PART. 7 MENANTI JODOH

1035 Kata
Abi duduk di sofa ruang tamu. Raisa juga. Raisa menatap wajah Abi yang datar saja. "Enak kue yang tadi pagi?" Tanya Raisa pada Abi. "Iya." Abi menganggukkan kepala. "Mau aku bawakan tiap hari?" Raisa terus berusaha memancing obrolan agar mereka lebih akrab lagi. "Tidak usah, terima kasih." Abi menolak tawaran baik Raisa untuk membawakan kue setiap hari. "Di situ banyak kue basahnya." Raisa mempromosikan toko kue langganannya "Bisa aku bawakan tiap hari buat Mas Abi." Raisa masih berusaha menawarkan kebaikan agar bisa bertemu setiap hari. "Jangan. Tidak usah. Aku menghindari makan yang manis." Abi tetap kukuh tidak mau. Abi tidak ingin sok baik. Ia melakukan sesuai hatinya saja. "Punya riwayat gula darah tinggi?" Tanya Raisa. "Mencegah saja," jawab Abi. "Perusahaan Mas Abi ada kerjasama dengan perusahaan Mas Adi ya?" Raisa mengalihkan topik pembicaraan. "Iya." Abi menganggukkan kepala. "Mas Adi teman saya. Apa Mas Adi ada cerita?" Raisa bertanya penasaran. "Iya." Kepala Abi mengangguk. "Mas Adi bilang apa?" Raisa penasaran. "Mas Adi hanya mengaku kenal kamu." Abi menjawab singkat. "Lalu apa lagi?" Raisa masih tidak puas dengan jawaban Abi. "Kami tidak sempat bicara panjang tentang kamu, karena harus membicarakan masalah bisnis." Abi menceritakan yang sebenarnya. "Oh. Mas Adi itu rumahnya dua rumah dari sini. Jadi kami teman satu komplek." Raisa menunjuk ke arah luar. "Oh." Abi hanya menganggukkan kepala. "Dia duda, anaknya dua ikut istrinya." Raisa melanjutkan cerita tentang Adi. "Oh." Abi mengangguk saja. "Mas Abi punya pacar?" Raisa tiba-tiba bertanya hal lain. "Tidak." Kepala Abi menggeleng. Jawaban jujur yang melegakan Raisa. "Kenapa tidak?" Raisa ingin lebih mendalami karakter seorang Abi. "Belum tertarik saja." Abi tidak berusaha berbohong. "Belum tertarik? Mas Abi usianya sudah 40 tahun, apa tidak berminat memiliki teman hidup?" Raisa semakin bersemangat bertanya. "Sebagai manusia normal, tentu saja berminat. Tapi saya tidak ingin mencari." Abi tetap tenang, tidak menampilkan kalau merasa terganggu dengan pertanyaan Raisa yang sedikit pribadi. "Apa menunggu jodoh datang ke hadapan?" Pertanyaan yang sering Abi dengar dari orang. "Ya seperti itulah." Kepala Abi mengangguk. "Tipe calon istri Mas Abi seperti apa?" Pertanyaan Raisa masuk kepada hal yang lebih mendalam lagi. "Saya tidak memikirkan tipe. Tapi saya suka wanita yang sederhana." Jawaban jujur Abi lontarkan. Abi tidak berusaha menutup rasa hatinya tentang wanita idaman. "Sederhana yang bagaimana?" Raisa belum puas dengan pernyataan Abi tentang wanita idaman. "Wanita yang tidak ribet dengan hidupnya. Tak peduli model handphone terbaru. Tak peduli hal-hal yang diluar kehidupan orang kampung." Abi menjawab dengan apa adanya yang ia rasakan. "Jadi Mas Abi suka wanita kampung?" Pertanyaan Raisa bernada cukup tajam. "Ya. Seperti Amma ku." Abi lebih menegaskan lagi tentang wanita idaman. Tetap berusaha menutup itu meski di hadapan Raisa. Abi hanya tidak ingin memberi harapan kepada wanita. Lebih baik berkata jujur sejak awal agar sang wanita tidak mengharapkan. "Oh." Raisa merasa patah hatinya. Abi terlalu jujur. Kejujuran yang menyakitkan baginya. Ia wanita modern yang selalu mengikuti mode terbaru. Mobil baru, ponsel baru, pakaian baru. Tapi Raisa tidak ingin menyerah. Ia ingin berusaha menaklukkan hati Abi. Raisa jatuh cinta pada pandang pertama. Tak bisa dipungkiri, baginya Abi adalah sosok sempurna. Raisa belum ingin menyerah. Abi harus menjadi miliknya. "Mas Abi ganteng. Pasti banyak wanita yang mendekati." Raisa memuji ketampanan Abi yang terlihat jelas. Pujian yang sebenarnya dari hati bukan sekedar pandangan mata saja. Abi memang terlihat sempurna sebagai sosok pria. "Namanya pria pasti ganteng. Tentang wanita yang mendekati itu hal wajar." Raisa merasa gemas dengan sikap Abi yang tanpa ekspresi. Terlalu tenang sebagai lelaki tidak ada riak yang menampilkan isi hati. Tapi hal itu justru membuat Raisa merasa penasaran. Merasa tertantang untuk menaklukan. Abi sungguh berbeda dengan para pria yang selama ini ditemuinya. Kalau pria lain berusaha mendapatkan perhatiannya dengan berbagai cara, Abi justru menampilkan sikap biasa saja, seakan ia adalah gadis biasa tanpa ada getaran jiwa. "Abi, ayo kita pulang." Terdengar suara Rara memanggil. Abi bangkit dari duduknya. "Sering-sering begini untuk menjalin silaturahmi." Ibu Raisa berkata. "Insya Allah. Semoga kita semua selalu sehat, aamiin." Doa Amma Abi. "Aamiin." "Kami permisi. Terima kasih banyak." Keluarga Raisa mengantarkan sampai mereka naik ke mobil. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Abi menjalankan mobil keluar dari lingkungan rumah Raisa. "Bicara apa saja tadi, Bi?" Tanya Amma nya. "Tadi pagi ada temannya ke kantor. Bertemu dengan dia. Dia tanya. Kami ngobrol apa. Ya aku jawab apa adanya." "Oh." Rara tidak berusaha membahas panjang lebar, karena Rara mengerti anaknya pasti tidak akan suka diungkit masalah pribadi. Jika ada sesuatu yang penting Abi pasti akan menceritakannya. Aay juga tidak berusaha mengungkit pembicaraan Abi dengan Raisa. Aay dapat merasakan kalau putranya merasa kurang cocok dengan Raisa yang gaya hidupnya terlihat menampilkan diri sebagai orang kaya. Mereka tiba di rumah. Kai dan Nini sudah tidur. Risman dan Zia berada di ruang tengah menikmati bubur kacang hijau olahan Acil. "Mau bubur?" Zia menawari mereka bubur kacang hijau. "Eh bubur kacang hijau ya?" Tanya Rara. "Kacang hijau dengan durian, Nini," jawab Zia. "Bu Rara, Pak Aay, Bang Abi mau?" Tanya Acil. "Mau, Cil. Jangan terlalu banyak ya. Minumnya air putih saja." Rara yang menjawab. "Baik, Bu." "Habis makan malam enak nih!" Goda Zia. "Sama saja dengan di rumah kita." Rara tertawa. "Apa nemunya, Nini?" Zia penasaran. "Ayam, daging, telur, urap, gudeg, acar." Rara menjawab apa adanya. "Wah enak tuh! Apel selakian ya, Paman?" Zia tertawa seraya menatap pamannya. "Apel itu untuk orang pacaran jaman dulu. Aku tidak pacaran." Kepala Abi menggeleng. "Yah kepana? Katanya cantik." "Memangnya Zia sudah lihat orangnya?" Tanya Abi. "Lebum. Tapi pasti cantik!" "Semua wanita pasti cantik, Zia." "Katanya wanita karir." "Iya. Dia menegang perusahaan ayahnya." "Wah, pasti pintar selaki. Gas Paman jangan sampai kedahuluan orang!" "Tidak, Sayang. Paman tidak tertarik." Abi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Zia penasaran nih, orangnya sepetri apa?" "Cantik, Sayang. Tapi masih lebih cantik cucu Nini yang imut ini." "Zia cantik ya, Nini?* "Cantik sekali. Paman Risman beruntung punya istri Zia." "Paman Abi tertarik dengan wanita sepetri apa? Nanti Zia carikan deh!" "Yang lucu dan sederhana seperti Zia." "Aduh ada tidak ya yang mirip Zia di kampung ini. Ada tidak Aa Iman?" "Acil Fani." "Ih jangan. Itu punya Abang Wira!" "Eh, Acil Fani sama Bang Wira?" Tanya Rara. "Iya. Zia yang menjodohkan!" "Oh." "Mereka mau?" "Lebum sih. Tapi nanti pasti mau." "Aamiin." Mereka makan kacang hijau campur durian seraya mengobrol tentang banyak hal. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN