satu lagi. Yaitu Mina. Tapi ia, kan, tidak masuk hitungan. Coldplay adalah band favorite Mina setelah Maroon 5, tentu aja ia tahu. "Woah, anak kelas dua belas dua - duanya tahu." Bu Anjani terlihat memiliki ide cemerlang. "Bagaimana ... Yongki dan Kian, silakan berdiri!" Yongki dan Kian saling berpandangan sengit, sebelum keduanya berdiri menuruti permintaan Bu Anjani. "Ibu mau, kalian menyanyikan bait - bait lagu The Scientist secara bergantian. Bebas, nyanyikan dengan gaya kalian masing - masing! Ibu akan memberi intruksi, siapa yang harus masuk dan kapan kalian harus bernyanyi bersama. Jadi perhatikan baik - baik!" ~~~~~ TM: ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Theatre Musical: Roll Egg. Mau tahu kenapa dikasih judul Theatre Musical: Roll Egg? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN