PART. 8 TUNJUKKAN JODOH ABI

1038 Kata
Abi masuk ke kamarnya langsung ke kamar mandi. Ia ingin menggosok gigi menghilangkan aroma durian dari penciumannya. Abi melepaskan baju, menyisakan pakaian dalam saja lagi. Ia berdiri di depan wastafel menatap wajah dan tubuhnya dari pantulan cermin. Abi harus mengakui kalau dirinya memang tampan dan gagah. Tampak tidak ada kekurangan sedikitpun dalam dirinya. Sesuatu yang wajar jika ada beberapa wanita yang mengharapkan cintanya. Apalagi ia sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, walau tidak memiliki rumah. Abi sudah berjanji pada Kai Razzi dan Nini Rara, akan tinggal di rumah ini selamanya. Terlepas apakah nanti ia akan menikah atau tinggal sendiri. Abi menggosok giginya. Tatapannya masih ke dalam cermin. Abi mencoba mengamati dirinya sendiri lewat pantulan cermin. Rambutnya hitam dan tebal, dahinya lebar, alisnya hitam dan tebal, matanya lebar, bola matanya hitam sempurna, bulu matanya panjang dan lentik, memang sesuatu yang jarang pada pria tapi begitulah keturunan Ramadan pada umumnya. Hidungnya mancung, rahangnya tegas, bibirnya tipis. Bentuk wajahnya menampilkan wajah tipe Timur Tengah. Abi selesai menggosok gigi. Tubuhnya ditegakkan. Abi menatap tubuhnya. Dadanya bidang, bahunya kokoh, lengannya kuat, perutnya rata. Secara fisik ia sempurna. Ia rajin berolah raga. Secara wajah, tubuh, karir, hidupnya terlihat sempurna. Tapi setiap manusia tak mungkin sempurna, karena sempurna hanya milik Allah. Karena itulah hatinya begitu sulit terbuka untuk menerima wanita. Bahkan dia sendiri merasa bingung, kenapa tidak tertarik pada wanita sempurna seperti Raisa. Abi menghembuskan nafasnya mengingat Raisa. Apa yang dikatakan oleh Adi benar, gadis itu memang tampak agresif. Berusaha memancingnya untuk pembicaraan yang lebih dalam. Wanita itu ingin lebih banyak mengetahui tentang dirinya. Tapi Abi merasa biasa saja. Sulit sekali merubah pemikirannya. Abi menghela nafas lalu ke luar dari kamar mandi setelah mencuci muka dan membasahi rambutnya. Abi duduk di tepi tempat tidur hanya memakai celana dalam saja. Tiba-tiba Abi ingin berdiri di balkon. Abi menuju lemari. Ia mengambil celana pendek. Setelah memakai celana pendek, Abi menuju balkon. Ia melangkah ke balkon. Pintu kamar ia tutup. Tatapannya ke apa yang terhampar di hadapannya. Abi menatap ke langit. Langit tampak terang dengan sinar bulan dan bintang. Abi menatap lagi ke depan. Tampak rumah Afi di sana. Rumah adiknya lebih mewah dan lebih megah dari rumah Nini Rara, karena Irfan mewarisi kekayaan kakeknya yang cukup banyak. Andai tak bekerja, mereka tetap bisa hidup dengan nyaman. Tapi Irfan orang yang tak bisa diam. Tetap giat bekerja sampai sekarang. Uang dari saham yang diwarisi dari kakeknya hanya masuk tabungan saja. Abi bersyukur seluruh keluarganya hidup makmur, tak ada yang kekurangan. Abi menghela nafas sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Ia harus tidur. Besok kembali beraktifitas seperti biasa. Abi menutup pintu, lalu melepas celana pendek, menyisakan celana dalam saja. Makan durian membuatnya merasa kegerahan. Abi naik ke atas ranjang, dan berusaha terlelap dengan nyaman. * Subuh. Abi bersama Abba nya salat subuh ke musholla, sedang Risman jadi imam salat di rumah mereka. Setelah salat subuh Risman, Kai, dan Nini duduk di ruang tengah, sedang Zia membantu Rara dan Acil di dapur. "Kai senang melihat Zia sehat, Man." Zia memang terlihat sehat sejak beberapa waktu ini. Tidak terdengar sakit sampai harus dirawat khusus. "Alhamdulillah, Kai. Semoga tidak sakit lagi." Risman sangat bersyukur akan hal itu. Rasa cemasnya akan keadaan Zia tidak terjadi. Karena istrinya meski sering mengantuk tapi tidak diserang batuk pilek dan lainnya. Hal yang membuat seluruh keluarga merasa bahagia. "Zia tidak ngidam apa-apa, Man?" Tanya Nini yang penasaran dengan ngidam cicitnya. "Ingin sesuatu yang khusus tidak, Nini. Seperti biasa saja. Apa yang dihidangkan dimakan tanpa mengeluh." Risman menyampaikan apa yang terjadi selama Zia ngidam. Tidak ada sesuatu hal yang menyulitkan untuk dipenuhi. "Alhamdulillah. Ngidam yang baik. Tidak terlihat mual dan pusing juga ya, Man." Nini ingin lebih memastikan kondisi cicitnya. "Alhamdulillah. Sejak hamil Zia jadi lebih sehat." Risman bangga dengan kondisi fisik istrinya yang lebih baik sejak mengidam. "Hanya manja ya, Man." Kai terkekeh karena melihat jelas manjanya Zia kepada Risman. "Iya , Kai." Risman mengangguk dan ikut terkekeh juga. "Assalamualaikum." Suara salam dari pintu samping. "Wa'alaikum salam." Aay dan Abi masuk dari pintu samping. Mereka mencium punggung tangan Kai dan Nini, lalu duduk di sofa. "Apa rencana hari ini, Risman?" Tanya Aay pada Risman. "Bekerja seperti biasa, Paman." "Semakin laris manis ya, Man." "Alhamdulillah. Semoga semakin baik, Paman." "Selain tanaman yang harus banyak macamnya, pelayanan yang ramah juga penting, Man." Aay memberikan saran singkat pada Risman. "Iya, Paman. Kami usahakan selalu sabar menghadapi pembeli yang bagaimanapun sikapnya." Risman menyampaikan usahanya dan karyawannya dalam melayani pembeli. "Bagus itu, Man. Salah satu kunci sukses." "Iya, Paman." "Sarapan sudah siap!" Zia memanggil mereka. "Ayo kita sarapan." Aay berdiri dari duduknya. Risman mendorong kursi roda Nini menuju meja makan. Abi menuntun Kai. Tak bisa dipungkiri semakin tua usia mereka semakin banyak hal yang sulit dikerjakan. Meski selama ini mereka sudah menjaga kesehatan. Tetap saja banyak hal yang perlu bantuan. Risman menuntun Nini untuk bangkit dari kursi roda dan pindah ke kursi makan. Rara dan Zia menyiapkan sarapan di piring semua orang. Sarapan pagi ini ikan haruan goreng dengan sayur tumis kacang dan tahu. Ada tahu dan tempe bacem juga. "Kalau Paman Abi nikah, jadi ramai nih. Ayolah Paman cepat nikah. Acil Raisa pasti cantik, cocoklah dengan paman yang ganteng selaki." "Tentang istri tidak harus cantik, Zia. Yang paling utama pas di hati." "Memangnya Acil Raisa badannya kebesaran, sehingga tidak pas di hati, Paman?" "Bukan badannya. Tapi gaya hidupnya. Menurut pandangan Paman tidak pas untuk kehidupan Paman. Paman kampungan, dia kekotaan." "Ih, padahal Paman hidup di Jakarta berpuluh tahun. Masa masih merasa kampungan?" "Meski hidup puluhan tahun di kota Jakarta, perasaan Paman tidak berubah menjadi ala Jakarta. Rasa yang ada tetap ala kampung Bungas." "Ya Allah tunjukkan padaku, wanita mana yang harus aku jodohkan dengan Paman." Zia mengusap kedua tangannya ke wajah. Matanya terpejam, bayangan seorang gadis muncul tiba-tiba. Zia membuka mata. Tidak ada ada gadis itu di hadapannya. Zia jadi penasaran. Sekali lagi ia mengucapkan doa yang sama di dalam hati dengan wajah menunduk dan mata terpejam. Hasilnya sama, ada bayangan gadis itu yang hadir. "Sayang, kenapa?" Risman menyentuh bahunya. Air mata Zia jatuh ke pipi, karena tiba-tiba merasa sakit hati. "Aa, pangku!" Zia berdiri lalu pindah duduk ke pangkuan Risman. "Ada yang sakit?" Risman mengusap punggung Zia. "Desih!" Semua menatap ke arah Zia dengan perasaan bingung karena tiba-tiba menangis. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN