Eight

2230 Kata
-Cris- Entah ini sudah hari keberapa gue menjadi tawanan perempuan keji bernama Nina itu. Kenapa gue mengatakan dia keji? Dengan teganya dia membohongi gue. Dia pasti bohong soal kamera pengawas yang ada di seluruh penjuru apartemen dengan bentuk tak lazim. Kalau dia nggak berbohong, buat apa dia mengunci pintu kamar tempat gue disekap ini. Sialan. Kekejian kedua yang ia lakukan, kini dia memborgol sebelah tangan gue dan mengait lobang borgol satu lagi pada pinggiran ranjang. Mending kalau bercinta ada sensasinya pakai borgol beginian. Nah ini? Jangan-jangan Nina adalah perwujudan perempuan psikopat berkedok perempuan cantik nan modis. Bulu kuduk gue merinding membayangkan Nina cerminan dari sosok tokoh Dara dalam film thriller berjudul Rumah Dara yang pernah ditonton oleh Briana. Ya Lord, tolongin gue. Kemarin saat Nina pulang dari kantor, seperti biasanya dia akan menengok ke kamar ini. Mendengar bunyi anak kunci diputar, gue berjalan terseok sembunyi di samping pintu kamar. Pintu terbuka, gue menarik tangan Nina lalu membelitnya dengan kedua tangan gue. Ternyata Nina itu lebih kuat dari yang gue duga. Dia mempunyai ilmu bela diri yang cukup bagus. Entah bagaimana dia bisa melakukannya, gue sudah berakhir tersungkur di lantai menahan sakit yang teramat sakit di sekitar perut gue. Nina sudah mengangkat kakinya hendak menginjak perut gue yang terluka, tapi dia mengurungkan niat lalu membantu gue beranjak dan merebahkan tubuh gue kembali di ranjang. Nina keluar kamar dan kembali beberapa menit kemudian dengan membawa borgol. Begitulah ceritanya. Malam ini dengan masih mengenakan pakaian kerjanya, Nina sudah berada di dalam kamar dengan ekspresi datar. Mengambil sebuah kursi, Nina duduk di sisi ranjang menghadap gue. Gue sempat bertanya dia bekerja di mana? Nina malah balik bertanya apa yang gue lakukan di hotel malam itu. Dia nggak akan mengatakan apa pekerjaannya sebulum gue menjawab pertanyaan dia. Negosiasi yang cukup bagus. "Setelah sampai lantai 15, kamu ke mana sebelum malam penusukan itu?" Nina benar-benar penasaran dengan apa yang gue kerjakan di hotel malam itu. "Ketemuan sama orang penting," jawab gue malas-malasan. "Tapi dalam rekaman cctv kamu nggak terlihat di seluruh lantai 15." Menelan dengan susah saliva gue sendiri, nggak nyangka titisan Dara ini sudah terlalu jauh mencari tahu tentang gue. Bahkan dia bisa melihat dari kamera pengawas hotel. Mungkin saja dia salah satu staf karyawan hotel. "Mata kamu siwer kali, makanya nggak kelihatan," jawab gue malas. Nina nggak bertanya apa-apa lagi dia memilih beranjak dari duduknya. Sial, padahal hiburan tersendiri bagi gue melihat ekspresi penasaran di wajah perempuan itu. "Kayaknya aku butuh bantuan penyidik atau intel deh untuk nyari tau tentang kamu," katanya selangkah meninggalkan ranjang. Tangan kiri gue yang tidak terborgol berhasil meraih tangannya. Niat hati hanya untuk menghentikan langkahnya, tapi mungkin tarikan tangan gue terlalu kencang, membuat Nina terjungkal dan jatuh tepat di atas tubuh gue. Perut gue yang masih nyeri banget ini semakin sakit menjadi-jadi saat ditimpa oleh perut perempuan itu. Namun sakitnya berkurang sedikit saat benda kenyal dengan ukuran yang cukup membuat berkesan menyentuh d**a gue. Dia memiliki sesuatu yang indah, tak kalah indah dari milik Alexandra Daddario. Ternyata teori penderitaan berbanding lurus dengan kebahagiaan sedang menaungi gue. Selain d**a Nina yang menyentuh d**a gue, bibir penuh nan sensual milik Nina juga menyentuh bibir gue beberapa saat. Entah dia menyadari atau tidak bahwa saat ini selain bibir kami secara nggak sengaja bersentuhan, gue sengaja mencium bibir perempuan itu sekilas. Tubuhnya menegang saat kami berada sedekat ini. Satu yang bisa gue rasakan, Nina gugup saat begitu dekat dengan gue. Aneh. Apa dia belum pernah sedekat ini dengan seorang pria dewasa? Nggak yakin gue. Plak! Sebuah tamparan dia hadiahkan di pipi gue. Sepertinya dia sadar dengan keisengan gue yang sengaja mencium bibirnya tadi. Setelah menghadiahi pipi gue tamparan, dia beranjak lalu bergegas keluar dari kamar. Dentuman pintu kamar membuat gue sadar kalau gue sudah cari mati berurusan dengan perempuan itu. Gue dengar Nina mengumpat histeris persis di depan pintu kamar. Keesokan paginya gue merasa nggak ada yang membebani tangan gue lagi untuk bergerak. Saat gue bangun dan duduk di pinggiran ranjang, tidak ada nampan berisi makanan di atas meja kecil yang biasa Nina sediakan setiap pagi sebelum dia berangkat kerja. Nina sudah berbaik hati membuka borgol di tangan gue, tapi dia nggak menyediakan makanan untuk gue. Berjalan tertatih gue menuju pintu kamar. Tenggorokan gue kering, gelas di atas nakas gue sudah kosong. Beberapa hari ini setiap membuka mata, gue selalu disuguhi pemandangan gelas tinggi berisi air putih dan dua butir obat yang harus gue minum saat perut masih kosong. Damn! Gue jadi merasa terbiasa dengan hal-hal kecil yang Nina lakukan untuk gue beberapa hari ini. Meski keji dia tetap merawat dan memerhatikan gue dengan sebaik-baiknya. Pintu kamar tidak dikunci seperti beberapa hari yang lalu. Sayup-sayup gue dengar lantunan musik instrumen piano di depan televisi. Gue menelan ludah sebanyak yang gue bisa saat melihat Nina sedang melakukan gerakan yoga. Tubuh sintalnya hanya dibalut pakaian olah raga super ketat warna hitam. Rambut panjangnya dikucir kuda, keringat sudah membasahi kening dan tengkuknya. Wajah yang biasa tampil dengan make up sempurna itu, pagi ini tampil polos tanpa riasan apa pun. So beautiful and sexy. "Mau sampai kapan kamu berdiri di sana?" Shit, kayaknya dia mergokin gue bengong ngelihatin dia. "Aku sengaja nggak nyiapin sarapan buat kamu. Karena aku rasa kamu sudah mampu untuk mengurus diri kamu sendiri." "Aku haus," ujar gue kikuk. Shit, jijik gue sama basa basi busuk gue sendiri. Tidak ada sahutan dari Nina. Sepertinya dia kembali fokus pada latihan yoganya. Dari dapur gue memerhatikan tubuhnya bergerak dengan lentur. Sepuluh menit gue bertahan di dapur, sambil menikmati pemandangan indah di depan gue. Nggak berselang lama, Nina menyelesaikan latihan yoganya. Dia melangkah menuju dapur. Meneguk air dingin yang ada di atas meja makan. Hanya berjarak beberapa meter saja dari posisi gue yang sedang duduk di kursi makan. "Luka kamu sudah baikan. Kamu boleh meninggalkan apartemen ini kapan saja kamu mau. Nggak perlu pamit juga seandainya kamu mau pergi saat aku sedang nggak berada di apartemen," katanya datar lalu meninggalkan gue yang justru dihantui ribuan pertanyaan mengenai dirinya. "Gimana caranya aku membalas semua kebaikan kamu selama ini?" tanya gue tulus. "Simpan dulu aja rasa terima kasih kamu. Aku akan menagih balasannya nanti saja kalau aku sudah membutuhkan sesuatu dari kamu." Dia tersenyum miring. Penuh arti, misterius, dan tidak terbaca. Fix, gue nggak suka sama jenis senyuman seperti itu. Gue yakin ada sesuatu tersembunyi di balik senyum miring itu. Apalagi yang senyum seperti itu seorang Nina. Senyum licik dan penuh rencana tak terduga. Nina masuk kamar setelah mengatakan hal tadi. Gue benar-benar lapar dan ingin makan sesuatu. Di lemari es tidak terdapat sesuatu yang bisa dimakan untuk mengganjal perut gue. Hanya ada sekotak s**u uht, sayuran dan buah-buahan segar. Gue nggak minat. Dari dalam lemari dapur gue hanya menemukan spagheti kemasan yang masih mentah dan juga daging kemasan yang belum dibuka segelnya. Memerhatikan tanggal kadaluarsa di bungkus makanan tersebut, gue tersenyum lega karena expired date-nya masih panjang. Acara memasak gue selesai bersamaan dengan Nina keluar dari kamarnya dengan keadaan wangi dan rapi. Hari ini dia terlihat segar dengan baju terusan warna putihnya. Sebuah kalung salib melingkari lehernya dengan manis. Hati kecil gue tersentil melihat kalung rosario itu. Gue pernah punya dulu. Entah sekarang masih ada, atau mungkin gue lupa meletakkan di mana kalung itu. "Kamu mau ke mana pagi gini?" tanyaku basa basi. "Ke gereja. Kalau kamu mau pergi dari apartemen sebelum aku pulang Misa nggak apa-apa. Pintu otomatis terkunci kalau sudah tertutup. Oiya obat-obat kamu ada di laci nakas dekat ranjang, sudah aku tulis juga aturan minumnya," jelas Nina lalu melangkah melewati meja dapur menuju rak sepatu. "Breakfast? Aku masak spagheti nih." "No, thanks. Aku udah telat banget ini," katanya tanpa melihat wajah gue. "Cobain dikit aja," gue memaksa dia. Lebih tepatnya menahan perempuan itu supaya bertahan lebih lama lagi di sini. Nina berbalik lalu menyicipi sedikit spagheti buatan gue. "Gimana rasanya?" tanya gue. "Not bad lah. Kalau kamu mau berbaik hati boleh deh sisain dikit buat aku. Aku berangkat ya. Bye Cris," pamitnya lalu menutup pintu apartemen. Sepeninggal Nina, gue segera menghabiskan sarapan dan bersiap untuk meninggalkan unit apartemen Nina. Banyak hal yang harus gue kerjakan setelah ini. ♤♡◇♧   Siangnya Crisann sudah berdiri santai di hadapan Briana. Gadis itu tampak teramat sebal. Setelah Crisann menghilang tanpa jejak selama lima hari, kini dia muncul dengan tampang tanpa dosanya. Menyeringai lebar di depan pintu toko membawa setangkai bunga lili putih. Sebuah tamparan dilayangkan Briana sebagai kalimat penyambutan sepadan atas keresahan yang ia rasakan selama lima hari kemarin. Crisann tidak marah, hanya mendengkus pelan sembari mengusap pipi bekas tamparan sahabatnya itu. "Apa yang kamu lakukan itu, jahat!" kata Crisann dengan nada bercanda. Hampir saja Briana memukul kepala Crisann dengan pot kaca yang kini sudah berada di tangannya. Bisa banget Crisann bercanda di saat seperti ini, disaat semua orang meresahkannya dia malah menganggap santai apa yang sudah terjadi padanya beberapa hari yang lalu. "Kamu sembunyi di mana? Tumben nggak ngelibatin Aaron?" "Handphoneku hilang. Aaron mana?" "Bukan hilang tapi jatuh. Dipegang Aaron sekarang handphone kamu. Dia lagi tidur di kosan. Selama kamu hilang, Aaron jadi tamu kosanku. Menyebalkan harus berbagi kamar dengan pria," gerutu Briana di akhir omelan panjangnya. "Hei, apa kalian sedang mengkhianatiku?" tanya Crisann dengan tampang innocent. "Ish!" Kali ini Briana benar-benar memukul kepala Crisann, bukan dengan pot, melainkan dengan tangannya sendiri. "Apa aku jadi orang pertama yang tahu hubungan romantis kalian? Ah, atau justru aku orang terakhir yang tahu?" Crisann berdiri bersendekap menatap aneh pada Briana. "Berhenti bercanda, Cris." Crisann tersenyum miring. Puas menggoda Briana. "Just kidding, Bri," katanya lalu duduk di kursi tinggi dekat meja kasir. "Aaron kerja keras mencari kamu. Kasihan dia, jangan diganggu dulu. Kurang tidur akhir-akhir ini." "Oh kerja keras mencariku atau kerja keras melewatkan malam hangat dan erotis. Memikirkan hal itu membuatku lapar, Bri," canda Crisann lagi. Mendengkus Briana menanggalkan apron motif shabiqnya, melempar apron itu tepat di wajah Crisann. Tak melanjutkan obrolan absurd mereka , Briana mengajak Crisann menyantap bekal makan siang yang disiapkan Briana dari kosannya. "Kamu gimana?" tanya Crisann saat Briana membuka satu persatu kotak bekalnya di atas meja di samping meja kasir. "Makan aja. Aku bisa ambil lagi di kosan." "Eh, serius kamu tinggal sekamar dengan Aaron? Sudah pernah coba gaya apa aja selama beberapa hari ini? Pasti baru gaya misionaris ya kan? Aaron itu amatir memang Bri soal begituan." Menggetok kepala Crisann dengan sendok sayur yang disambarnya dari atas meja Briana memekik, "Crisann!" kemudian berucap, "pikiran kamu itu memang selalu dipenuhi hal-hal berbau m***m ya?" Crisann mencibir. "Kalian malu-malu kucing rupanya!" ucapnya tanpa rasa bersalah. "Makan aja udah jangan mikir yang enggak-enggak!" "Aku justru lagi mikir yang iya iya. Siapa ya di antara kalian yang jadi dominan? Kamu atau Aaron yang jadi submisifnya?" Crisann tersenyum menyindir atas apa yang telah ia cetuskan baru saja. Briana sudah tak tahan lagi. Wajahnya sudah memanas seperti panggangan sate. Kalau sudah obrolan m***m jangan pernah membicarakannya dengan Crisann. Pasti tidak akan bisa berhenti. Briana lalu meninggalkan Crisann makan sendirian untuk mengurus hal penting lainnya. Percuma menjelaskan kesalah pahaman disaat orang lain sedang mencurigai atau terlanjur salah paham pada kita. Malah akan membuat orang itu semakin curiga. Seperti Crisann pada Briana contohnya. Saat Crisann sedang merokok di depan toko, Aaron datang. Mereka berdua tidak lantas masuk. Awalnya terlibat obrolan santai dan bercanda. Aaron terlihat menunduk, memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana sambil membuat membuat gambar tak tentu di lantai dengan ujung sepatunya, seperti seorang remaja sedang menahan malu. Kemudian Crisann menepuk pundak sahabat kecilnya itu. Tak lama keduanya terlibat obrolan serius. Gestur tubuh Crisann yang terlihat menegang menyiratkan bahwa apa yang keduanya obrolkan pasti suatu hal yang membuat Crisann marah besar. Crisann mengepalkan tangannya lalu meninju pilar beton di depan toko. "Astaga, Cris. Tangan kamu?" Briana menutup mulut dengan sebelah tangannya, tangannya yang lain menyentuh punggung tangan Crisann yang terluka dan berdarah akibat meninju pilar beton tadi. "Aku baik-baik aja. Nanti sembuh sendiri," ujar Crisann menarik tangannya dari atas meja. Tidak ada wajah ramah dan menyebalkan seperti sesaat yang lalu. Yang ia tampilkan saat ini wajah dingin dan penuh amarah. "Ini bisa infeksi." Briana merunduk mengambil kotak obat dari bawah meja kasir lalu mengobati luka Crisann. "Jadi yang kemarin nyerang gue orang-orangnya Haris?" tanya Crisann pada Aaron dengan membiarkan Briana mengobati luka di tangannya. "Gue yakinnya gitu," jawab Aaron menatap dengan tatapan aneh pada Briana. Seperti orang sedang kesal tanpa alasan. Ada apa ini? "Lo udah dapat alamat rumah b*****t itu?" "Tentu saja." "Kita ke sana sekarang!" "Oke!" Briana menahan lengan Crisann saat dia melangkah keluar dari toko. "Kamu mau ke mana lagi? Aaron, bisa nggak sih lo nahan Crisann pergi? Sampai malam ini aja!" Aaron tak menjawab, laki-laki itu malah menatap ke segala arah. Memilih terlebih dahulu keluar dari toko meninggalkan Briana dan Crisann. Crisann menyentuh punggung tangan Briana, mengusapnya pelan sambil berkata, "aku akan baik-baik saja. Turunan Sun Go Kong nggak akan pernah mati dengan mudah." "Tapi Cris-" "Bri, aku baik-baik aja kok." "Luka tusuk kamu?" "Udah baikan. Seseorang sudah mengobati dan mengurusku dengan baik." "Siapa? Di mana? Apa itu perempuan? Muda? Cantik? Seksi? Kamu nggak boleh mengkhianati Bianca, Cris, inget itu!" Crisann tertawa sumbang lalu mengacak puncak kepala Briana. "Aku pergi dulu ya. Aku usahain kembali sebelum makan malam. Aku yang masak kamu yang beli bahan-bahannya. Oke?" cetus Crisann sebelum pergi. Briana mengangguk lalu melepas Crisann hingga mobilnya melesat dari tempat parkir. Apa lagi yang akan diperbuat pria dingin dan misterius itu. Aktivitasnya tidak pernah jauh-jauh dari kata bahaya, berkelahi lagi dan terluka lagi. ~~~~~ ^makvee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN