Tetap Terus Mencoba

3020 Kata
"Jika memang mencoba adalah yang terbaik Maka dia akan mencobanya." *****      Harry bertanya kepada Joe yang memutuskan untuk ikut karena kemarin Joe malah menyepelekan alatnya itu. Lili masih diam saat Joe melihat ke arahnya. Apakah Joe akan mengatakan kalau Lili yang menyuruhnya padahal Lili tidak menyuruh lagi.   "Kenapa kamu memutuskan Ikut?" tanya Harry kepada Joe.   "Enggak papa kali, Har bukannya malah bagus kalau Joe ikut jadi kalau misal rencana kita berhasil dia bisa jadi saksinya," ucap Gorge menyahuti ucapan Harry.   "Ya enggak papa sih cuma aneh aja kemaren dia kan bilang kalau enggak mau gabung malah cenderung nyuruh kita nyoba alat ini jauh sekarang dia malah mau ikut."    "Maaf, Om kalau kemarin saya udah ngomong kayak gitu. Cuma saya masih penasaran makanya saya memutuskan untuk ikut."   "Kamu yakin? Kamu enggak takut kalau ini sangat berbahaya."   "Saya tahu tapi setidaknya saya sudah mencoba. Seseorang pernah mengatakan kepada saya lebih baik gagal setelah berani mencoba dari pada menyerah Sebelum Mencoba. Saya rasa kehidupan ini memang sudah nyaman, tapi kita tidak akan berkembang kalau kita berhenti di zona nyaman." Harry mengangguk paham. Lili tersenyum dalam hati itu adalah ucapan yang dia katakan kepada Joe malam itu. Ternyata, Joe menggunakannya.    "Yasudah kalau begitu saya ikut senang kalau kamu ikut saya."    "Harry kamu kan sudah ada Joe saya mohon maaf untuk tidak ikut lebih dulu soalnya saya ada urusan dengan keluarga saya." Harry malah mengerutkan keningnya Kenapa malah dia tidak ingin ikut.   "Loh, bukannya kemarin kamu bilang kalau kamu bisa ikut?" tanya Harry lagi.   "Ya memang saya mengatakan itu tapi, semalam saya berdebat dengan keluarga saya untuk tidak ikut, tapi dari pagi saya sudah mencoba membantu semua perlengkapan yang mau kamu bawa. Saya harap ini dapat membantu. Dan saya juga hanya bisa mendoakan kalian agar rencana kalian berhasil." Harry mengangguk paham. Pasti keluarga Gorge tidak mau terjadi sesuatu dengan Gorge jadi memilih agar Gorge tidak ikut bersama mereka.   "Okelah kalau seperti itu, sebentar saya Cek semua barangnya." Harry masuk ke dalam anak-anaknya pun ikut ke dalam sedangkan Lili, Joe dan Angelina menunggu di luar. Beberapa saat lagi mereka akan berangkat tapi Estel malah merengek untuk ikut.   "Ayo, Pi kita berangkat. Kita buktiin kalau kita bisa ngancurin monster itu."    "Estel kamu di sini aja sama Mami. Bahaya kalau kamu ikut," ucap Harry lagi.   "Enggak mau tadi kan Papi bilang Estel boleh ikut kenapa sekarang berubah lagi. Pokoknya Estel tetep mau ikut sama Papi. Estel enggak mau ditinggal Papi." Estel kekeh untuk ikut bersama Harry. Padahal, maksud Harry tadi adalah ikut sampai tempat menyimpan mesin-mesin ini saja bukan ikut untuk menghancurkan monster itu.   "Estel ini akan sangat berbahaya apalagi ini percobaan pertama Papi kalau nanti Estel pasti boleh ikut."   "Enggak, Pi aku tetep mau ikut aku enggak bakal kok nyusahin Papi boleh ya Pi aku ikut sama Papi." Angelina pun menarik pelan tangan Estel untuk mendekatnya tapi Estel menahan karena tidak mau ikut bersama Maminya.   "Estel dengerin, Mami bukan enggak boleh kamu ikut Papi tapi kan kamu harus belajar, nak. Kamu udah lama loh enggak belajar kamu harus belajar lagi biar pintar doakan aja kakak sama Papi baik-baik aja dan pulang bawa kabar gembira, nak." Itu hanya alibi Angelina dia mencoba memberikan pengertian kepada anaknya bahwa lebih baik dia belajar dari pada ikut Papinya.   "Mi sekarang keamanan yang lebih utama. Estel janji setelah monster itu lenyap Estel bakal rajin belajar." Joe spechelees mendengar semangat Estel untuk ikut bersama mereka. Padahal, Estel masih kecil tapi sudah berani untuk ikut Papinya. Dia jadi merasa malu karena kemarin telah cemen kepada keluarga mereka.   Angelina melihat ke arah Harry, dia meminta persetujuan Harry apakah Estel akan ikut bersama mereka atau tetap di sini bersama Angelina.   "Mi kalau Estel di sini juga enggak punya temen. Mereka Semua benci sama Estel karena meremehkan Papi. Mending aku ikut sama Papi dan kakak aja, Mi," ucap Estel lagi.   "Yaudah biarin aja Estel ikut sama aku, Mi."   "Tapi, ini kan berbahaya, Harry. Aku malah takut terjadi sesuatu dengan Estel apalagi Estel tidak bisa diem dan terlalu aktif mencoba kalau dia salah menggunakan sesuatu bagaimana?"    "Enggak kok, Mi aku nanti bakal nurut. Boleh ya, Pi aku pengen ikut Papi aja. Masa Kak Steven sama Kak Lili boleh ikut sedangkan aku enggak boleh."    "Yaudah, Mi biarin Estel ikut sama aku. Aku bakal jagain dia." Estel tersenyum riang akhirnya dia boleh ikut bersama dengan Papinya. Angelina yang merasa berat membiarkan anaknya ikut semua dan dia hanya bersama Eveline—bayinya.    "Apa kamu enggak makin kesusahan nantinya, Har? Bawa barang-barang kamu aja udah banyak. Estel kan tangannya cepet banget aku malah takut nanti dia bikin kamu repot."   "Iiih, Mami enggak kok. Nanti aku beneran nurut sama Papi, engga rusuhin barang-barang, Papi kok." Angelina melihat lagi ke arah Harry. Harry hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya padahal Angelina sudah merasa khawatir kalau anaknya kenapa-kenapa dan malah menyusahkan suaminya.   "Bi saya kan juga ikut. Saya laki-laki dewasa bisa kok menjaga semuanya. Saya bisa membawa alat yang akan kita coba. Saya rasa cukup kalau ada tiga orang dewasa. Saya, Om Harry dan Lili."   "Steven juga udah gede kok. Steven bisa jagain adek, Mi jadi Mami enggak perlu khawatir kalau emang adek maksa untuk ikut."    "Tuh, Mi udah enggak papa kok kalau emang Estel mau ikut. Udah yuk beresin semuanya." Angelina hanya memutar bola matanya dan setuju. Harry tidak lupa.membagikan alat-alat untuk mereka pegang satu-satu. Sebuah alat tembakan dari Bambu yang Harry sendiri rangkai. Alat seperti radio semua pun sudah siap. Mereka mulai berjalan keluar dari tempat terpencil ini. Orang-orang memandang Harry yang mau pergi dengan tatapan yang saling meremehkan dan tidak percaya kalau rencana Harry akan berhasil. Tapi, Harry tidak peduli apapun yang terjadi akan dia lakukan demi menunjukkan kalau dia bisa menghabisi semua monster.    "Lihat deh sok banget ya jalannya, kayak bisa aja bunuh monster berbahaya. Cuma bekel alat kayak gitu lagi."   "Iya, bener. Joe juga ngapain ikut lagi udah kecuci tuh pasti otaknya sama orang baru itu." Semua celotehan miring yang terdengar di kuping Harry tidak dia gubris sama sekali. Dia hanya akan memikirkan satu tujuannya. Kalau memang dia bisa kenapa harus ragu.     "Har, sorry banget ya kalau gue sampe akhirnya enggak bisa nemenin lo. Padahal, gue pengen banget ikut. Pengen lihat langsung kelemahan monster itu."   "Iya enggak papa kok, toh udah ada Joe yang milih ikut. Kamu enggak terpaksa untuk ikut kan, Joe?" tanya Harry. Dia tidak mau kalau Joe merasa terpaksa. Atau ada yang memaksanya untuk ikut.   "Enggak kok, Om saya yakin untuk ikut lagian saya juga di sini enggak ada kesibukan apa-apa." Harry mengangguk dia kembali berbicara kepada Gorge.    "Gorge selama gue pergi. Gue nitipin istri sama bayi gue ya. Mi kalau kamu belum nyaman dengan beberapa orang di sini kamu bisa minta bantuan sama Gorge."   "Enggak ah, Pi nanti yang ada malah Mami dikira yang enggak-enggak sama orang-orang di sini. Lagian Mami bisa minta tolong yang lain kok nanti." Harry pun mengangguk membiarkan kemauan istrinya selama dia tidak ada.   "Tapi, tenang aja gue bakal tetep mantau istri lo kok, Har. Semoga cepet balik deh ya." Gorge menepuk pundak Harry.   "Semoga aja kali ini lebih gampang," ucap Harry lagi. Semua pun berharap seperti itu. Tidak perlu lama-lama lagi. Dia pun lantas menggendong tasnya lagi yang diserahkan istrinya.   "Angel jaga anak kita dengan baik selama aku enggak ada ya. Doain aku bisa kembali secepatnya dan berkumpul bersama kalian lagi."   "Iya, tapi kamu juga cepet pulang ya jangan cuma diem di sana lama-lama."   "Ya kalau udah berhasil aku langsung nemuin kamu dong yakali mau nemuin siapa," gurau Harry mengelus pipi istrinya. Harry memeluk istrinya, mencium kening istrinya dan beralih ke bayinya. Dia merasa kasihan dengan bayinya. Bayinya masih kecil tapi sudah dipaksa kuat dalam keadaan yang seperti ini.   "Adek jangan rewel ya ikutin saran Mami. Papi pergi dulu," ucap Harry kepada bayinya. Walaupun belum paham dia yakin kalau anaknya ini tidak akan rewel. Selama ini diajak berpetualang di saat yang menegangkan ini untungnya sang anak tidak terlalu rewel.  "Estel, Steven, Lili pamit sama Mami. Minta doa Mami semoga kita berhasil dan cepet pulang." Mereka mengangguk mendengar perintah dari Papinya.   Dimulai dari Estel yang langsung memeluk Maminya. Angelina berjongkok untuk menyamakan tinggi anaknya. "Mami doain, Estel ya. Estel pergi dulu sama Papi. Semoga aja Estel sama Papi dan Kakak-kakak bisa musnahin monster itu ya.   "Iya, sayang Inget ya pesen Mami jangan nyusahin Papi jangan megang apa-apa yang bisa membahayakan kamu. Mami sayang banget sama kamu. Mami akan tunggu kamu sampai pulang." Estel tersenyum hangat.    "Iya, siap Mami." Angelina menciumi seluruh wajah Estel setelah itu bergantian dengan Stevem anak pertamanya yang jarang sekali berbicara. Angelina merasa bangga memiliki semua anak-anak yang memang anugrah untuk dirinya. Mereka anak-anak yang kuat hingga membuat Angelina merasa bahagia bersama mereka.   "Mi maafin, Steven ya kalau selama ini Steven banyak salah sama, Mami. Steven pamit dulu buat nemenin Papi ya, Mi. Setelah semua berakhir Steven janji kalau nanti Steven bakal jadi pemain basket terkenal."      "Iya sayang. Maafin, Mami juga ya kalau selama ini Mami bikin kamu susah terus. Kamu anak pertama Mami yang kuat. Jaga adek-adek kamu ya, nak." Steven mengangguk lagi.    "Mami doain aja ya semoga kita cepet pulang. Monster&mosnter itupun mati di tangan kita."   "Iya, nak. Mami doain selalu." Angelina memeluk anak pertamanya dan mengecup wajah anaknya sama seperti yang dia lakukan kepada Estel.   "Mi makasih atas kebaikan kalian ya. Kalian nerima udah nerima aku. Udah nolong aku padahal waktu itu udah jahat banget."   "Enggak papa kok, Li. Semua udah lewat jadi udah Mami lupain juga. Kamu sekarang udah, Mami anggep seperti anak Mami sendiri. Mami nitip anak-anak Mami ya. Jagain mereka juga."   "Pasti, Mi makasih banyak ya sekali lagi. Kalau nanti Lili enggak kembali, Mami doain semoga Lili ketemu sama orang tua Kandung Lili."   "Hush kamu enggak boleh ngomong kayak gitu. Kamu pasti selamat kok, Mami akan tunggu kalian di sini dalam keadaan selamat."    "Makasih, Mi." Dia pun mengangguk.      "Tante saya pamit juga ya untuk ikut doain kita." Joe dengan inisiatifnya pun mencium tangan Angelina. Angelina tersenyum.    "Iya, Joe nitip anak-anak saya juga ya. Semoga aja kalian kembali dengan selamat. Kehidupan kita bisa seperti dulu."   "Ya, semoga aja, Tante."   "Yaudah, Angel aku aku berangkat dulu ya jaga diri kamu di sini. Jaga kesehatan juga jangan terlalu mikirin kita. Aku bakal balik secepatnya."   "Iya, Harry."    "Aku mencintai kamu," ucap Harry lagi dab mencium kening istrinya.   "Aku juga," jawab Angelina. Ah Lili yang melihat mereka iri semoga saja kelak saat kehidupan sudah kembali seperti dulu, Lili bisa mendapatkan laki-laki seperti Paman Harry dan dia bisa menjadi wanita yang bahagia seperti Mami Angel.    "Gorge aku nitip mereka."   "Ya, pasti," jawab Gorge. Harry tidak ingin berlama-lama lagi. Dari tadi mereka sudah berlama-lama. Dan kini mereka harus segera berangkat.     Hati Angelina merasa tidak tenang. Dia ingin ikut tapi terlalu berbahaya untuk bayinya. Dia hanya berharap Harry bisa kembali apapun yang terjadi entah itu gagal ataupun berhasil asal Harry dan anak-anaknya kembali dengan selamat itu sudah point terpenting.    "Nyonya Angelina saya pamit dulu ya," ucap Gorge lebih dulu kembali bersama keluarganya saat Harry sudah melangkah pergi.   "Iya, Tuan." Gorge mengangguk lantas masuk ke dalam sana lagi. Angelina masih menunggu mereka berjalan menjauh sampai tidak terlihat lagi.     "Semoga, Papi kamu baik-baik aja ya, Dek," ucap Angelina kepada anak bayinya yang mungkin saja entah mengerti atau tidak pernyataan Ibunya. ....     Harry berjalan dengan bersama mereka semua. Dia yakin kalau rencana ini semoga saja berhasil. "Pi, kita mau pergi ke mana buat nyoba alat ini?" tanya Estel.   "Kita nyoba ini di tempat yang jauh, nak. Agar kita tidak membahayakan mereka semua yang ada di sana." Harry akan mencoba ini jauh dari tempat desa terpencil yang banyak orang di dalamnya.    "Berarti kita bakal jalan jauh ya, Pi. Kita coba di rumah lama kita aja, Pi yang sudah habis oleh manusia kanibal."   "Arah jalan ke sana, Papi sudah tidak tahu. Lagian kita jalan selama ini kan tanpa arah jadi Papi juga tidak tahu jalan menuju ke sana."   "Iya, juga ya," jawab Estel sambil mengangguk.   "Om kalau boleh tahu udah lama buat-buat alat kayak gini?" tanya Joe yang penasaran kok bisa kepikiran Harry membuat alat ini.   "Belum. Ini baru kali kedua saya buat ini, dulu saya buat juga tapi tidak seperti ini. Entah dapat kemampuan dari mana saya bisa menyusun alat ini hingga menimbulkan suara yang besar. Dulu waktu saya buat cuma bisa suara kecil yang bunyi."   "Suara kecil tapi alatnya sama kayak gini, Om?" tanya Joe lagi. Jujur banyak yang ingin dia tahu tentang pemikiran Harry yang sepertinya memang pintar dalam merangkai sesuatu.     "Iya, dulu saya sebutnya peluit. Peluit itu kecil tapi mampu menewaskan satu monster." Joe terdiam, dia bukannya tidak mau percaya tapi masa iya hanya dengan sebuah peluit saja bisa menghancurkan satu monster.   "Kamu ragu ya sama peluit saya dulu. Jangankan kamu saya juga dulu berfikir kayak gitu kok. Tapi, bukan hanya dengan peluit dengan pistol juga. Kalau dengan peluit iya memang mampu membuat monster itu mundur tapi mereka hanya pergi tidak mati."   "Jadi gimana tuh, Om kok bisa monster sebesar itu dan seberbahaya itu bisa mati hanya dengan dua alat itu. Dulu saya dan yang lainnya udah coba berbagai buatan benda tajam. Karena sebelum ada monster itu muncul saya dan teman-teman saya itu bekerja di pembuatan benda-benda tajam. Kami coba buat dan menghancurkan monster itu tapi monster itu malah menyerang kita dan terlalu banyak monster yang akhirnya menghancurkan tempat kita."   Harry tertawa lalu berucap, "Saya juga baru berfikir itu setelah saya mencoba Joe. Dulu saya juga berfikir dengan kekerasan menghancurkan monster itu tapi setelah saya mengerti sudah berulang kali saya menyerang monster itu dengan banyaknya benda tajam tetap saja banyak yang gagal juga. Untung nyawa saya masih selamat sampai sekarang."   "Papi selama ini nyoba juga?" tanya Steven.   "Ya, setiap Papi keluar dulu untuk mencari bahan makanan atau perlengkapan adik bayi Papi selalu berfikir untuk menghabisi monster itu karena Papi sudah lelah dengan keadaan yang semakin berbahaya. Semua orang hilang entah ke mana. Kehidupan seperti mati. Papi sampai berfikir apa cuma keluarga kita yang selamat karena nyatanya Papi jarang menemukan orang baru." Steven mengangguk dia baru tahu Hal itu. Karena dulu Papinya lebih sering pergi sendiri sedangkan dia menjaga Maminya dan kadang belajar di rumah.   "Papi ngerasa kalau kita ini di ambang kematian semua. Papi rasa dunia memang sudah tua itulah yang Papi pikirkan. Tapi, setelah Papi melihat beberapa tahun kita jalani kita masih bisa bertahan hidup walaupun kita tidak tahu di mana orang-orang berada. Hingga surat kabar itu Papi temukan." Mereka mengangguk mendengarkan cerita Papinya.    "Surat kabar itu dari tempat kami. Itu sebabnya, Om memilih keluar dari tempat lama, Om hanya untuk mencari Tempat terpencil kami?"   "Ya betul. Saya merasa ada pencerahan kalau saya bisa bersama kalian. Itu artinya saya tidak harus berjuang sendiri melawan monster itu. Bukankah dengan bersama-sama semua akan terasa mudah. Tapi, ternyata saya datang terlambat ya," ucap Harry sedikit menyesal karena datang terlalu lama ke tempat mereka.   "Iya, Om maaf. Karena kita sudah lelah menghancurkan monster itu dengan berbagai cara. Jadi, kami memutuskan untuk mundur dan menutup tempat kita yang kita buat merangkai alat. Hanya saja kerjaan kita untuk menyebar informasi dan mencari manusia-manusia yang hidup untuk kami ajak berkumpul bersama. Karena saya fikir kasian mereka di luar sana hidup bahaya."    "Ya cara kamu sudah baik sebenarnya. Saya juga kira semua akan berjalan bersama-bersama tapi pada akhirnya saya sendiri lagi berjalan bersama anak-anak saya." Harry tersenyum hangat kepada anak-anaknya. Mereka anak yang kuat selama ini Harry hanya ingin anaknya aman tapi mereka malah ingin terus bersama Harry.     "Anak-anak, Om hebat ya. Mereka enggak takut sama sekali untuk ikut sama, Om padahal bahaya banget," jawab Joe lagi. Lili sedari tadi hanya diam mendengarkan mereka mengobrol.     "Aku mau ikut sama Papi karena aku mau nemenin, Papi aku enggak mau kalau Papi sendiri ngadepin monster-monster yang besar itu sendiri belum lagi bahaya juga," jawab Estel dengan suara lucunya membuat mereka terkekeh. Harry mengelus kepala anaknya dengan sayang.   "Ada suara," ucap Lili akhirnya membuka suara sedari tadi dia diam saja. Hingga suara sesuatu membuat mereka terdiam seketika.    "Mana?" tanya Joe.    Kresek ... Kresek....   "Suaranya dari sana enggak sih? Soalnya aku denger suaranya dari sana," ucap Lili menunjuk semak-semak yang penuh dengan rumput-rumput yang menjulang tinggi.   "Iya kayaknya," ucap Harry. Harry membawa anaknya mundur di belakangnya.    "Li kamu ajak mundur Steven sama Estel," bisik Harry dengan pelan kepada Lili. Dia takut kalau itu malah monster jadi dia harus menyiapkan alat-alatnya sambil berjalan maju.   "Pi...." rengek Estel yang takut kalau Papinya kenapa-kenapa. Joe tidak mau cemen dia ikut Harry berjalan di samping Harry. Lili mengajak Steven dan Estel mundur ke belakang. Estel ingin ikut Papinya tapi Steven dan Lili menariknya. Steven menutup mulut Estel rapat. Kita tidak tahu apa yang ada di sana jadi mereka harus tetap tenang.     Mereka berjalan maju, Harry dan Joe berjaga-jaga takut kalau sesuatu itu berbahaya. Jantung mereka berdua berdegup kencang.      Harry merasa itu bukan monster. Kalau monster pasti sudah muncul di hadapannya walaupun ada suara sangat kecil. Joe gemetar kakinya. Saat mereka maju dan sudah berada dekat semak-semak. Harry memberi aba-aba kepada Joe untuk membuka pelan-pelan. Karena Harry sudah sangat yakin ini bukan monster.          Di belakang Estel menutup matanya. Steven juga masih deg-degan Papinya berada dekat di semak-semak itu. Lili melihat itu dengan was-was pula. Semoga saja itu bukan Hal yang tidak diinginkan.   Mereka berdua memberanikan diri untuk langsung membukanya. Setelah mereka lihat ternyata..... ......   "Awh...." Tangan Angelina tersayat pisau karena tidak hati-hati. Minah langsung melihat ke arah tangan Angelina.   "Hati-hati, nak lain kali. Lebih baik kamu tiduri anak kamu saja dulu dari pada memasak sambil membawa anak dan bahaya untukmu, nak." Minah melihat ke arah Angelina. Dia melihat juga ke tangan Angelina yang terluka.    "Enggak papa kok, Bu ini tadi saya lalai aja jadi salah iris," ucap Angelina. Minah merobek ujung bajunya lalu melilit tangan Angelina yang tersayat pisau.   "Makasih ya, bu saya jadi ngerepotin," ucap Angelina.   "Enggak papa kok. Kalau kamu capek mending istirahat dulu, nak. Kamu dari tadi gendong anak kamu juga soalnya enggak pegel emangnya?"   "Lumayan, Bu cuma saya enggak enak aja kalau cuma tidur-tiduran di sini apalagi saya orang baru."   "Lagian orang di sini banyak, nak. Tidak semua juga mengenal kamu jadi tenang saja, ayo saya antarkan kamu untuk istirahat saja." Minah memberikan tugasnya ke yang lain dan mengantarkan Angelina ke rumah saja. Terlihat sekali memang raut wajah Angelina yang banyak pikiran juga kelelahan.  .....  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN