Pertentangan

1308 Kata
"Bagaimana kita tahu hasilnya akan berhasil atau tidak kalau kita saja takut untuk mencoba." *****      "Aku kasih tahu sekarang aja ya, Har. Mumpung mereka masih saling berkumpul," ucap Gorge. Setelah Harry memberitahu rencana mereka tadi siang. Gorge mencoba untuk mengatakan kepada yang lainnya tentang rencana ini.   "Iya, boleh," ucap Harry.  Angelina mengerutkan keningnya. Setelah Gorge bangkit dari sana, Angelina pun menanyakan Hal tersebut kepada Harry. "Emang mau ngasih tahu apa sih, Pi?" tanya Angelina.   "Nanti, Mami dengerin aja," jawab Harry sambil tersenyum kepada suaminya. Angelina hanya menatap Harry bingung tapi dia pun menunggu juga apa yang akan dikatakan oleh Gorge.   "Selamat malam semuanya saya ingin menginformasijan sesuatu kepada kalian malam ini. Informasi ini penting untuk menunjukkan kehidupan kita ke depannya. Tidak mungkin kita akan selalu di sini selamanya dengan masa depan yang entah akan bagimana kalau dari diri kita tidak ada perubahan."   "Cara apa lagi? Mengusir monster itu?"   "Ya benar. Kita tidak mau kan hidup kayak gini terus. Kita hidup kayak gini sama sekali enggak buat kita bahagia saya tahu pasti dalam hati kalian akan terus merasa was-was Dan takut."   "Intinya ajalah Gorge kita mau ngapain? Pindah dari sini? Gila kali ya ngapain juga pindah dari sini."    "Enggak, Lex makanya aku ngomong ini ke kalian aku mau ngasih tahu ke kalian kalau kita akan mulai membuat suatu alat lagi untuk mencoba membunuh monster itu." Seketika mereka langsung mengeluhkan pendapat Gorge.   "Mau buat apa lagi, Gorge setiap kali kita coba akhirnya gagal Dan malah memakan korban yang banyak. Belum lagi mereka harus saling kehilangan keluarganya."   "Tapi kita bisa coba dulu. Harry tahu caranya, dia udah coba buat alat peluit Dan pistol yang dia punya untuk melumpuhkan monster itu bahkan sampai mati. Jadi, menurut saya ya apa salahnya kita coba saran dari dia." Semua pandangan mata langsung mengarah kepada Harry, pandangab yang bermacam-macam yang malah membuat Harry jadi kikuk. Dan juga keluarganya yang lain yang bingung juga.   "Oh jadi pendatang baru itu? Jangan-jangan niat dia di sini busuk lagi. Padahal dia baru dateng tadi siang tapi sok-sok an kayak gitu."   "Tahu jangan-jangan emang niat dia bunuh kita semua biar bisa nempatin daerah sini sendiri sama keluarganya itu." Harry pun bangkit, jujur rencana Harry membeberkan itu benar-benar tanpa persetejuan darinya. Dia bahkan tidak tahu sama sekali.   "Mi, Papi mau ngapain?" tanya Estel yang merasa takut melihat pandangan orang-orang.   "Maaf semuanya. Saya Tidak ada sama sekali niat jahat kepada kalian. Tapi, ini benar-benar saya buktikan monster itu mati saat kita dengarkan peluit itu. Dan kami tembakan pistol Dan mati."   "Mana mungkin. Kita juga pernah kok coba nembak waktu itu. Di sini ada juga yang dulunya polisi tapi pistolnya seakan enggak berguna. Iyakan, Pak Jerry?" Mereka langsung menengok ke arah Jerry. Harry pun langsung melihat ke arah Jerry yang katanya seorang polisi.   "Kalau boleh tahu ditembakannya di apanya, Pak?" tanya Harry dengan sopan. Dia hanya ingin tahu apakah tembakannya ke organ vital monster itu di mana Harry pun awalnya juga tidak tahu.   "Saya tembak semuanya. Tapi, badannya seakan memang seperti Batu jadi malah waktu itu saya mengorbankan orang lain Dan orang itu mati di tangan monster itu. Sampai saat itu saya tidak mau lagi berhadapan dengan monster itu."   "Betul. Kita cuma mau hidup tenang di sini. Tanpa adanya monster itu."   "Tapi, kalau kalian tetap seperti ini apa tidak kasihan dengan anak kalian nantinya. Mereka tidak akan ada masa depannya kalau bukan kita yang adakan perubahan siapa lagi." "Heh Harry kami leboh baik tidak ada masa depan anak-anak kami dari pada nyawa anak-anak kami dalam bahaya. Sudahlah kamu ini orang baru tidak bisakah bertindak sopan." "Iya Harry benar kamu dan keluarga kamu masih untung diterima di sini. Tempat ini pasti awal mulanya tidak sebagus ini. Tapi karena kami menjaganya akhinrnya kami bisa membuat tempat kami di sini aman sama seperti rumah kami yang dulu." Harry diserbu oleh mereka semua. Angelina yang melihatnya pun merasa bingung dia jadi takut kalau mereka malah diusir dari tempat ini. Lagipula kenapa suaminya itu tidak membicarakannya kepada dirinya leboih dulu. Apalagi mereka di sini orang baru pasti mereka akan menolak keputusan Harry itu."  "Justru karena di sini kita bersama-sama oleh karena itu kita akan bisa menghancurkan monster itu." "Halah udah ya Harry kita enggak percaya sama kamu. Apalagi kamu orang baru gimana bisa juga kita yakin kalau cara kamu udah paling bener. Udahlah ayo bubar-bubar," ucap salah satu dari mereka yang mengajak orang lain untuk tidak mendengarkan Harry. Gorge mencegah mereka untuk tidak pergi dulu tapi malah Gorge yang kena umpatan mereka juga. "Tunggu dulu kalian belum dengar rencana yang mau disusun oleh Harry. Tunggu  dulu."  "Halah udahlah, Gorge kamu jangan terhasut sama dia. Kita aja yang orang lama di sini sejak monster itu muncul segala cara kita lakukan saja tidak berhasil gimana cuma dia yang orang baru." "Tapi, saya yakin dia bisa membuktikannya. Kita hanya perlu membantunya,"ucap Gorge yang kekeh membela Harry.  "Sudah kita tidak peduli. Kita tidak mau membahayakan orang lain lagi." Satu persatu dari mereka pun pergi dari kumpulan tadi. .Mereka ada yang menggelengkan kepala tidak terima. Ada yang merasa takut juga kalau rencana yang Harry katakan gagal. Angelina pun bangkit, dia menyerahkan anaknya ke Steven. Dia akan berbicara dua mata kepada suaminya yang ceroboh itu. "Stev kamu gendong adik kamu dulu, Mami mau bicara sama Papi kamu," ucap Angelina. "Iya, Mi." Setelah menyerahkan anaknya kepada Steven dia menuju ke suaminya. Estel yang melihat semua itu bukannya kesal dengan Papinya tapi kesal dengam semua orang yang di sana. "Kenapa mereka enggak mau dengerin ucapan, Papi dulu si, Kak. Kenapa mereka enggak percaya kalau Papi yang emang nyelamatin Kak Lili waktu itu. Papi bisa bunuh monster itu, Kak."  "Tidak semudah itu membuat orang percaya kalau apa yang kita katakan itu benar. Sebelum mereka melihat secara langsung." "Tapi, Papi kan enggak bohong, Kak." "Kalau kamu jadi orang-orang di sini mungkin kamu akan ngerti, Stel. Kamu itu masih kecil kamu hanya berbicara sesuai apa mau kamu aja. Tanpa, memikirkan pandangan orang lain. Kamu enggak inget waktu kamu bawa mainan yang dikasih Kak Violine buat kamu. Sudah dibilang sama Mami, Papi bahkan kakak jangan bawa. Tapi, waktu itu Kak Violine ngasih itu ke kamu. Ditengah jalan kamu mainin sampe bunyi. Terus semua orang langsung panik dan buat Kak Violine yang nyelamatin kamu tewas. Kamu pernah mikir enggak kejadian itu?!" ucap Steven menggebu-gebu. Lili yang di sampingnya mendegar penuturan Steven pun jadi kasihan. ternyata mereka harus kehilangan salah satu keluarganya juga. Lili kira sejauh ini mereka bisa bertahan dengan keluarga yang lengkap. Ternyata ada salah satu keluarga yang dikorbankan.  "Kata kakak itu takdir kenapa sekarang ngungkit itu dan nyalahin aku?" Steven berusaha untuk meredam emosinya. Estel adiknya ini selalu kerras kepala kalau dinasihati.  "Ya memang itu takdir makanya aku kasih tau ke kamu untuk mikir. Tidak semua orang bisa menerima keputusan kamu begitu saja. Mereka juga pernah kehilangan keluarga mereka untuk mencoba salah satu cara membunuh monster itu tapi apa. Mereka malah kehilangan." Estel terdiam. Logikanya tetap memaksa bahwa apa yang dikatakan Papinya itu benar dan tidak merugikan orang lain. "Tapi...." "Terserah kamu aja, enggak berguna ngomong sama kamu." Steven bangkit meninggalkan Estel. Dari pada dia emosi mendengarkan lontaran adiknya mending dia pergi.  "Stev...." Lili memanggil Steven tapi Steven tidak menggubrisnya dia tetap berjalan pergi dari sana. "Kamu bukannya keluarga mereka ya?" tanya Joe. Estel yang melihat ke sampingnya ada Lili dan satu orang laki-laki sepantaran Lili mungkin tapi Estel tidak mengenalnya. Estel memilih untuk bangkit dan berlalu ke tempat lain. Lili pasti mendengar semua yang diucapkan Steven. Lili pasti mengira kalau dia yang membunuh kakaknya sendiri. "Eh, Estel kamu mau ke mana?" panggil Lili tapi tidak disauti oleh Estel. "Eh kenapa dia malah pergi kamu panggil?" tanya Joe lagi. "Dia itu bukam adikku. Dia cuma keluarga yanh sudah banyak membantuku. Waktu itu Papinya dia nyelamatin aku dari mangsa monster itu. Iya benar dengan peluit dan pistol saja. Terdengar klise tapi memang itu adanya." Joe pun langsung mengerutkan keningnya bingung. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN