-Cris-
Dengan tenaga tersisa gue mencoba untuk membuka kelopak mata. Tempat ini asing. Suasanyanya sepi, dingin dari pendingin udara yang menusuk tulang dan wangi aroma teraphy menyeruak masuk rongga hidung gue.
Sedang memerhatikan sekeliling ruangan yang gue tebak bukan rumah sakit melainkan kamar tidur ini, handle pintu kamar berputar dan pintu berderit terbuka. Gue segera menutup kembali kedua mata gue.
"Kamu jangan sembarangan bawa masuk orang asing ke dalam tempat pribadi." Suara tegas seorang laki-laki berjarak sangat dekat dengan gue. Kemudian tangan gue terangkat. Sepertinya tangan laki-laki yang berbicara tadi sedang memeriksa nadi gue.
"Dia sudah lewat dari masa kritisnya, sebentar lagi pasti sadar sepenuhnya setelah obat biusnya habis. Jangan biarkan banyak bergerak dulu, karena jahitannya lumayan panjang, posisi luka bekas tusuknya hampir mendekati hati. Pemulihannya sekitar seminggu termasuk luka-luka yang lain."
"Siap pak Dokter!" jawab suara lain di ruangan ini. Itu suara perempuan. Siapa ya? Apa perempuan yang sudah membantu gue di basemen?
"Dia siapa kamu? Pacar? Calon pacar? atau siapa? Tampangnya sih tampang baik-baik, tapi kalo lihat bekas luka-luka di sekitar tubuh dah juga tatonya, aku rasa dia pria yang jauh dari kata baik-baik."
Shit! Berani-beraninya menilai gue. Penasaran seperti apa tampang orang yang sudah bilang gue bukan orang baik-baik.
"Pak dokter, aku bawa kamu kemari untuk memeriksa kondisi seseorang, bukan untuk memberi siraman rohani padaku. Biar Romo aja yang memberi siraman rohani kepadaku. Kamu nggak perlu ikut campur. Atau mungkin kamu mau beralih profesi jadi pastor?" jawab si perempuan sambil terkekeh.
Saat suara kedua orang itu seperti menjauh dari tubuh gue, perlahan gue coba buka mata kembali. Dengan mata terbuka sedikit, laki-laki berkacamata itu mencoba mencium perempuan yang terlihat hanya punggungnya itu. Namun perempuan itu menolak dengan tegas dengan memalingkan wajahnya ke kiri. Gue tersenyum mencemooh, tapi kasihan juga si dokter yang mendapat penolakan tegas itu.
Tak berselang lama sepeninggal dua orang tadi, pintu kembali terbuka. Mata gue kembali terpejam.
"Udah nggak ada orang selain aku, buka aja mata kamu."
Shit, gimana dia bisa tau coba kalo gue udah sadar.
"Sekarang jam berapa?"
"Jam tiga sore. Siapa yang bisa aku hubungi untuk ngasih kabar soal kondisi kamu saat ini?"
"Aku nggak hapal nomor kontak teman-temanku, ponselku sepertinya terjatuh semalam di basemen."
Perempuan itu berdecak. Kemudian duduk bersendekap di pinggiran ranjang. Sepertinya dia seorang wanita pekerja, karena saat ini tengah mengenakan pakaian formal yang terlihat cukup seksi. Saat dia merunduk, jelas-jelas bisa gue lihat belahan dadanya yang begitu menantang. Damn! Gimana bisa di tengah kondisi gue yang sedang sekarat ini malah masih sempat-sempatnya menilai penampilan seorang perempuan.
"Nama kamu siapa?" tanyanya dengan memerhatikan wajah gue.
"Cris."
"Oh." Dia tidak bertanya lebih lanjut, kenapa gue bisa berakhir terluka seperti ini.
"Thanks ya, sudah menyelamatkan nyawaku. Kamu seperti dewi kwan im buat aku," ujarku tulus.
Perempuan itu malah tertawa, "kalau aku Dewi Kwan Im nya, kamu Sun Go Khongnya dong? Atau Biksu Thong? Ah jangan-jangan reinkarnasi si Pat Kay ya?" Dia terus tertawa. Membuat mata sipitnya membentuk sebuah garis menawan. Tawanya renyah seperti tanpa beban. Membuat siapa saja tak akan bosan mendengar tawa itu.
"Sense of humor kamu tinggi juga ya. Kamu nggak lapar?" tanyanya berusaha meredakan tawanya sendiri.
"Aku haus."
Perempuan yang belum gue tahu namanya itu membantu gue duduk dan menenguk air dingin dari gelas bening yang dia ambil dari atas nakas. Hidung gue memiliki penciuman yang tajam, apalagi dengan jarak sedekat ini. Gue dapat mencium aroma pohon yang terpotong, buah-buahan dan bunga-bungaan segar terkuar dari tubuh langsing perempuan ini. Sangat menenangkan.
"Thanks." Dia hanya menjawab dalam bentuk anggukan. Lalu meninggalkan kamar.
Tak lama dia kembali membawa nampan besar berisi beraneka makanan. "Kamu harus makan sebelum aku kembali ke kantor," katanya dengan membawa sebuah mangkuk yang gue tebak berisi bubur.
Gue mengangguk lalu menerima begitu saja suapan darinya, tanpa ada rasa khawatir dia akan berbuat jahat seperti yang pernah diperbuat oleh Juanita.
Setelah bubur gue tandas, dia menyodorkan beberapa butir obat untuk gue minum. Kemudian memeriksa suhu tubuh gue, botol dan selang infus, terakhir memeriksa luka gue. Perasaan gue menghangat detik itu juga dengan perlakuan baik orang asing.
"Semua oke. Aku bisa kembali kerja dengan tenang. Aku pergi dulu ya. Jam delapan malam aku sudah kembali," ucapnya lalu beranjak dari sisi ranjang.
"Kamu nggak takut sama aku? Kalo aku jahat dan seperti yang kamu tuduhkan di basemen waktu itu gimana?"
"Jangankan mau berbuat jahat, bangkit dari tidurmu saja, aku rasa kamu nggak mampu. Lagian apartemenku ini menggunakan cctv lengkap yang tersambung langsung ke laptopku. Jadi aku bisa memantau dari jauh apa saja yang kamu perbuat di apartemen ini."
Fuck! Gue melirik ke seluruh ruangan. Mencari keberadaan titik kamera yang dia maksud.
"Kamera pengawas itu bentuknya tidak lazim, jadi kamu nggak akan bisa menemukan di mana tempatnya meski membongkar seisi ruangan ini sampai frustrasi Hanya aku yang mengetahui di mana letak kamera-kamera pengawas itu," katanya dengan senyum miring tersungging di wajah cantiknya.
"Kamu tawanan aku sekarang. Kamu nggak akan bisa keluar dari apartemen ini dengan mudah. Karena ada beberapa anggota intel di lobi apartemen ini. Aku nggak tau siapa yang mereka cari. Aku akan menginterogasimu nanti. Karena sekarang aku sedang nggak punya banyak waktu."
What the f**k. Dia bilang apa tadi? Gue tawanannya? Wanita cerdas dan licik. Dari caranya tersenyum, bisa gue baca kalau dia bukan wanita lemah dan mudah ditaklukkan. Itu yang berhasil ditangkap oleh sinyal otak gue.
"Nama kamu siapa?" tanya gue saat dia sudah sampai di ambang pintu kamar.
"Nina," jawabnya dengan ekpresi datar, lalu menutup rapat pintu kamar ini.
♤♡◇♧
-Nina-
Aku tertawa geli melihat ekspresi laki-laki itu saat aku berbohong, mengatakan ada kamera pengawas di seluruh ruangan apartemen ini yang menyambung pada laptopku. Namun ada satu ekspresi yang membuat aku semakin penasaran padanya. Wajahnya pias saat aku mengatakan hal bohong lainnya soal ada banyak intel di lobi apartemen sedang mencari seseorang.
Dengan sangat hati-hati aku memutar anak kunci kamar tamu ini dari luar. Memastikan tawananku tidak lari dari kamar. Beruntung meski yang ditempati adalah kamar tamu, kamar tersebut memiliki sebuah kamar mandi kecil di dalamnya. Aku juga sudah menyiapkan makanan dan minuman dalam jumlah lebih, jaga-jaga dia membutuhka asupan sebelum aku pulang dari kantor.
Nama laki-laki itu Cris. Apa dia orang yang sama dengan DJ di pubnya si Anya ya? Aku agak sangsi karena saat di pub pencahayaan lampunya tidak seterang di kamar. Jadi aku baru sekarang ini bisa melihat dengan jelas wajahnya. Yang membuat aku yakin adalah tatapan hampanya yang sarat akan luka. Itu yang bisa ditangkap oleh retina dan hati kecilku.
Dari apartemen aku tidak kembali ke eN Plywood, melainkan menuju eN hotel untuk melihat kembali rekaman kamera pengawas yang pagi tadi sudah aku lihat sekilas. Aku tidak menemukan sesuatu hal yang ganjil tadi pagi. Pihak manajemen hotel juga menganggap itu pengeroyokan biasa.
Kesimpulanku berubah karena ada yang mengganggu pikiranku setelah melihat wajah pias Cris tadi, saat aku mengatakan ada anggota polisi sedang mencari seseorang di lobi. Meski sebenarnya aku teramat lelah hari ini, aku tetap mencari tahu tentang Cris. Aku tidak tidur semalaman karena mengkhawatirkan laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal itu. Aku tidak mau sampai dia meregang nyawa di unit apartemenku.
Saat ini aku sudah berada di kantor eN hotel untuk mencari tahu apa yang terjadi pada laki-laki itu, sebelum dia memasuki mobilku dalam keadaan luka akibat tertusuk pisau belati.
"Bu tadi ada yang datang kemari meminta rekaman kamera pengawas semalam," ujar Andika, General Manager eN hotel.
"Kamu kasih?" tanyaku ketus.
Aku tidak mau beramah tamah dengan laki-laki kurang ajar satu ini. Berani-beraninya dia kemarin menganggap kalau aku adalah simpanan pejabat yang sedang janjian check in di hotel ini untuk berbuat m***m.
"Sesuai dengan perintah ibu. Kejadian semalam jangan sampai terdengar publik apalagi media." Andika sama sekali tidak berani melihat tatapan intimidasiku.
"Bagus. Mari kita lihat apa yang terjadi tadi malam."
Petugas pemantau kamera pengawas menurutiku. Dia mulai memutar video rekaman kamera pengawan sesuai yang aku minta.
"Cepat edit rekaman cctv itu. Hapus rekaman di menit laki-laki itu masuk ke mobil saya. Trus itu coba putarkan rekaman empat jam sebelum kejadian."
Aku harus melakukan itu untuk menghapus bukti. Kalau Cris memang orang jahat apalagi salah seorang DPO polisi, aku tidak mau rekaman itu menjadi salah satu bukti aku melindungi penjahat atau orang yang bersalah terhadap suatu kejahatan.
Petugas pemantau kamera pengawas tidak lantas menuruti kemauanku. Andika menyentuh lengan petugas tersebut. "Nggak denger ibu Karenina tadi ngomong apa?" Kata Andika selanjutnya.
Aku mencium ada gelagat mencurigakan pada dua orang ini. Petugas menjawab kikuk lalu menuruti permintaanku. Sedangkan Andika menyeka keningnya yang berkeringat dengan ujung lengan jas yang ia kenakan. Padahal di ruangan ini menggunakan pendingin ruangan dengan suhu cukup dingin. Aku saja tidak merasakan hawa hangat sama sekali. Aneh.
Dari rekaman kamera pengawas terlihat bahwa Cris datang ke hotel dengan seorang pria lain.
"Sebentar, hasil foto rekaman yang di zoom tadi coba dibuka."
Petugas ruang pemantau menuruti mauku. Ternyata laki-laki yang mengambil ponsel Cris di basemen sesaat setelah mobilku meninggalkan hotel adalah laki-laki yang sama dengan yang datang ke hotel ini bersama Cris. Apa Cris memiliki penyimpangan seksual, jadi dia melakukan kencan dengan pasangan sejenisnya di hotel ini.
Aarrgghh...
Demi Tuhan aku mulai frustasi memikirkan tujuan sedang apa dua orang laki-laki mendatangi hotel malam-malam seperti itu. Pakaian mereka juga rapi. Namun mereka berdua tidak menuju resepsionis untuk memesan kamar. Mereka berdua menuju lift menuju lantai 15. Setelah itu keduanya seperti raib ditelan bumi. Di lantai 15 tidak ada rekaman dua orang itu keluar dari lift. Ke mana perginya mereka.
"Coba buka bersamaan rekaman di tiga titik kamera, di lobi, lift dan lantai 15." Aku memerhatikan dengan seksama pergerakan petugas penjaga ini. Dia gugup.
Benar, aku tidak salah lihat. Bahkan di seluruh lantai aku tidak menemukan keberadaan mereka. Jelas-jelas di kamera pengawas dalam lift, Cris menekan angka 15 pada tombol di sisi kanan lift. Aku terus memerhatikan gerakan dua orang itu selama berada di dalam lift. Tidak ada gerakan mencurigakan. Mereka berdua terlihat mengobrol, lalu Cris berkaca di lempengan perak di atas tombol-tombol yang berfungsi untuk menggerakkan lift. Dia seperti sedang membenahi rambutnya yang kurasa tidak berantakan itu. Pintu lift kemudian terbuka, Cris dan temannya seperti sedikit melompat saat keluar dari lift, lalu pintu lift tertutup kembali secepat kilat. Tidak seperti pintu lift pada umumnya, yang menutup secara perlahan. Ini aneh banget.
"Damn!" umpatku ketika tidak menemukan satu titik terang untuk menemukan hal apa yang sedang pria asing itu lakukan.
Saat akan meminta petugas pemantau untuk memutar titik kamera yang lain, direktur eN hotel menghampiri ruang kamera pengawas dengan wajah semringah. Darimana dia tahu aku berada di tempat ini? Pasti Andika yang daritadi sibuk dengan ponselnya yang mengabari keberadaanku di sini.
"Suatu kebanggaan anak Presiden Direktur eN Group mengunjungi eN hotel yang kecil ini."
Anak perusahaan Papi yang satu ini memang yang paling kecil dan kurang diperhitungkan oleh Papi beberapa tahun ini. Papi lebih fokus pada kemajuan eN Plywood dan usaha propertinya. eN hotel memang bukan hotel bintang lima berskala internasional. Bisa dibilang hotel ini hanya hotel bintang tiga. Meski begitu, hotel ini cukup diperhitungkan di kelasnya sesama hotel bintang tiga. Masih menjadi favorit masyarakat dan wisatawan domestik maupun asing yang mengunjungi kota Jakarta.
"Selamat malam pak Haris. Apa kabar?" Sapaku pura-pura ramah. Padahal eneg banget rasanya melihat wajahnya yang m***m itu.
"Baik bu, ibu Nina ada masalah? Mungkin bisa saya bantu." Haris menepuk punggung tangan kiriku dengan telapak tangan kanannya.
Menjijikkan.
Melepas segera genggaman tangan Haris aku mengatakan, "nggak ada yang mau saya lakukan lagi di sini, kalau begitu saya pamit dulu pak Haris."
"Buru-buru banget bu? Mari ke ruangan saya, ngopi atau ngeteh gitu."
"Mungkin lain kali pak Haris. Terima kasih sebelumnya atas tawaran itu. Tapi saya bener-bener nggak bisa. Mari pak Andika, saya pamit dulu."
"Iya bu, selamat malam."
Wajah Andika terlihat seperti lega saat menjawab salamku. Haris mengangguk lalu mengantarku sampai basemen, bahkan menunggui hingga mobilku melaju melewati dirinya.
Sesampainya di apartemen, aku bergegas memasuki kamar tamu. Melihat dari ambang pintu yang kubuka separuh, Cris sepertinya sudah tertidur pulas. Aku tidak peduli dia sudah makan malam atau belum. Yang penting aku sudah menyediakan makanan dan obat untuknya tadi. Kembali mengunci pintu kamar, aku memasuki kamarku sendiri. Melelahkan sekali hari ini. Aku butuh tidur nyenyak.
~~~~~
^makvee^