Menunda Kepergian

2019 Kata
"Berjalan dengan tenang seakan hidup ada di tangan kita sendiri." ****     Keesokan harinya pagi-pagi sekali Harry sudah siap dengan segala perlengkapannya untuk ke kota di mana mereka tinggal. Memang jaraknya sangat jauh kemungkinan besar bisa seharian penuh atau bahkan lebih karena harus dengan berjalan kaki.   "Harry kamu yakin akan ke sana hanya berdua dengan Estel? Kenapa tidak kita sama-sama saja," ucap Angeline saat mereka hanya berdua di sini. Rumah kosong yang entah miliki siapa seakan menjadi penolong untuk keluarganya.   "Yakin, Angel. Kamu percaya saja kita akan baik-baik saja."   "Setidaknya kamu bawa saja Steven dari pada Estel. Estel masih kecil," ucap Angelina lagi.    "Lalu aku harus mengajakmu itu kan tidak mungkin, Mi," ucap Harry lagi sambil mengelus kepala Istrinya. Dia tahu istrinya sangat khawatir tapi Harry juga khawatir kalau Angelina harus di rumah tanpa ada laki-laki yang menjaganya makanya dia menyuruh Steven untuk tetap di sini.   Angelina menghela napasnya. Jika memang itu keputusan suaminya dia akan terima, keputusan suaminya selalu menjadi keputusan yang terbaik.    "Yaudah, kalau menurut kamu itu yang terbaik aku setuju. Aku siapin makanan dulu untuk kalian bawa ya," ucap Angelina lagi. Harry tersenyum dia mengecup singkat kepala Istrinya. Setelah kepergian istrinya dia menghampiri bayi mereka.     "Eveline anak Papi sayang. Jangan rewel ya, nak. Papi akan pergi sebentar untuk mencari Sumber Makanan Dan kebutuhan kita." Harry mengajak ngobrol anak bungsunya. Setelah kepergian anak keduanya dia merasa terpukul tapi mau bagaimana lagi semua sudah terjadi Dan ini jalan hidup mereka. ......     Angelina menyiapkan makanan tersebut dan membungkusnya menggunakan daun seadanya yang mereka temukan dia dekat rumah mereka. Steven terbangun mendengar suara berisik pagi-pagi sekali. Sekarang masih pukul tiga pagi, untung saja jam tangannya masih terpakai di tangan.   "Mami kenapa sudah bangun ini masih pagi?" tanya Steven menghampiri Maminya.    "Mami sedang menyiapkan makanan sayang. Kamu tidur saja lagi, Mami akan bangunkan kamu kalau semua sudah siap." Steven mengerutkan keningnya bingung.    "Tapi, biasanya tidak sepagi ini, Mi."   Klontang....  Tiba-tiba suara benda jatuh membuat mereka semua terkejut. Steven dan Angelina menengok ke arah Ayahnya yang membawa perlengkapan banyak hingga terjatuh.    Estel yang mendengar suara itu langsung terbangun Dan berlari.    "Mami...." teriaknya agak pelan. Steven yang lebih dekat langsung merangkul adiknya erat. Mereka Semua merasa was-was.     Angelina mengkode Harry bayinya. Harry berusaha untuk menenangkan mereka. "Kakak apa itu tadi?" tanya Estel dalam pelukan kakaknya.   "Tenang. Shutt ... tetap tenang okay. Jangan mengeluarkan suara apapun. Dan kalaupun ada monster itu datang jangan berisik ataupun bernapas," bisik Steven. Angelina berjalan pelan ke arah Harry. Harry pun berjalan pelan menuju tempat bayi mereka. Rasanya hati Angelina sudah was-was.   "Kak itu suara monster itu," bisik adiknya dalam pelukan kakaknya. Angelina melihat ke arah Steven. Steven masih memeluk adiknya Dan mengelus kepala adiknya pelan.    "Steven kamu tenangkan adik kamu. Dan Mami akan mengecek keadaan adikmu," ucap Maminya dengan suara yang sangat pelan. Steven mengangguk mengerti. Walaupun jantungnya berpacu dengan kencang karena rasa takutnya belum lagi denyut jantung adiknya yang kencang.   "Iya, Mi," jawab Steven dengan pelan juga. Angelina mengangkat jempolnya menandakan dia percaya dengan anak sulung laki-lakinya Dan dia berjalan masuk pelan.    "Estel kamu enggak papa 'kan?" tanya Steven lagi.   "Enggak, Kak tapi aku takut." Steven menggendong adiknya. Estel masih tidak mau melihat ke arah lain selain menutup matanya di badan sang kakak. Steven membawa Estel untuk duduk di dekat meja makan Dan bersembunyi di bawah sana.    Setelah itu dia menurunkan adiknya dari gendongan dan membawa adiknya ke bawah meja makan. Dia melepaskan adiknya dari pelukannya tapi Estel menahannya erat.   "Enggak mau, Kak aku takut," bisik Estel lagi dengan memejamkan Matanya tangannya memegang erat baju Steven.   "Estel, kita aman di bawah sini. Sambil menunggu Mami dan Papi membawa adik. Kamu lepaskan pelukan, Kakak ya." Estel menggelengkan kepalanya. Dia takut, rasanya masih trauma kalau mengingat monster tersebut meraup kakak keduanya. Di depan matanya sendiri.   "Kakak aku enggak mau, aku takut kalau melepaskan, Kakak nanti kakak mati seperti kak Violine aku enggak mau, Kak." Steven menghela napasnya kasar dia ingat juga kejadian di mana adik perempuan keduanya harus tewas secara mengenaskan di depan matanya.   "Estel, Kakak tidak akan membiarkan kamu dalam bahaya jadi kamu percaya ya sama, Kakak. Kamu lepaskan kakak dulu. Kamu harus jadi anak yang pemberani di saat seperti ini."   "Tapi, aku beneran takut, Kak."   "Tidak ada yang perlu ditakutkan, Estel. Kamu anak pemberani," ucap Steven lagi. Estel mengangguk dia melepaskan pelukannya dari kakaknya dengan ragu. Suara-suara monster itu masih terasa mendengar seakan sedang mencari mangsa atau sedang mendapatkan mangsa baru. Estel belum mau membuka matanya. Steven yang berada di depannya, memegang tangan Estel.   "Estel buka matanya tidak ada apapun," ucap Steven pelan bahkan hampir berbisik. Estel menggelengkan kepalanya lagi. Steven harus sangat sabar dalam membujuk Estel tidak mudah membuat Estel jadi penurut.    "Estel dengar kakak..." bisik Steven di telinga adiknya.   "Estel takut, Kak."   "Tidak perlu ada yang ditangkutkan Estel selama ada kakak, Mami sama Papi. Kamu harus berani untuk adikmu Eveline kita harus tetap saling menjaga, Estel."   "Estel enggak mau kalau cuma jaga adik berdua, Kak. Estel takut Estel masih kecil."    "Estel Kakak tahu kamu masih kecil tapi kamu enggak kasihan kalau kamu enggak bantu kita dan kamu malah ketakutan. Kita enggak boleh takut, Estel. Di saat seperti ini semua harus jadi pemberani." Estel membuka matanya perlahan. Di depannya Kakaknya sedang memberikan nasihat kepadanya. Tangannya masih digenggam erat oleh Steven agar adiknya merasa aman dan tenang saat bersamanya.   "Kak, Kak Violine mati karena Estel. Estel enggak mau kalau kakak juga pergi karena Estel. Estel nyusahin ya, Kak?" Steven menggelengkan kepalanya dengan tegas.    "Enggak, Estel kamu enggak pernah nyusahin kita. Kita sama-sama keluarga jadi enggak ada yang nyusahin harus sama-sama saling menjaga kamu mengerti?" ucap Steven lagi. Estel mengangguk, perasaan Estel selalu merasa bersalah sangat mengingat kakaknya mati karena menyelamatkannya yang ceroboh.    Angelina ke luar dia mencari ke mana kedua anaknya tidak ada. Harry juga sama dia menggendong bayinya Dan mencari keberadaan dua anaknya. "Harry di mana Steven dan Estel?" tanya Angelina.    "Steven ... Estel...." panggil Harry dengan sangat pelan.    "Papi, kak." Steven mengangguk. Dia mengeluarkan kepalanya. "Papi, kami di sini." Kedua orang tuanya menghela napas lega.    Harry dan Angelina langsung menyusul kedua anaknya. "Kalian enggak papa 'kan?" tanya Angelina lagi. Steven menggelengkan kepalanya. "Enggak, Mi." Angelina langsung memeluk kedua anaknya dan mengecup kepala anaknya. Untung saja anaknya baik-baik saja.    "Estel kamu enggak papa kenapa diem aja sayang?" tanya Angelina lagi. Walaupun Estel yang paling keras kepala dan susah dibilangin tetap saja. Dia sebagai orang tua harus berusaha untuk selalu melindungi anaknya.   "Engga papa, Mi," jawab Estel berbisik.    "Yaudah yuk ke luar pelan-pelan. Sepertinya sudah aman," ucap Harry lagi. Angelina mengangguk. Dia membantu kedua anaknya untuk ke luar. Hati mereka setiap harinya harus dipenuhi dengan rasa cemas ketakutan.   Entah apa yang bisa membunuh makhluk berbahaya itu. Tapi, Harry tetap tidak akan menyerah dia akan mencari cara untuk membunuh mereka agar keluarganya bisa kembali seperti dulu dengan aman.   "Kalian duduk di sini aja ya. Mami masih mau menyiapkan makanan." Mereka berdua mengangguk. Harry masih mengayun-ngayunkan anaknya dalam gendongannya.    "Steven jam berapa ini?" tanya Harry. Steven melihat ke tangannya. "Jam setengah empat, Pi." Harry mengangguk. Sepertinya belum terlalu terang juga.   "Pi, apa kamu yakin ingin pergi sekarang? Apakah tidak diundur besok saja. Aku merasa hari ini Menakutkan. Tidak biasanya monster itu terus berbunyi sepanjang hari." Harry terdiam apa yang diucapkan istrinya benar juga. Apalagi dia membawa Estel yang kemungkinannya akan terasa lumayan melelahkan nantinya.   "Papi mau ke mana?" tanya Stevan.    "Papi tadinya akan pergi ke rumah lama kita Dan mencari pasokan makanan lagi."   "Bersama siapa? Biarkan aku ikut. Aku akan membantu, Papi di sana."   "Steven lebih baik kamu menjaga, Mami kamu di sini, Papi akan ke sana bersama Estel." Estel yang mendengarnya langsung membulatkan Matanya. Bagaimana bisa dia yang takut untuk ke alam liar malah diajak Papinya untuk ikut. Estel menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Tidak, Papi aku tidak berani untuk ikut bersama, Papi."   "Tapi, harus, Estel. Kamu harus menemani, Papi."   "Kenapa harus, Estel? Apa karena, Estel anak nakal, Papi akan menyerahkan Estel ke monster itu. Apa, Papi marah karena Estel telah membunuh, Kakak." Estel meronta mengeluarkan unek-uneknya dengan pelan. Air Matanya sudah banjir. Steven berdiri dan menyusul adiknya menenangkan adiknya itu. Sedangkan Angelina hanya diam memperhatikan mereka sambil menyiapkan makanan.     Harry menghela napasnya dia sebenarnya tidak mau melakukan ini tapi bagaimana lagi ini sudah ketentuan yang dia buat. Dan terbaik juga untuk mereka semua.    "Estel tenanglah."   "Bagaimana bisa aku tenang, Kak kalau Papi malah ingin menyerahkan ku ke monster itu. Aku belum mau mati, Kak. Aku takut." Steven menengok ke arah Papinya. Dia juga tidak mengerti kenapa malah Papinya mengajak Estel.   "Pi, kenapa harus, Estel? Biar Steven aja yang ikut, Papi cari makanan."   "Angelina kamu gendong, Eveline dulu." Harry mengisyaratkan Angelina untuk menggendong anaknya. Angelina pun maju meninggalkan pekerjaannya yang sudah hampir siap.   Dia mengambil alih Eveline dari gendongan Harry. Harry mulai menjelaskan kepada mereka berdua sambil mensejajarkan dirinya dengan Estel maupun Steven yang lebih tinggi.   "Estel kamu enggak kasihan, Papi pergi sendiri?" tanya Harry lagi.   "Kasihan, Pi."   "Yaudah, makanya Estel yang ikut sama, Papi. Dan Kakak Steven biar di sini menjaga, Mami dan adik. Harus ada laki-laki kuat yang menjaga keluarga kita. Dan Kakak adalah laki-laki kedua setelah, Papi jadi Papi suruh dia menjaga, Mami dan adik di sini. Sedangkan Estel akan aman bersama, Papi," jelas Harry lagi. Estel meneguk lidahnya. Mana mungkin dia akan merasa aman sedangkan dia harus ke luar dari tempat mereka ini.   "Tapi aku takut ke luar, Pi."   "Papi enggak akan menbiarkan kamu terluka, Estel kamu pasti baik-baik saja bersama, Papi. Papi tidak mungkin membuat kamu dalam bahaya."    "Tapi, Pi...."   "Kalau kamu di sini beban kakak akan semakin banyak menjaga kamu. Dan itu malah beresiko sayang. Kamu enggak mau ' kan kalau terjadi sesuatu dengan keluarga kita? Kita sudah kehilangan Kak Vio jangan sampai salah satu dari kita harus terbunuh juga." Estel menimbang-nimbang apakah dia harus ikut dengan Papanya atau tidak.   "Kamu percaya sama, Papi 'kan?" lanjut Harry lagi berusaha memberikan pengertian kepada Estel. Sedangkan Steven juga sedang berfikir apa kata Papinya benar. Tapi, itu artinya tanggung jawabnya semakin besar dengan Mami dan adiknya.   "Iya, Pi."   "Jadi, kamu mau 'kan ikut sama, Papi? Kita sama-sama cari makanan ya untuk kita semua makan. Semoga saja tidak lama nanti malam kita sudah pulang."   "Harry kalau menurutku kamu undur saja dulu."   "Kenapa?" tanya Harry tidak mengerti. Suara-suara itu kian mengeras. Monster itu pasti udah ada disekitar kita aku takut malah terjadi sesuatu nantinya. Harry bangkit benar juga suara itu makin keras. Apa dia harus berjalan besok pagi lagi saja.   "Kamu dengar itu suara itu makin keras. Kita tidak tahu apa yang sedang dilakukan monster itu. Terlebih kamu membawa Estel. Kamu bisa pergi besok, Harry."    "Apa bahan makanan kita masih cukup kalau aku pergi besok?"    "Semoga saja cukup karena kita juga makan tidak terlalu banyak," jawab Angelina lagi. Sampai akhirnya dia pun menyetujui sang istri.    Herry mengangguk, "Baiklah kalau begitu biar aku Dan Estel ke sana esok hari saja." Angelina tersenyum tenang. Untung saja suaminya menyetujui keputusannya.   "Anak-anak kalian tidur saja lagi, Mami dan Papi akan mempersiapkan makana untuk kalian."    "Aku biar ikut menyiapkan, Mi," ucap Steven. Sedangkan Estel menguap karena masih terasa kantuknya.    "Lebih baik kamu temani, Estel tidur saja. Kamu terlihat lelah juga," ucap Angelina lagi.   "Tapi...."   "Steven kamu dengarkan kata, Mami kamu ya lebih baik kamu istirahat kita tidak tahu siang ini sampai sore akan ada apa. Jadi, kita harus selalu menghemat tenaga kita."   "Baiklah, Mami, Papi. Aku Dan Estel akan tidur saja." Angelina Dan Harry tersenyum dan mengangguk.   "Ayo, dek kita tidur lagi."   "Iya, Kak." Steven membawa adiknya untuk ke tempat tidur sederhana yang berlapiskan tikar saja. Tidak jauh dari di mana Maminya berdiri. Tempat memang sudah dibuat kedap suara oleh Papanya walaupun adanya di ruang bawah tanah. Tapi, tidak menutup kemungkinan kita harus selalu waspada. Kita tidak tahu kapan monster itu akan mendengar suara kita Dan malah datang menghampiri kita.   " Harry lebih baik kamu bawa Eveline ke tempatnya lagi. Sepertinya bayi kita juga butuh tempat yang nyaman untuk tidur." Angelina menyerahkan anaknya kepada Herry tapi Herry mengatakan, "Lebih baik kamu saja yang istirahat aku biar di sini membereskan semuanya kamu terlihat lebih lelah."   "Baiklah kalau begitu," jawab Angelina. Dia pun masuk ke tempat yang tidak jauh dari tempatnya juga. Dan mulai istirahat. .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN