PART. 6 BERTEMU LAGI

1026 Kata
Sementara itu di rumah Nini Rara. Di ruang makan duduk Kai Razzi, Nini Rara, Risman, dan Zia. Mereka menikmati makan malam dengan menu haruan masak kecap. Salah satu menu kesukaan keluarga Ramadan. Masak kecap adalah jenis makanan khas orang Banjar. Dibuat dari ikan haruan yang digoreng. Dimasak dengan bumbu bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit, jahe, kayu manis, kembang cengkeh, kentang, daun sop, dan suun. Mirip soto Banjar, tapi ditambah kecap dan bumbunya cuma diiris. "Paman pergi ke rumah cewek yang kemarin sore ke sini ya?" Tanya Zia penasaran. "Iya. Raisa namanya. Kai berharap ada peluang untuk Abi. Karena kalau dilihat perempuan itu punya perhatian pada Abi." Harapan Kai itu menjadi harapan Nini juga. "Kalau cara hidupnya ala orang kaya susah nanti berbaur dengan Abi. Abi itu hidup modern di Jakarta, tapi dia lebih suka perempuan ala kampung seperti Zia." Nini mengingatkan kalau Abi tipe yang biasa hidup sederhana. Tidak cocok jika menikah dengan perempuan yang gaya hidupnya glamor seperti Raisa. Nini bisa melihat apa yang dipakai keluarga itu, semuanya bermerek mahal dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Zia mau carikan jodoh wanita sini, binung juga yang nama. Paman Abi agak susah orangnya. Katanya mau yang serehdana, tapi jaman serakang susah mencari yang ala Zia ini. Ada sih, tapi berasa nggak cocok." Zia mengeluh bingung memikirkan jodoh untuk Abi. "Jangan dijadikan pikiran, Sayang. Zia harus fokus pada kehamilan." Nini khawatir kehamilan Zia terganggu karena memikirkan jodoh untuk Abi. "Iya, Nini. Tapi jiwa colbang Zia tergoda." Zia tidak tahan diam saja karena menyangkut mimpinya untuk Fani dan Wira bersama. "Tergoda boleh saja, tapi jangan sampai mengganggu pikiran dan perasaan kamu. Menjaga kesehatan kamu demi kehamilan kamu lebih baik saat ini. Kai tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk kepada kamu." Kai ikut mencemaskan keadaan Zia, karena dia sebelum hamil sering sakit. "Iya, Kai." Zia mengerti ucapan Kai yang ia tahu sangat menyayanginya. "Acara makan malam ini apa dalam rangka mendekatkan Bang Abi dengan perempuan itu?" Tanya Risman Karena penasaran. "Kai rasa begitu. Karena sejak kemarin terlihat jelas wanita itu mencoba menarik perhatian Abi." Kai menganggukkan kepalanya. Urusan jodoh Abi ini memang terkesan rumit. Karena Abi yang terlihat enggan membuka diri. Rutinitasnya sehari-hari hanya ke kantor dan di rumah saja. Tidak pernah bepergian seperti pemuda lainnya. "Paman Abi punya ilmu sakti!" Zia terkikik membayangkan Abi punya ilmu sakti. "Bukan punya ilmu sakti. Tapi masih sendiri. Modalnya lengkap untuk menarik hati wanita. Abi saja yang belum memiliki keinginan untuk menikah. Entah apa sebabnya nya." Nini menggelengkan kepalanya. Tidak mengerti dengan pikiran cucunya. Kalau dilihat cucunya tidak memiliki kekurangan apa-apa. Pintar, tampang, sudah bekerja. Versi cukup untuk calon suami masa kini. "Sudah lewat tiga puluh tahun, sasuh mencari pasangan. Beda dengan Aa Iman, karena sudah Zia cinta dari dulu kala." Zia menatap bangga kepada suami. Risman tersenyum saja menerima tatapan istrinya. "Jadi Risman orang yang beruntung karena dicintai Zia." "Iya dong, Kai. Zia cinta mati Aa Iman." "Untungnya Aa Iman cinta mati juga dengan Zia. Cinta kalian berdua seimbang. Semoga bahagia selalu." "Terima kasih, Nini. Tapi Zia sedang kesal pada Acil Fani dan Ima." "Kenapa, Sayang?" "Acil Fani dan Ima tidak setuju Zia menjodohkan Acil Fani dengan Bang Wira. Merunut Zia mereka pasangan yang sesari. Merunut Kai dan Nini bagainama?" Kai dan Nini saling tatap. "Menurut Nini, sebaiknya tidak. Wira masih terlalu muda, sedang Fani sudah dewasa." "Kai juga berpikir seperti itu. Kasihan Fani kalau harus menunggu Wira siap menjadi seorang suami." "Yah, tidak ada yang mendukung Zia nih?" Zia mengeluh dengan wajah cemberut, karena tidak ada yang mendukung rencananya menjodohkan Fani dan Wira. "Bukan tidak mendukung. Tapi karena terlihat tidak pantas. Zia bebas saja ingin berpikir apa, tapi jangan memaksakan kehendak Zia kepada orang lain." Kai memberi pengertian kepada Zia. "Zia desih deh." "Sedihnya sebentar saja ya, Sayang. Jangan lama-lama. Saat ini kamu harus lebih fokus pada bayi kita." Risman menghibur perasaan istrinya yang sedang kecewa. "Prioritas kalian memanglah harus anak kalian. Zia tidak boleh sedih ya, Sayang. Tidak usah memikirkan sesuatu terlalu berlebihan. Jika Fani jodohnya Wira, pasti akan bersama." "Iya, Kai. Maafkan Amma ya." Zia mengusap perutnya. Sementara itu keluarga Aay sudah tiba di rumah Raisa. Mereka duduk di meja makan menghadapi menu makan malam. Berbagai menu dipersiapkan. Ada daging, ada ayam, ada telur. Sayurnya urap dan acar. Mereka makan sambil berbincang ringan. Membicarakan tentang usaha Raisa dan Abi. "Jadi di kantor itu siapa yang memimpin." Tanya ibu Raisa. "El. Keponakan kami. Putra dari saudara kembar Abba nya." "Oh Pak Aay kembar. Berarti kembar menikah dengan gadis kembar?" "Lala menikah dengan adik saya. Saya kembar dengan seorang perempuan." Aay meluruskan. "Oh begitu. Pak Aay berapa bersaudara?" Tanya Ayah Raisa. "Saya tiga bersaudara. Anak pertama kembar, saya dengan Aya. Anak kedua Aan suaminya Lala." "Oh begitu. Apakah mereka tinggal di Banjarbaru semua?" "Ya. Kami tinggal satu kampung semua. Karena Abba kami orang kampung Bungas juga." "Kai Razzi berapa usianya?" "Usia Abba sembilan puluh empat tahun. Amma delapan puluh sembilan." "Masya Allah. Hebat sekali bisa setua itu masih bertahan dalam keadaan yang baik." "Abba terbiasa hidup sehat. Kalau Amma masih bisa sembarang makan. Jadi tubuh Amma tidak sehat seperti Abba. Mereka berdua rajin memeriksakan kesehatan, rajin mengontrol makanan, istirahat dengan teratur setiap harinya. Sekarang mereka sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Mereka bilang sudah saatnya mempersiapkan diri untuk kembali." "Tiga anak dapat berapa cucu?" "Aya punya tiga anak. Sembilan cucu, dan tiga buyut. Kami dua anak, tiga cucu. Aan dua anak, empat cucu." "Ramai sekali kalau kumpul semua ya." "Iya." Selesai makan mereka duduk di ruang keluarga. "Mas Abi kita duduk di teras samping yuk." Abi ingin menolak, tapi Amma nya lebih dulu bicara. "Maaf, Raisa. Abi tidak biasa berduaan saja dengan wanita yang bukan keluarga. Dari dulu sudah begitu." "Oh." "Mungkin kalian bisa bicara di ruang tamu saja. Karena masih terlihat dari sini." "Oh iya. Apa Mas Abi bersedia." Abi tidak bicara apa-apa, tapi ia bangkit dari duduk dan melangkah ke ruang tamu. Raisa mengikutinya. "Abi pendiam sekali." "Dari kecil memang begitu." "Apa hal itu yang membuat dia sulit dapat jodoh?" "Belum waktunya saja. Di keluarga Ramadhan para pria kebanyakan memang menikah di atas usia tiga puluh tahun. Abba nya saat menikah usia tiga puluh tiga." "Oh." *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN