Nine

1986 Kata
-Cris- Sebelum menuju rumah orang di balik perbuatan keji Juanita waktu itu, gue meminta Aaron melajukan mobil menuju apartemen untuk mengambil sesuatu di sana. "Bunga buat siapa, bro?" tanya Aaron saat gue membawa sebuket bunga mawar merah. Bukan dari toko bunganya Briana. Gue beli di florist lain. Gue malas menghadapi pertanyaan konyol dan rasa keingintahuan yang besar dari gadis itu. "Buat seseorang. Lo naik dulu ya. Gue ada urusan bentar di lantai 30," ujar gue saat lift berhenti bergerak di lantai 30. Saat keluar dari unit apartemen Nina pagi tadi, baru gue sadari kalau kami tinggal di satu gedung apartemen yang sama. Hanya terpisah tiga lantai saja. Namun selama dua tahun ini gue tinggal di Antlantic Apartment, gue belum pernah melihat Nina sama sekali. Pantas saja gue merasa asing dengan wajahnya. Bel apartemen sudah gue tekan beberapa kali, tapi Nina nggak muncul. Mungkin dia ada urusan lain setelah dari gereja. Gue menghirup aroma bunga yang masih segar ini sebelum meletakkannya di depan pintu. Mungkin lain waktu saja gue akan kembali lagi untuk berterima kasih dan meminta maaf secara layak karena sudah membuatnya repot selama beberapa hari terakhir. Sesampaiannya di unit apartemen gue sendiri, gue bergegas menuju kamar utama. Mengambil sebilah pedang samurai yang sudah lama nggak gue gunain. Sepertinya pedang samurai ini sedang haus. Benda mati dan mematikan ini butuh setetes cairan kental warna merah berbau anyir. "Lo yakin mau nyerang Haris sekarang?" "Tangan gue sudah gatel pengen makek katana ini." "Tck. Luka lo?" "Persetan sama luka gue! Gue udah nggak apa-apa kok." Setelah gue membentak Aaron, gue menepuk bahunya, mengisyaratkan kalau gue baik-baik saja. Gue dengar Aaron hanya mendesah pelan sebagai tanggapan. "Terakhir lo makek samurai itu bikin jari rentenir Tanah Abang putus," protesnya sekali lagi. "Kali ini samurai ini minta umpan lebih besar dari jari. Pastikan Haris hanya sendirian di rumah. Anak dan istrinya jangan sampai melihat apa yang kita lakukan nanti!" Aaron mengangguk lalu kami meninggalkan apartemen menuju rumah Haris. "Ternyata penyerangan malam itu dan perbuatan Juanita yang nekat ngeracunin elo emang didalangin oleh Haris. Dia nganggep lo membawa kerugian buat bisnis perjudiannya." Gue mendengarkan dengan menahan emosi semua penjelasan Aaron. "Gue baru dapat info, selain bisnis judinya ilegal, Haris nggak mengantongi izin dari pemilik hotel. Dia menjalankan bisnis hitam itu secara rahasia tujuh tahun terakhir. Sejak kedatangan lo setahun ini di tempat dia, si Haris itu sering ngalamin yang namanya rugi bandar. Dia menggunakan segala cara buat bikin lo kalah. Bahkan sampai nyari pendana buat danain modal judi lo dengan bunga selangit. Tapi selalu gagal, karena lo selalu menang dan bisa membayar pinjaman lo. Sekarang gantian dia sendiri yang dikejar-kejar penagih hutang. Jadi dia cari jalan pintas buat nyingkirin lo dari muka bumi, Cris." "b*****t!" "Saran gue, lo harus lebih hati-hati bawa orang asing ke apartemen lo. Kalo mau cari tempat pelepasan hasrat lo, mending cari hotel, penginapan, whatever lah asal bukan apartemen lo!" Gue mengangguk paham atas nasehat Aaron. Memang baru dengan Juanita gue punya hubungan sedekat itu. Bisa dibilang cukup lama juga meski hanya sekadar friends with benefit. Bersama Juanita nggak membuat gue kepikiran one night stand seperti sebelumnya. Karena Juanita sudah mampu membuat gue puas. Nggak nyangka kalau dia perempuan serakah, jalang itu malah mengkhianati gue dengan dalih mencintai gue. Fuck! Mengulang kembali pernyataan Aaron soal bisnis perjudian Haris yang tidak mengantongi izin pemilik hotel, gue mengaitkan dengan pertanyaan yang kerap diajukan Nina selama gue di apartemennya. Gue jadi penasaran, siapa perempuan itu sampai ingin tahu apa yang gue lakukan di hotel itu? Lebih tepatnya lantai rahasia yang bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu saja. Akan gue cari tahu nanti. Aaron memarkir mobil tak jauh dari sebuah rumah besar. Letaknya cukup jauh dari pusat keramaian. Dijaga oleh tim keamanan yang cukup ketat. Dari postur tubuh dan pakaian mereka, gue yakin orang-orang itu orang yang sama dengan yang menyerang gue malam itu. Sekitar pukul tujuh malam, sebuah sedan mewah keluar dari rumah Haris. Aaron yang mengintai di jarak lebih dekat dengan rumah datang menyampaikan informasi hasil pengintaiannya pada gue. "Kita bergerak sekarang, istri dan anaknya Haris sudah pergi," ujar Aaron. Gue mengangguk lalu mengenakan atribut serba hitam gue. Topi, jaket, sarung tangan, sepatu boot dan masker. Menenteng sebilah pedang samurai gue berjalan mengendap mendekati rumah Haris. Gue dan Aaron masuk rumah dengan melompati pagar samping rumah ini. Saat Aaron sedang melumpuhkan para penjaga yang berjaga di sekitar pintu masuk, gue mengendap masuk mencari keberadaan Haris. Gue menemukan dia sedang bermain bilyard di ruang kerjanya. Pria itu terkejut melihat kedatangan gue. Tanpa perlu pikir panjang gue menyerang dia dengan pedang samurai yang berada di tangan gue. Mendapat sebuah luka di pangkal lengannya, Haris berusaha menyelamatkan diri. Dia berlarian menuju lantai dua rumahnya sambil menyerukan nama anak buahnya. Suara teriakan yang ditimbulkan oleh Haris sontak membuat para algojo yang berjaga di luar rumah lari terbirit untuk melihat kondisi pimpinan mereka. Aaron dengan sigap melawan para algojo tersebut. Gue terus melakukan pengejaran pada Haris. Dia menyelamatkan diri dengan lari menuju balkon lantai dua rumah ini. "Kamu siapa? Ada urusan apa ingin mencelakaiku?" tanyanya dengan suara gemetar. Saat ini dia sudah terpojok di sudut balkon. Gue terus mendesaknya dengan ujung pedang samurai hingga Haris terduduk dengan tubuh penuh keringat karena ketakutan. Gue terus mengintimidasinya dengan pedang samurai. Tujuan gue supaya dia mau mengakui semua perbuatan busuknya ke gue. "Bunuh dia! Bunuh saja!" Seru suara lain di balkon ini. Mengurungkan niat gue untuk melayangkan pertanyaan pada Haris. Gue terkejut saat mendengar suara seorang perempuan yang sangat asing di telinga gue. Jaraknya saat ini cukup jauh dengan gue. Membuat gue tidak bisa melihat wajah wanita betubuh sintal dengan pakaian serba hitam seperti gue. Gue hanya bisa melihat rambut sebahunya bergelombang dan tergerai. Wanita itu terus berjalan mendekat ke arah gue. "Bunuh dia dengan pedang itu! Dia pantas mati!" bentaknya, karena gue malah diam terpaku saat ini. Silau lampu jalan semakin mengganggu penglihatan gue. Membuat wanita itu dengan mudahnya meraih pedang samurai gue, lalu menghunuskan pedang berujung sangat tajam itu tepat di perut Haris. Tanpa ampun dia menarik kembali pedang tersebut kemudian berlalu membawa pedang samurai milik gue, meninggalkan gue dan Haris yang sedang diambang mautnya. Terdengar suara sirine mobil polisi dari kejauhan. Aaron menyusul gue ke balkon kemudian menyeret gue menjauh dari balkon. "Ayo, Cris. Polisi segera datang. Kita harus meninggalkan tempat ini," ujar Aaron saat gue masih mematung menatap tubuh Haris bersimbah darah kental dari perutnya. Gue lalu mengikuti langkah tergesa Aaron melewati pintu belakang menuju mobil kami. Selama perjalanan meninggalkan rumah Haris gue terus memikirkan sosok wanita yang menghunus perut Haris dengan pedang samurai gue. Dia punya kepentingan apa mendatangi rumah Haris dan sangat ingin membunuh Haris. Shit! Katana gue dibawa wanita misterius itu. Gue tidak bisa melihat jelas wajahnya. Namun gue bisa hapal wanita itu melalui gesture tubuh dan suaranya. Gue beruntung karena tidak sempat bersuara apalagi melepas masker yang menutupi separuh wajah gue. Itu artinya baik Haris maupun wanita misterius tadi tidak mengenali wajah gue. ♤♡◇♧ -Nina- Beberapa hari setelah kepergian Cris dari apartemenku--dengan hanya meninggalkan jejak berupa buket mawar merah--aku mendapat kabar dari kepala ART rumah Papi kalau Papi dilarikan ke rumah sakit karena diabetesnya kambuh. Entah apa yang tante Manda berikan pada Papi sampai gula darah Papi naik dengan drastis. Dari kantor aku langsung melesat menuju rumah sakit tempat Papi biasa dirawat dan menjalani pengobatan sejak divonis diabetes lima tahun yang lalu. "Lebih baik Meme juga jangan sering-sering ke rumah sakit. Biar Papi bisa istirahat total tanpa merasa resah memikirkan Meme. Karena setiap kali melihat Meme, Papi tuh kayak gelisah dan sedih." "Tapi, tante-" "Percayakan Papi pada tante Manda. Meme mending fokus sama perusahaan aja dulu ya, sudah akhir tahun kan sekarang. Bikin Papi bangga sama Meme." Mengangguk lesu aku meninggalkan rumah sakit, kembali ke kantor untuk melakukan hal yang disarankan oleh tante Medusa. Pekerjaanku banyak dan menumpuk di akhir tahun ini. Prioritas utama adalah dalam waktu satu bulan sebelum menjelang tutup tahun meningkatkan penjualan dan produksi di eN plywood. Lalu menarik simpati dewan direksi dan anggota komite eN plywood sekaligus eN Group, supaya mau menerimaku menjadi pengganti Presiden Direktur nantinya. Minimal aku bisa menjadi Direktur Utama eN plywood terlebih dulu. Aku sudah berencana akan membawa orang yang berpihak padaku menjadi salah satu anggota dewan direksi untuk menguatkan posisiku dan yang mampu memengaruhi dewan direksi yang lain untuk ikut mendukungku menjadi Direktur Utama. "Gimana kondisi pak Martin?" tanya Dastan sebelum aku memulai meeting bersama staf manager eN plywood pagi ini. "Sekarang masih di ICU," jawabku tegar seolah tidak terjadi hal yang buruk pada Papi. Aku tidak ingin dikasihani dan dianggap lemah. Mulai sekarang aku akan menganggap bahwa semua baik-baik saja. "Coba lihat data produksi tahun ini." Aku mengalihkan pembahasan mengenai kondisi Papi. Dastan menyodorkan beberapa map file berisi laporan penjualan dan hasil produksi eN plywood satu tahun ini. Kepalaku pening melihat grafik penjualan yang tidak konsisten. Naik drastis kemudian turun drastis. Pergantian GM dan kekosongan posisi GM yang cukup lama menambah alasan pergerakan grafik yang merusakkan mata ini. Tahun-tahun sebelumnya juga begitu. Menjelang akhir tahun selalu menjadi puncak keruntuhan sekaligus kejayaan eN plywood. Aneh banget. Setelah seluruh manager berkumpul aku meminta semuanya fokus pada pengurangan pengeluaran berlebihan untuk biaya produksi dan peningkatan penjualan pada konsumen dalam negeri. Karena tahun ini ada pergantian hierarki birokrasi pemerintahan dan Presiden yang memengaruhi pergantian peraturan di segala aspek dan bidang, kegiatan ekspor kayu lapis pun ikut terpengaruh. Seminggu ke depan aku akan bekerja keras mendapatkan proyek-proyek dalam negeri. Meyakinkan pasar bahwa kayu lapis produk eN Plywood memiliki kualitas ekspor dengan harga bersahabat. Dan itu bukan pekerjaan mudah mengingat kayu lapis produksi eN Plywood identik dengan produk berkualitas ekspor. Selama Dastan menjadi GM dia terlalu memfokuskan pada kerja sama bilateral dengan banyak negara, mencari klien dari luar negeri sebanyaknya, dan menuntut pabrik untuk menghasilkan produk dengan kualitas ekspor. Selama berhari-haru aku bekerja seperti orang kesetanan. Meeting pagi buta bahkan bekerja hingga larut. Beberapa manager mulai mengeluh dengan ritme kerjaku yang di luar batas kemampuan mereka. Aku sering menahan Fandi lebih lama di kantor, dia Manager Pemasaran yang sangat bisa diandalkan, minus kelakuan mesumnya yang tidak pernah berubah meski sudah memiliki istri dan anak. Aku mengabaikan celetukan-celetukan bernada m***m yang kerap Fandi lontarkan, karena tenaga dan pikirannya aku butuhkan untuk mencari strategi pemasaran guna meningkatkan penjualan kayu lapis eN Plywood di pasar dalam negeri. Dalam meeting terbatas dengan staf divisi pemasaran, Fandi selaku manajer pemasaran mengajukan 51 strategi pemasaran yang bisa digunakan. Keseluruhannya sangat menarik dan menguntungkan pihak eN Plywood. Perusahaan akan meningkatkan promosi penjualan, pendekatan langsung dengan konsumen yang akan dilakukan oleh Manager Public Relation nantinya, pemberian cinderamata pada konsumen loyal dan setia selama beberapa tahun ini pada produk-produk eN plywood, memasang iklan di papan reklame dan juga media elektronik seperti radio dan televisi. "Perusahaan kan punya website tuh, bikin promo dari situ juga boleh deh, Nha. Trus perusahaan harus sering-sering ikut seminar tentang penggunaan kayu lapis juga, untuk pengenalan produk kita lebih dekat dengan masyarakat pengguna kayu lapis. Selama ini kan kita selalu berhubungan dengan vendor atau pihak ketiga, sekali-kali kita keluar dari jalur aman, kita menangkap sendiri sasaran dengan umpan yang kita punya," jelas Fandi. "Oke, boleh juga tuh." Si otak m***m ini ada juga isi otaknya selain s**********n dan sekitarnya. Aku tertawa dalam hati mengingat seperti apa kelakuan Fandi dulu. Di luar pekerjaan aku dan dia cukup akrab, mengingat dia adalah sahabat Dastan dan Dastan adalah mantan kekasihku. Ya circle kehidupanku memang sesempit itu. "Urusan website biar Dastan yang urus. Nanti dia dibantu anak IT memperbarui desain layout website dan logo perusahaan. Supaya lebih eye catching," lanjut Fandi. Aku beserta seluruh staf manager benar-benar bekerja keras akhir tahun ini. Semua membantuku agar tidak dipandang sebelah mata oleh dewan direksi. Sebenarnya mudah bagiku kalau hanya untuk menjadi anggota dewan direksi bahkan duduk di kursi direktur utama. Namun aku tidak melakukan hal t***l itu. Masuk eN plywood aja sudah pakai jalur nepotisme. Aku tidak ingin dicap pemalas dan semakin membuat murka orang-orang yang tidak suka akan keberadaanku di tempat ini. ~~~~~ ^makvee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN