Six

1822 Kata
-Cris- Bunyi bel apartemen membuat pekak pendengaran gue. Sial, siapa berani bertamu di pukul tujuh pagi seperti ini. Shit! Wajah Juanita muncul di layar monitor intercom. Bener-bener ini perempuan. Cari mati banget berani muncul di hadapan gue. Menghentakkan kaki dan mengepalkan tangan, gue menuju pintu. Membuka pintu dengan kasar, menatap dingin ke arah Juanita. "Mau apa lagi lo?" tanya gue, kepalan tangan gue menghantam dinding, alih-alih menghadiahi perempuan jalang itu dengan bogem mentah gue. Pikiran sadar gue masih mengingatkan kalau dia makhluk bervagina. s**t! "Aku datang mau minta maaf." Wajah naif ia tampilkan. Membuat gue ingin muntah di wajahnya. "Gue lagi dalam mode nggak pengin nebar maaf buat siapa pun." "Please, Cris. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu." Tersenyum aku mencoba menahan emosi yang siap meledak kapan saja. "Pergi lo! Gue lagi istirahat." "Aku nggak akan ganggu kamu. Tapi please izinin aku nemenin kamu, Cris." Gue tertawa sumbang. "Setelah lo mau coba bunuh gue? Nggak punya otak gue kalau sampe ngizinin lo masuk ke zona pribadi gue lagi!" Gue males berbicara dengan nada menye-menye menghadapi perempuan setengah iblis itu. Tanpa memedulikan mata Juanita yang mulai memerah, gue menutup pintu. Juanita menahan dengan kakinya hingga dia memekik kesakitan, karena kakinya terjepit pintu yang gue empaskan sepenuh hati. "Bego ya lo! Udah sana pergi!" Bentak gue sedikit mendorong tubuh Juanita. Nggak akan gue ketipu sama wanita jalang seperti dia untuk yang kedua kalinya. Gue bukan keledai dungu. Gue bisa mendapatkan yang seperti Juanita kapan saja gue mau. Sayangnya sekarang gue sedang malas berhubungan dengan perempuan model apa pun. Saat ini nyawa gue masih lebih penting daripada urusan birahi. Malam harinya, Aaron menjemput gue di apartemen. Dia baru mendapat pinjaman dana dari seseorang untuk modal judi gue malam ini. Aaron juga bilang ada pejabat yang mau bermain api sama gue. Oke fine. Siap tempur kita sampai titik darah penghabisan, bung! Kita bikin para penguasa yang tamak itu jatuh miskin. Di meja ini sudah melingkar sembilan orang serakah termasuk gue. Menatap pembagi kartu sedang membagikan kartu. Mulai menarik napas, gue mencoba rileks. Taruhan tahap pertama dimulai. Kartu remi mulai dibuka. Jarum jam terus berputar pada porosnya. Angka-angka yang ditunjuk jarum pendek terus berubah. Tiga tahap taruhan sudah terlewati. Memasuki tahap ke empat, artinya tahap akhir, final permainan, menyisakan empat orang serakah termasuk gue. Yang lainnya sudah kalah juga ada yang menyerah karena takut kehilangan uangnya. Hawa tempat ini semakin panas, melepas jas yang gue kenakan, lalu menyampirkan di sandaran kursi. Berusaha tenang, dan memfokuskan pikiran, gue melakukan all in, artinya sudah meletakkan semua chip taruhan milik gue di meja taruhan. Kalau gue menang, minimal 3 of a kind* gue bisa membawa pulang uang sebesar 150juta malam ini. Kalau gue kalah, gue harus membayar uang pinjaman gue sebesar 50juta. Damn! Gue harus menang malam ini. Perlahan gue membuka kartu kelima gue. "Full house 2," ucap gue lantang, menatap pongah pada orang-orang yang tadinya menatap rendah gue. Mendapatkan hasil kemenangan, Aaron mengajak gue meninggalkan ruang perjudian ini. Mengajak bersenang-senang di tempat lain saja. "s**t!" "Kenapa, Cris?" "Handphone gue ketinggalan di dalam, lagi dicharge tadi di bartender. Lo duluan aja tunggu di luar. Nanti gue nyusul." Kami berpisah dan gue kembali menuju ruang rahasia tempat berjudi tadi. Setelah mendapatkan ponsel dari bartender, gue dihadang lima orang berbadan kekar sesaat setelah kembali ke basemen hotel. Sebisa mungkin gue melawan lima orang yang memiliki tubuh tiga kali dari tubuh gue. Beberapa kali wajah dan perut gue kena tinju algojo itu. Saat gue sudah melumpuhkan tiga algojo dan sedang berusaha melumpuhkan algojo ke empat, dari arah belakang tangan gue dikekang oleh seorang algojo. Algojo terakhir yang coba gue lumpuhkan tadi mengambil sebilah belati dari balik jasnya. Sial. Hampir berhasil menghindari sabetan belati yang sudah mengenai lengan gue, tanpa ampun algojo itu menusukkan belati tadi di bagian kanan perut gue, lalu menarik lagi belati tersebut. Saat akan menusuk gue untuk yang kedua kali, algojo itu mengurungkan niatnya karena ada suara bunyi bip sebuah mobil tak jauh dari tempat gue dikeroyok. Kelima algojo tadi melarikan diri, meninggalkan gue yang sedang berusaha bertahan antara hidup dan mati. Darah segar mulai mengucur dari perut gue, membuat kemeja putih gue menjadi merah oleh darah saat ini. Sekuat tenaga gue berjalan menuju mobil yang tadi berbunyi bip. Pasti pemilik mobil tadi sedang membuka kunci otomatis mobil tak jauh dari sini. Tepat saat gue sudah masuk di bangku penumpang belakang, seorang perempuan berambut panjang masuk di bangku kemudi. "Tolongin gue, please!" ucap gue mencengkeram bahunya. Ragu perempuan tersebut menoleh secara perlahan lalu menatap gue datar. "Who are you? Gimana lo bisa ada di dalam mobil gue?" tanyanya dengan ekspresi tak terbaca. Keningnya sedikit mengernyit saat melihat perut gue sudah merah oleh darah gue. "Kenapa lo?" tanyanya lagi. Kali ini ada tambahan nada sedikit khawatir dalam bicaranya. "Tolongin gue!" "Lo pasti penjahat kan? Mau pura-pura terluka buat ngerampok gue? Ya kan?" "Please bantu gue keluar dari sini. Bawa gue ke manapun lo mau, asal jangan ke kantor polisi ataupun rumah sakit." Bisa-bisanya perempuan itu tersenyum miring setelah gue memohon seperti itu. Wajahnya terlihat begitu licik. Namun gue yakin dia bukan orang seperti Juanita. Atau mungkin bahkan lebih parah? Arrgghh...sial. Enggan berbasa-basi manis, perempuan tersebut mulai melajukan mobilnya meninggalkan basemen hotel k*****t ini. "Selamat malam, bu. Bisa lihat kartu parkirnya?" kata petugas parkir di pintu keluar basemen. "Ibu, sendirian aja?" "Iya sendiri." "Habis ada pertemuan ya bu di hotel ini?" "Semacam itu lah," perempuan itu tersenyum jijik pada pria berkumis yamg mencoba mencari tahu siapa nama perempuan itu. "Silakan ibu, hati-hati dijalan." Sapa ramah petugas keamanan dan petugas pos parkir. Gue yakin petugas laki-laki itu sedang mencoba menggoda perempuan pemilik mobil ini. Tatapan laki-laki hidung belang itu memang menjijikkan. Namun gue rasa perempuan di depan gue ini terlalu tenang menghadapi tatapan seperti itu di pukul satu dini hari ini. Gue membuang jauh-jauh pikiran negatif atas apa yang sedang dilakukan perempuan penolong ini di hotel. Kemudian tubuh gue mendadak menggigil, seketika pandangan gue gelap dan tubuh gue akhirnya tumbang di kursi penumpang mobil asing yang terus melaju membawa gue entah ke mana. Jesus please...Jangan mati sekarang, Crissan. ♤♡◇♧ Pukul tiga dini hari. Jantung Briana rasanya mau lepas saat Aaron menyerahkan ponsel Crisann dan menyampaikan dugaannya bahwa Crisann dikeroyok, diculik, atau lebih parahnya dibunuh. "Judi terus, banyak musuh kan kalian jadinya!" "Ini nggak ada hubungannya sama judi, Bri." "Kalau nggak judi, lantas apa? Perempuan? Apalagi sih permasalahan kalian? Nggak akan jauh dari dua aspek itu pasti." Aaron sudah menjelaskan ceritanya bagaimana sampai Crisann menghilang dan meninggalkan ponselnya di basemen. Namun Briana sedang malas berspekulasi apa pun terhadap keselamatan Crisann. "Cuma ada bekas darah di tempat jatuhnya ponsel. Di ponsel itu juga ada darahnya. Kayaknya Cris terluka, Bri," cetus Aaron menatap ragu pada Briana. "Trus? Lo diam aja?" "Ya enggak, Bri. Gue udah laporin kalo terjadi pengeroyokan pada manajemen hotel dan minta rekaman cctv, tapi belum ada tanggapan. Lo nggak usah khawa-" Aaron hendak menggapai tangan Briana tapi buru-buru gadis itu mengempas pintu kamar kosnya, sebelum Aaron melanjutkan ucapannya. Di dalam kamar Briana berteriak histeris. Antara khawatir Crisann kenapa-kenapa dan khawatir Crisann terbunuh di tangan orang lain. "Kamu terlalu manis untuk menjadi seorang pembunuh, Bri. Biarkan aku dibunuh dengan tangan orang lain, lalu mati di pangkuanmu." Briana memegang kata-kata Crisann waktu itu. Lihat saja kalau besok berita kematian Crisann sampai muncul di berita atau koran pagi, Briana memastikan tak akan pernah mengurus jenazah sahabatnya itu. Astaga, Crisaaan, kamu di mana sih? Teriak Brian sambil meremas ponsel Crisann yang tidak bisa dibuka karena menggunakan keylock sidik jari dan pola-pola tertentu. Arrgghh... Keesokan paginya, saat Briana melangkah keluar dari pintu kamar kos, kakinya menendang tubuh seseorang. Hampir saja Briana memekik ketakutan. Namun dia urungkan setelah melihat siapa yang tidur di depan pintu kamarnya. "Aaron? Bangun!" Briana mengguncang tubuh laki-laki itu beberapa kali. "Udah jam berapa ini?" Aaron duduk dan menyandarkan tubuhnya di dinding sambil memijat bahu dengan tangannya sendiri. Mungkin pegal karena semalaman tidur di lantai. "Jam setengah delapan pagi. Lo di sini dari semalam?" Aaron menggangguk lalu mengeluarkan ponsel dari kantong jaketnya. Sepertinya mencoba menghubungi seseorang yang bisa membantunya mencari Crisann "Gue mau ke toko. Lo tidur di dalam aja. Ini kunci kamar gue." Rumah kos Briana ini memang cukup bebas untuk ukuran kos putri. Namun penghuni kos di sini sama-sama bertanggung jawab. Tidak menyalahgunakan kamar kos sebagai tempat berbuat m***m. Lagian penghuninya hanya 5 orang saja termasuk Briana. Tempat kos juga terpisah dari rumah induk semangnya. "Gue pasti nyari Cris sampai ketemu." Briana mengangguk lalu meninggalkan Aaron yang masuk ke dalam kamar kosnya. Agak siangan Saras Florist kedatangan pelanggan yang wajahnya tak asing bagi Briana. Juanita sedang bergelayut mesra di lengan seorang pria berusia lebih dari 40tahun. Ingin sekali Briana mencabik mulutnya yang sedang berbicara dengan nada manja dan sedikit mendesah itu. Briana menggengam erat gunting di tangannya menahan emosi. Iseng-iseng  Briana mengabadikan momen mesra pasangan itu dengan kameranya. Akan dia perlihatkan pada Crisann nanti. Juanita sama sekali tidak mengenal bahkan mengingat pernah bertemu dengan Briana di lorong apartemen Crisann waktu itu. Menjelang petang, Aaron masuk toko dengan wajah lesu. Sepertinya Aaron tidak menemukan titik terang keberadaan Crisann. Briana tak mengajaknya berbicara sepatah katapun. Aaron membantu Briana membereskan tanaman yang akan diantar besok, lalu merapikan pot-pot bunga yang ukurannya cukup besar dalamb diam. "Ini buket lili pesanan lo." Briana menyerahkan buket bunga lili putih yang dibalut kain tile warna senada. Aaron menerima buket bunga cantik itu sambil merengut. "Kok kecil? Punya pelanggan lo waktu itu gede." Briana menahan tawa saat Aaron meluncurkan protesnya melihat bunga lili di tangannya yang hanya berjumlah tiga tangkai. Aaron memutar beberapa kali buket bunga yang tampak mungil di tangannya. "Kalo mau segede kemarin ya nggak tiga ratus ribu harganya, Ko." "Amoy pelit lu." Briana terbahak mendengar sebutan Aaron untuknya. "Buat lu aja deh, Xiao Li." Aaron menyebut nama Hakka Briana. "Kamsiyah ya, Ko." Briana menerima dengan senang hati bunga lili tersebut lalu meletakkan di dalam pot berbentuk kaca yang telah dia isi air bersih. Briana kemudian menghirup dalam-dalam aroma bunganya, terakhir meletakkan pot tersebut di atas meja kasirnya. Aroma lili maupun bunga-bunga yang lain selalu bisa membuatnya tenang. "Udah ada kabar tentang Cris?" Aaron menggeleng lesu sebagai jawaban. "Gue sih yakin dia nggak akan mati semudah itu. Cris kan kayak kucing, punya nyawa 13." "Iya bener banget. Apalagi dia ngaku keturunan Sun Go Kong yang punya kehidupan abadi. Punya kekuatan tak tertandingi oleh dewa peperangan sekalipun. Ia akan mati sesuai dengan keinginannya sendiri." Aku terbahak mendengar cetusan dari Aaron. "Itu mah Bisma nya Mahabaratha kali, Ron, yang mati sesuai keinginan sendiri." "Ya pokoknya semacam itu lah. Cris kan bilang dia nasibnya sama kayak Sun Go Khong yang dilahirkan dari batu. Nggak punya orang tua. Jadi besar kemungkinan dia punya kekuatan seperti kera sakti." "Omongan Cris lu denger. Sarapnya kan udah banyak yang putus." Keduanya lalu tertawa. Tidak terlalu lepas. Tapi setidaknya sedikit meredakan keresahan hati saat memikirkan kondisi sahabatnya. Aaron sudah mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari keberadaan Crisann dan motif penyerangan Crisann tadi malam. ~~~~~ ^makvee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN